Rabu, 13 Januari 2016

Ikhtilaf dan Islam Indonesia

Suatu hari saya bertemu dengan kawan yang berlatar belakang dari Pesantren PERSIS (Persatuan Islam). Kawan saya itu bilang bahwa umat Islam Indonesia yang mayoritas tidak berada dalam satu jamaah sehingga agenda dan misi Islam secara keseluruhan tidak terwujud. Ia menyebut syariat Islam yang seharusnya menjadi aturan hukum malah diabaikan. Padahal, negeri ini dikuasai umat Islam dan para pejabatnya pun sebagian besar beragama Islam. Anehnya, kata kawan itu, tidak ada kekuatan yang mampu mewujudkannya untuk menciptakan negara Islam.

Lebih aneh lagi umat Islam Indonesia senang membuat lembaga-lembaga yang terpisah sehingga tidak memiliki visi dan misi yang sama. Yang ada hanya kepentingan lembaga dan individu. Saling berebut jabatan dan pengaruh. Akibat tidak berada dalam satu jamaah, tidak heran kalau umat Islam Indonesia terus berada konflik membela lembaga dan kepentingannya masing-masing.

Saya awam
Ketika kawan saya bicara, saya hanya mendengar saja. Maklum awam dalam soal ini. Selain kurang tahu, saya juga tidak terlalu berminat bicara hal demikian. Maklum, saya seperti masyarakat lainnya, yang penting hidup sehat, makmur, tenteram, dan dapat menikmati usia dengan sebaik-baiknya.

Begitu juga ibadah tidak terhalangi atau dipaksakan karena takut. Ibadah kepada Tuhan yang saya jalankan harus benar-benar dalam kondisi sadar bahwa saya butuh Allah. Ada pun bagaimana menciptakan atau mengkondisikannya secara struktural: pemerintahan, itu mungkin urusan yang lain yang lebih mengerti.

Namun, yang jelas saya sendiri sedang berupaya membangun diri agar tidak menyimpang dari garis Ilahiah.
Saya sepakat bahwa saat ini Kaum Muslim Indonesia jangan terkotak-kotak dengan si anu Syiah, si anu Sunni, atau NU, Muhammadiyah, Persis, IPABI, atau IJABI. Saya percaya, lembaga-lembaga demikian bukannya tidak penting, tetapi justru memiliki keunikan dalam memberikan sumbang sih kepada umat Islam.

Sejarah bercerita bahwa NU memelihara tradisi-tradisi Islam yang berbasis kultural, PERSIS dan Muhammadiyah mencoba memurnikan pemahaman Islam. Kemudian ada IJABI yang meski lahir sepuluh tahun lalu, memberi warna baru pada Islam Indonesia dengan pemikiran dan khazanah Islam kritis serta mengenalkan lebih dekat kepada Nabi Muhammad saw dan Ahlulbait.

Memang selama ini, sejak pra kemerdekaan hingga kini, khazanah Islam yang dominan adalah pemahaman keagamaan dari Ahlu Sunnah (Sunni), baik yang moderat maupun yang radikal.

Hadirnya kaum Muslimin yang bermazhab Syiah memperkaya khazanah Islam Indonesia. Betapa mudah dan banyak sekarang ini buku-buku dari khazanah Ahlubait yang beredar dan menjadi bacaan alternatif. Semakin banyak bacaan yang berkaitan dengan Islam hadir di Indonesia maka semakin jelas bahwa umat Islam Indonesia dinamis.

Karena itu, soal lembaga keagamaan harus dilihat kontribusinya. Bukan disalahkan sebagai biang kehancuran. Coba kita kaji, apakah ormas PERSIS selama ini banyak membawa mashlahat atau madharat di masyarakat Sunda dan Jawa? Apakah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) berperan penting di Indonesia?

Itulah yang saya kira penting diperhatikan. Kalau disatukan dalam satu jamaah, sangat tidak mungkin karena setiap orang punya minat dan kecenderungan yang berbeda. Karena itu, biarlah semua itu menjadi khazanah.

Kalau ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang baik, tidak perlu harus bergerak dalam satu jamaah kemudian mengganti sistem dan aturan yang sudah berlaku. Yang perlu dilakukan adalah menyadarkan pengelola dan pengurus negeri ini mengenai tanggung jawabnya. Kemudian orang-orang yang berada di luar membantu dengan pemikran dan melakukan hal-hal yang positif.

Saya kira kaum Muslim dan Muslimah Indonesia sudah harus bersikap sebagai Muslim-Muslimah non-sekterian; yang lintas mazhab dan tidak membuat keributan serta mementingkan kontribusi bagi Indonesia.

Yang paling utama untuk dilakukan adalah—sebagaimana ditulis Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya—Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. Karena itu, paradigma yang bersifat sekterian dan fikih sudah harus disimpan dan menjadi masalah pribadi. [ahmad sahidin]