Sabtu, 02 Januari 2016

Menjadi Seorang Intelektual

Salam. Sampurasun. Saya tidak tahu ini akan menyangkut dengan tema atau tidak. Saya tidak tahu apa yang harus disampaikan. Hanya saja saya punya sedikit  “beban moral” dalam benak bahwa seseorang tidak bisa lepas dari masa lalu. Saya sendiri meyakininya bahwa diri ini konstruksi dari sejarah dan salah satu “serpihan” sejarah yang masuk dalam kehidupan saya adalah LPIK (Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman).

Saya tidak tahu harus darimana narasi dibangun dan dibentuk, kemudian menjadi ajang refleksi. Terlalu jauh untuk sampai padanya. Anggap saja ini khayalan. Percayalah, setiap orang punya “serpihan” yang berbeda. Tidak sama dan beragam. Meski memiliki kesamaan, tidak pernah ada yang sama. Percayalah bahwa keragaman itu keniscayaan yang tidak boleh dipudarkan.


LPIK, saya kira punya power untuk ini, dan maaf ini harus sepakat dahulu dengan Foucault bahwa kekuasaan menentukan kebenaran. Konteks ini LPIK punya power, menentukan kebenaran dan menjadi mercusuar yang menyuarakan kebenaran. Percayalah kebenaran bersama orang yang punya pengetahuan dan orang yang merasa benar kadang tergelincir dalam kenistaaan karena sikap jumawa dan claim truth. Saya mengalaminya, dahulu dan sekarang. Inilah yang saya maksud dengan “beban” dan “moral” dari setiap intelektual yang berdiri di punggung raksasa ilmu pengetahuan.

Percayalah “ilmiah” itu sekadar jalan menempuh pengetahuan, dan terdapat banyak jalan menempuh pengetahuan. Dan itu saya dapatkan dari LPIK terdahulu, ketika seorang kawan bernama (Mullah) Wawan Gunawan mengenalkan khazanah Islam. Kemudian Kang Dede Nurdin, yang kini seorang Ph.D, mengenalkan sikap teguh seorang ilmuwan (kalau tidak salah untuk LPIK oleh Kang Dede digunakan diksi cendekiawan).

Saya mengalami perubahan mendasar dari LPIK. Tahun 2000—kalau tidak salah dan bisa cek di daftar buku LPIK, barangkali masih ada—saya kaget dengan sebuah poster yang dipasang di Fakultas Dakwah UIN Bandung. Poster itu saya kira keren dan serem: seruan menggugat al-Quran melalui kajian ilmiah.

Saya penasaran dan bertemu dengan Kang Dede di LPIK—yang kini menjadi gedung Fakultas Ushuluddin—berbincang dan mempertanyakan “nada” gugatan. Saya dapat pencerahan tentang memahami konteks dibalik teks. Akhirnya, saya ngaji sore perdana di LPIK bersama teman dari jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Saya kaget dengan letupan dari Pendeta Soni yang menyatakan ada tahrif dalam al-Quran. Saya makin kaget ketika Al-Quran yang dipegang umat Islam bukan aseli, tetapi replika dari artefak mushaf al-Quran.

Pikiran saya menerawang bahwa mungkinkah ada distorsi? Ini yang terus terbayang dan mulai meragukan “kebenaran” agama dan mengambil kebenaran berdasarkan evidensi yang faktual. Ini pengalaman goncangan LPIK, yang pertama.

Kedua, goncangan kedua ketika interaksi dengan (Mullah) Wawan yang mengenalkan karya Kang Jalal. Buku Islam Aktual dan Islam Alternatif dikenalkannya untuk dibaca, yang kemudian menggiring saya untuk mempelajari tokoh-tokoh yang dibaca oleh Kang Jalal. Sosok Ayatullah Murtadha Muthahhari, Dr Ali Syariati, Imam Khomeini, Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai, dan Mullah Shadra. Saya tadarus sedikit demi sedikit tokoh tersebut, termasuk mempelajari Islam mazhab Syiah dan Islam Liberal.

