Suatu hari saya bertemu dengan
kawan yang berlatar belakang dari Pesantren PERSIS (Persatuan Islam). Kawan
saya itu bilang bahwa umat Islam Indonesia yang mayoritas tidak berada dalam
satu jamaah sehingga agenda dan misi Islam secara keseluruhan tidak terwujud.
Ia menyebut syariat Islam yang seharusnya menjadi aturan hukum malah diabaikan.
Padahal, negeri ini dikuasai umat Islam dan para pejabatnya pun sebagian besar beragama
Islam. Anehnya, kata kawan itu, tidak ada kekuatan yang mampu mewujudkannya
untuk menciptakan negara Islam.
Lebih aneh lagi umat Islam
Indonesia senang membuat lembaga-lembaga yang terpisah sehingga tidak memiliki
visi dan misi yang sama. Yang ada hanya kepentingan lembaga dan individu. Saling
berebut jabatan dan pengaruh. Akibat tidak berada dalam satu jamaah, tidak
heran kalau umat Islam Indonesia terus berada konflik membela lembaga dan
kepentingannya masing-masing.
Saya awam
Ketika kawan saya bicara, saya hanya mendengar saja. Maklum awam dalam soal ini. Selain kurang tahu, saya juga tidak terlalu berminat bicara hal demikian. Maklum, saya seperti masyarakat lainnya, yang penting hidup sehat, makmur, tenteram, dan dapat menikmati usia dengan sebaik-baiknya.
Ketika kawan saya bicara, saya hanya mendengar saja. Maklum awam dalam soal ini. Selain kurang tahu, saya juga tidak terlalu berminat bicara hal demikian. Maklum, saya seperti masyarakat lainnya, yang penting hidup sehat, makmur, tenteram, dan dapat menikmati usia dengan sebaik-baiknya.
Begitu juga ibadah tidak
terhalangi atau dipaksakan karena takut. Ibadah kepada Tuhan yang saya jalankan
harus benar-benar dalam kondisi sadar bahwa saya butuh Allah. Ada pun bagaimana
menciptakan atau mengkondisikannya secara struktural: pemerintahan, itu mungkin
urusan yang lain yang lebih mengerti.
Namun, yang jelas saya sendiri sedang
berupaya membangun diri agar tidak menyimpang dari garis Ilahiah.
Saya sepakat bahwa saat ini Kaum
Muslim Indonesia jangan terkotak-kotak dengan si anu Syiah, si anu Sunni, atau
NU, Muhammadiyah, Persis, IPABI, atau IJABI. Saya percaya, lembaga-lembaga
demikian bukannya tidak penting, tetapi justru memiliki keunikan dalam
memberikan sumbang sih kepada umat Islam.
Sejarah bercerita bahwa NU
memelihara tradisi-tradisi Islam yang berbasis kultural, PERSIS dan
Muhammadiyah mencoba memurnikan pemahaman Islam. Kemudian ada IJABI yang meski
lahir sepuluh tahun lalu, memberi warna baru pada Islam Indonesia dengan
pemikiran dan khazanah Islam kritis serta mengenalkan lebih dekat kepada Nabi
Muhammad saw dan Ahlulbait.
Memang selama ini, sejak pra
kemerdekaan hingga kini, khazanah Islam yang dominan adalah pemahaman keagamaan
dari Ahlu Sunnah (Sunni), baik yang moderat maupun yang radikal.
Hadirnya kaum Muslimin yang
bermazhab Syiah memperkaya khazanah Islam Indonesia. Betapa mudah dan banyak
sekarang ini buku-buku dari khazanah Ahlubait yang beredar dan menjadi bacaan
alternatif. Semakin banyak bacaan yang berkaitan dengan Islam hadir di
Indonesia maka semakin jelas bahwa umat Islam Indonesia dinamis.
Karena itu, soal lembaga
keagamaan harus dilihat kontribusinya. Bukan disalahkan sebagai biang
kehancuran. Coba kita kaji, apakah ormas PERSIS selama ini banyak membawa
mashlahat atau madharat di masyarakat Sunda dan Jawa? Apakah Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, dan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) berperan
penting di Indonesia?
Itulah yang saya kira penting diperhatikan.
Kalau disatukan dalam satu jamaah, sangat tidak mungkin karena setiap orang
punya minat dan kecenderungan yang berbeda. Karena itu, biarlah semua itu
menjadi khazanah.
Kalau ingin mewujudkan masyarakat
Indonesia yang baik, tidak perlu harus bergerak dalam satu jamaah kemudian
mengganti sistem dan aturan yang sudah berlaku. Yang perlu dilakukan adalah
menyadarkan pengelola dan pengurus negeri ini mengenai tanggung jawabnya.
Kemudian orang-orang yang berada di luar membantu dengan pemikran dan melakukan
hal-hal yang positif.
Saya kira kaum Muslim dan
Muslimah Indonesia sudah harus bersikap sebagai Muslim-Muslimah non-sekterian;
yang lintas mazhab dan tidak membuat keributan serta mementingkan kontribusi
bagi Indonesia.
Yang paling utama untuk dilakukan
adalah—sebagaimana ditulis Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya—Dahulukan Akhlak
di Atas Fiqih. Karena itu, paradigma yang bersifat sekterian dan fikih
sudah harus disimpan dan menjadi masalah pribadi. [ahmad sahidin]