Benarkah Abu Thalib, sang paman
Nabi Muhammad saw, bukan seorang mukmin? Tidak sedikit penceramah atau mubaligh
masih meyakininya sebagai kafir. Saya mengira karena mereka belum membaca buku Antologi
Islam (yang diterbitkan Al-Huda Jakarta) dan analisa kritis
tentang hadis-hadis yang mengarah pada penistaan paman Rasulullah saw.
Abu Thalib
Sejarah mengisahkan bahwa Abu Thalib adalah ayah dari Ali bin Abu Thalib. Abu Thalib adalah saudara kandung dari ayah Nabi Muhammad saw, yaitu Abdullah bin Abdul Muthalib. Ada yang berpendapat bahwa Abu Thalib merupakan nama sendiri. Ada juga yang menyatakan nama yang sebenarnya adalah Abdu Manaf. Juga ada menyatakan beliau bernama Imran. Saya mendapatkan informasi itu dari buku Sejarah Nabi Muhammad saw karya Jafar Subhani (diterbitkan Lentera, Jakarta).
Sejarah mengisahkan bahwa Abu Thalib adalah ayah dari Ali bin Abu Thalib. Abu Thalib adalah saudara kandung dari ayah Nabi Muhammad saw, yaitu Abdullah bin Abdul Muthalib. Ada yang berpendapat bahwa Abu Thalib merupakan nama sendiri. Ada juga yang menyatakan nama yang sebenarnya adalah Abdu Manaf. Juga ada menyatakan beliau bernama Imran. Saya mendapatkan informasi itu dari buku Sejarah Nabi Muhammad saw karya Jafar Subhani (diterbitkan Lentera, Jakarta).
Meski tidak jelas, siapa nama sebenarnya, tetapi dari
sejarah sangat berperan dalam membesarkan dan melindungi Rasulullah saw.
Kepedulian dan perhatian Abu Thalib terhadap Nabi Muhammad saw dapat menjadi
bukti bahwa pamannya itu meyakini kenabian dan kerasulan Muhammad saw.
Menurut Al-Husaini: “Amat sukar dimengerti, bahkan tidak
masuk akal pendapat yang memandang Abu Thalib sebagai orang kafir. Dialah yang
bersama istrinya mengasuh dan membesarkan Rasulullah saw sejak beliau masih
berusia delapan tahun. Dialah yang menikahkan beliau saw dengan Khadijah binti
Khuwailid ra. Dialah yang sejak bi’tsah kenabian dan
kerasulan Muhammad saw membela dan menjaga keselamatannya dari berbagai
ancaman yang dilancarkan kaum musyrikin Quraisy.
“Tepat sekali apa yang pernah dikatakan seorang ulama
bahwa mustahil ada seorang kafir atau musyrik yang mau membela, melindungi dan
menjaga keselamatan seorang Nabi yang menyebarkan agama yang bertentangan
dengan kekufuran dan kesyirkannya sendiri. Tidak mungkin terjadi seorang
penyembah berhala membela, melindungi dan menjaga keselamatan seorang Nabi yang
menyerukan penghancuran berhala.
Jika Abu Thalib seorang ‘kafir’ ia pasti tidak akan
membiarkan istrinya, Fathimah binti Asad dan putra-putranya, memeluk Islam dan
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian besar jasa wanita Muslimah ini
sehingga ketika wafat dan hendak dimakamkan, Rasulullah saw turun ke dalam
liang lahad, menyelimutkan burdah yang sedang dipakai ke atas jenazahnya, lalu
berdoa memohonkan rahmat dan kebajikan baginya.
“Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa pembelaan Abu
Thalib itu didorong oleh semangat fanatisme kekabilahan yang sangat kuat di
kalangan masyarakat Arab, atau atas dorongan semangat kekerabatan. Pendapat
demikian itu pun sukar sekali dimengerti karena menurut kenyataan hanya Abu Thalib
sajalah satu-satunya putera Abdul Muthalib yang membela Muhammad Rasulullah
saw.
Banyak anak lelaki Abdul Muthalib (antara lain Abu
Lahab), tetapi mengapa selain Abu Thalib tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengulurkan tangn pembelaan? Bahkan memusuhi beliau?
“Memang benar bahwa Abu Thalib tidak meng-i’lan- kan (mengumumkan) keimanannya. Itu
semata-mata karena situasi dan kondisi masyarakat Quraisy ketika itu belum
memungkinkan baginya. Pada masa kelahiran Islam, ketika jumlah orang beriman
masih dapat dihitung dengan jari, bukan hanya Abu Thalib saja yang bertaqiyyah(merahasiakan keimanan). Antara lain Zaid bin
Al-Arqam yang menyediakan tempat tinggalnya untuk pertemuan-pertemuan rahasia
kaum beriman.
Bahkan Rasulullah saw sendiri sering bertemu dengan
mereka di tempat itu. Lagi pula I’lan bukan
persyaratan iman. Iman tidak cukup dengan pernyataan atau I’lan , tetapi menuntut pembuktian amal dan
perbuatan nyata. Dalam hal itu Abu Thalib telah membuktikan lebih banyak dari
yang lain.”
Lebih lengkapnya baca buku karya H.M.H.Al-Hamid
Al-Husaini, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad saw Sejak Sebelum Diutus
Menjadi Nabi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000; halaman 319-320).
Selamat mengkaji kembali sejarah. Jangan lupa berbagi dalam bentuk tulisan. Hatur nuhun. *** (ahmad sahidin)
Selamat mengkaji kembali sejarah. Jangan lupa berbagi dalam bentuk tulisan. Hatur nuhun. *** (ahmad sahidin)