Salam. Sampurasun. Saya tidak tahu ini akan menyangkut dengan tema atau
tidak. Saya tidak tahu apa yang harus disampaikan. Hanya saja saya punya
sedikit “beban moral” dalam benak bahwa
seseorang tidak bisa lepas dari masa lalu. Saya sendiri meyakininya bahwa diri
ini konstruksi dari sejarah dan salah satu “serpihan” sejarah yang masuk dalam
kehidupan saya adalah LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman).
Saya tidak tahu harus darimana narasi dibangun dan dibentuk, kemudian
menjadi ajang refleksi. Terlalu jauh untuk sampai padanya. Anggap saja ini
khayalan. Percayalah, setiap orang punya “serpihan” yang berbeda. Tidak sama
dan beragam. Meski memiliki kesamaan, tidak pernah ada yang sama. Percayalah
bahwa keragaman itu keniscayaan yang tidak boleh dipudarkan.
LPIK, saya kira punya power untuk ini, dan maaf ini harus sepakat
dahulu dengan Foucault bahwa kekuasaan menentukan kebenaran. Konteks ini LPIK
punya power, menentukan kebenaran dan menjadi mercusuar yang menyuarakan
kebenaran. Percayalah kebenaran bersama orang yang punya pengetahuan dan orang yang
merasa benar kadang tergelincir dalam kenistaaan karena sikap jumawa dan
claim truth. Saya mengalaminya, dahulu dan sekarang. Inilah yang saya
maksud dengan “beban” dan “moral” dari setiap intelektual yang berdiri di
punggung raksasa ilmu pengetahuan.
Percayalah “ilmiah” itu sekadar jalan menempuh pengetahuan, dan terdapat
banyak jalan menempuh pengetahuan. Dan itu saya dapatkan dari LPIK terdahulu,
ketika seorang kawan bernama (Mullah) Wawan Gunawan mengenalkan khazanah Islam.
Kemudian Kang Dede Nurdin, yang kini seorang Ph.D, mengenalkan sikap teguh
seorang ilmuwan (kalau tidak salah untuk LPIK oleh Kang Dede digunakan diksi cendekiawan).
Saya mengalami perubahan mendasar dari LPIK. Tahun 2000—kalau tidak
salah dan bisa cek di daftar buku LPIK, barangkali masih ada—saya kaget dengan
sebuah poster yang dipasang di Fakultas Dakwah UIN Bandung. Poster itu saya
kira keren dan serem: seruan menggugat al-Quran melalui kajian ilmiah.
Saya penasaran dan bertemu dengan Kang Dede di LPIK—yang kini menjadi
gedung Fakultas Ushuluddin—berbincang dan mempertanyakan “nada” gugatan. Saya
dapat pencerahan tentang memahami konteks dibalik teks. Akhirnya, saya ngaji
sore perdana di LPIK bersama teman dari jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Saya
kaget dengan letupan dari Pendeta Soni yang menyatakan ada tahrif dalam
al-Quran. Saya makin kaget ketika Al-Quran yang dipegang umat Islam bukan
aseli, tetapi replika dari artefak mushaf al-Quran.
Pikiran saya menerawang bahwa mungkinkah ada distorsi? Ini yang terus
terbayang dan mulai meragukan “kebenaran” agama dan mengambil kebenaran
berdasarkan evidensi yang faktual. Ini pengalaman goncangan LPIK, yang pertama.
Kedua, goncangan kedua ketika interaksi dengan (Mullah) Wawan yang
mengenalkan karya Kang Jalal. Buku Islam Aktual dan Islam Alternatif
dikenalkannya untuk dibaca, yang kemudian menggiring saya untuk mempelajari
tokoh-tokoh yang dibaca oleh Kang Jalal. Sosok Ayatullah Murtadha Muthahhari,
Dr Ali Syariati, Imam Khomeini, Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai, dan
Mullah Shadra. Saya tadarus sedikit demi sedikit tokoh tersebut, termasuk
mempelajari Islam mazhab Syiah dan Islam Liberal.