Dari bacaan mereka, saya mengetahui adanya perbedaan dan progresivitas dari pemikiran Islam. Saya menjadi yakin bahwa seseorang terbentuk bukan karena makanan dan minuman atau pergaualan, tetapi karena pilihan berkaitan dengan asupan yang direguknya dalam hati dan pikiran.  Ideologi dan teologi, dua hal yang menjembatani hadirnya logos dalam diri, yang muncul karena ragam interaksi dengan kawan (LPIK) yang beragam wajah teologi dan ideologi.

Ketiga, dari interaksi teologis dan ideologis itu saya menjadi paham bahwa pencerahan akan diketahui dan dirasakan kala diri siap menerima perbedaan sekaligus meyakini pada diri orang lain terdapat kebenaran. Pluralitas, inilah yang tertanam dalam diri ini hingga sekarang. Tentang ini saya banyak dialog sekaligus dicerahkan oleh Buled (Ibnu Ghifarie) dan Yusep Somantri—aktivis Cianjur yang kini terus bagerak dengan kaum tani. Maklum bacaan saya berkutat dengan sekterianisme dan sejarah.

Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, bahwa seseorang perlu nangtung jeung nanjeur ku bandanna sorangan. Seorang intelektual akan merasa mempunyai khazanah dalam diri ketika dirinya bisa bersebrangan secara ilmu sekaligus mencerahkan orang lain dengan ragam pikirannya dan sebaliknya siap dicerahi orang lain yang mungkin bertentangan dengan akal dan hati. Pertarungannya bukan lagi soal teologi atau ideologi, tetapi bagaimana diri manusia bisa memiliki kekayaan khazanah ilmu dari masing-masing teologi dan ideologi, bahkan dari orang yang dipandang rendah. Ini saya kira semangat hadis Rasulullah saw bahwa ambil hikmah dari mana pun munculnya.  Dalam sikap ini tentu diri sebagai manusia memerlukan identitas untuk memperkokoh diri dengan segala keyakinan dan ilmu pengetahuan, yang tentunya bisa bersebrangan dengan yang manusia lain—termasuk dengan kawan dekat. Dengan sikap memahami identitas maka—semoga muncul—sikap toleransi. Ini penting dan menjadi nilai dari LPIK—ketika saya menjadi ais pangampih.

Kelima, sekarang ini yang terus dipacu adalah tradisi menulis, baca, dan diskusi. Ini yang menyerap dalam diri saya, kemudian mengantarkan saya untuk eksis di dunia non kampus. Dari kebiasaan menulis lewat secarik kertas yang kemudian disodorkan pada Buled dan Dani Wardani, membuat saya tahu bahwa betapa babak belur dalam urusan menulis.

Dari saling baca, saling komenter, dan saling koreksi menjadi terbiasa untuk menerima kesalahan dan mengakui adanya kebenaran. Tentu dalam urusan tersebut landasan seperti ilmu tata bahasa dan kamus Indonesia menjadi pegangan yang mesti dijungjung (sementara sebelum ada koreksi dari otoritas di bidangnya).

Karena itu, modal utama untuk tradisi ilmiah adalah membaca buku. Baca buku satu bab kemudian share dengan teman. Saling komentar. Kemudian dibuat tulisannya sebagai upaya pengikat makna—istilah Hernowo—yang dalam hadis disebutkan:  ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Kalau tidak salah dalam seminggu, saya rampung satu buku dan disambung dengan buku lainnya. Setiap hari melakukan tradisi dan bergantian. Bukan komunal, tetapi kesadaran individual. Saya kira tradisi ini bisa terus dilanjutkan.

Kelima, adalah rihlah, upaya membiasakan untuk silatufikri dengan mengunjungi dosen-dosen yang dianggap memiliki “kafaah” yang hebat dalam sebuah ilmu dan berdiskusi dengan mengajukan ragam pertanyaan. Juga bertemu dengan kaum intelektual, budayawan, dan lembaga yang sejenis dengan LPIK. Berdialog dan berbagi informasi tentang problema keagamaan dan kemanusiaan, serta sikap intelektual yang layak untuk dilakukan.

Hatur nuhun, parantos ngemutan simkuring perkawis “beban dan moral” yang tersandung dalam benak yang silam. Hapunten ieu mah lauk buruk milu mijah bae. Wassalam. (Ahmad Sahidin)