Dari bacaan mereka, saya mengetahui adanya perbedaan dan progresivitas
dari pemikiran Islam. Saya menjadi yakin bahwa seseorang terbentuk bukan karena
makanan dan minuman atau pergaualan, tetapi karena pilihan berkaitan dengan
asupan yang direguknya dalam hati dan pikiran. Ideologi dan teologi, dua hal yang
menjembatani hadirnya logos dalam diri, yang muncul karena ragam interaksi
dengan kawan (LPIK) yang beragam wajah teologi dan ideologi.
Ketiga, dari interaksi teologis dan ideologis itu saya menjadi paham bahwa
pencerahan akan diketahui dan dirasakan kala diri siap menerima perbedaan sekaligus
meyakini pada diri orang lain terdapat kebenaran. Pluralitas, inilah yang
tertanam dalam diri ini hingga sekarang. Tentang ini saya banyak dialog
sekaligus dicerahkan oleh Buled (Ibnu Ghifarie) dan Yusep Somantri—aktivis
Cianjur yang kini terus bagerak dengan kaum tani. Maklum bacaan saya berkutat
dengan sekterianisme dan sejarah.
Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, bahwa seseorang perlu nangtung
jeung nanjeur ku bandanna sorangan. Seorang intelektual akan merasa
mempunyai khazanah dalam diri ketika dirinya bisa bersebrangan secara ilmu
sekaligus mencerahkan orang lain dengan ragam pikirannya dan sebaliknya siap
dicerahi orang lain yang mungkin bertentangan dengan akal dan hati.
Pertarungannya bukan lagi soal teologi atau ideologi, tetapi bagaimana diri
manusia bisa memiliki kekayaan khazanah ilmu dari masing-masing teologi dan
ideologi, bahkan dari orang yang dipandang rendah. Ini saya kira semangat hadis
Rasulullah saw bahwa ambil hikmah dari mana pun munculnya. Dalam sikap ini tentu diri sebagai manusia
memerlukan identitas untuk memperkokoh diri dengan segala keyakinan dan ilmu
pengetahuan, yang tentunya bisa bersebrangan dengan yang manusia lain—termasuk dengan
kawan dekat. Dengan sikap memahami identitas maka—semoga muncul—sikap
toleransi. Ini penting dan menjadi nilai dari LPIK—ketika saya menjadi ais
pangampih.
Kelima, sekarang ini yang terus dipacu adalah tradisi menulis, baca, dan
diskusi. Ini yang menyerap dalam diri saya, kemudian mengantarkan saya untuk
eksis di dunia non kampus. Dari kebiasaan menulis lewat secarik kertas yang
kemudian disodorkan pada Buled dan Dani Wardani, membuat saya tahu bahwa betapa
babak belur dalam urusan menulis.
Dari saling baca, saling komenter, dan saling koreksi menjadi terbiasa
untuk menerima kesalahan dan mengakui adanya kebenaran. Tentu dalam urusan
tersebut landasan seperti ilmu tata bahasa dan kamus Indonesia menjadi pegangan
yang mesti dijungjung (sementara sebelum ada koreksi dari otoritas di bidangnya).
Karena itu, modal utama untuk tradisi ilmiah adalah membaca buku. Baca
buku satu bab kemudian share dengan teman. Saling komentar. Kemudian dibuat
tulisannya sebagai upaya pengikat makna—istilah Hernowo—yang dalam hadis
disebutkan: ikatlah ilmu dengan
menuliskannya. Kalau tidak salah dalam seminggu, saya rampung satu buku dan
disambung dengan buku lainnya. Setiap hari melakukan tradisi dan bergantian.
Bukan komunal, tetapi kesadaran individual. Saya kira tradisi ini bisa terus
dilanjutkan.
Kelima, adalah rihlah, upaya membiasakan untuk silatufikri dengan mengunjungi
dosen-dosen yang dianggap memiliki “kafaah” yang hebat dalam sebuah ilmu dan
berdiskusi dengan mengajukan ragam pertanyaan. Juga bertemu dengan kaum intelektual,
budayawan, dan lembaga yang sejenis dengan LPIK. Berdialog dan berbagi
informasi tentang problema keagamaan dan kemanusiaan, serta sikap intelektual yang
layak untuk dilakukan.
Hatur nuhun, parantos ngemutan simkuring perkawis “beban dan moral” yang
tersandung dalam benak yang silam. Hapunten ieu mah lauk buruk milu mijah bae. Wassalam. (Ahmad Sahidin)