Sabtu, 06 Februari 2016

Belajar dari buku Al-Mushthafa: Studi Kritis Historis Nabi Saw

Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membaca buku yang berkaitan dengan sejarah Nabi Muhammad saw. Selain karena terlalu bernuansa klasik dan pernah dipelajari ketika kuliah. Juga mengira bahwa sejarah Nabi tidak jauh berbeda dengan buku lainnya: membosankan. 

Namun setelah bergabung dalam sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah yang dibuat oleh kawan-kawan alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya menjadi tertarik lagi untuk membuka dan membaca lagi buku sejarah.

Dalam diskusi sampai pada pembahasan metodologi sejarah dan mempertanyakan keabsahan metodologi sejarah modern Barat. Saya menyatakan sepakat dengan penggugatan atau uji ulang semua khazanah kesejarahan, baik metodologi sejarah maupun filsafat sejarah yang berasal dari Barat.

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dengan standar apakah kita akan mengujinya? Kalau memang umat Islam, ulama dan sejarawan Muslim, memiliki metodologi yang khas; seperti apakah? Benarkah sejarawan Muslim memiliki metodologi atau epistemologi yang khas Islam?

Sepanjang penelusuruan saya dalam khazanah intelektual Islam, khususnya teologi, tasawuf falsafi, dan filsafat; ujung-ujungnya ada pengaruh dari khazanah kebudayaan luar Islam. Terutama ketika gencarnya proyek penerjemahan, penyalinanan, dan membuat karya yang dipesan penguasa, serta diskusi antar ulama. Tidak disangkal dalam karya-karya para ulama atau ilmuwan Islam terdahulu ada pengaruh pemikiran luar Islam. Contohnya, pada ushul fiqih sangat kentara pengaruh logika Aristoteles dalam cara-cara pengambil kesimpulan.

Bahkan, Ibnu Khaldun yang digembar-gemborkan “Bapak Sejarah” pun gaya penulisannya tidak murni dari kreativitasnya. Mungkin pengaruh metodologi hadits dan pembelaan teologi serta keberpihakkan pada penguasa lebih dominan dalam karyanya. Untuk menguji karya Ibnu Khaldun harusnya dengan sebuah “otoritas” yang benar-benar diakui semua sejarawan atau yang bersifat universal. Dan ini sangat sulit karena semua karya sejarah terjebak pada subjektivitas dan relativitas kebenaran. Sejarah Islam pascawafat Rasulullah saw pun tidak lepas dari subjektivitas mazhab dan aliran politik para penulis sejarahnya. Apalagi para penulis sejarah Islam dari Barat, pasti lebih subjektif dan dominan deislamisasi ketimbang kejujurannya.

Bagaimana dengan sejarah Islam masa Rasulullah saw; adakah alat ujinya sehingga sejarah Nabi Muhammad saw bebas diri distorsi sejarah?

Saya kira upaya mengkaji Sirah Nabawiyah secara kritis telah dimulai oleh Muhammad Husain Haekal yang menulis buku Sejarah Hidup Muhammad (diterjemahkan oleh Ali Audah dan diterbitkan Litera Antar Nusa, 1995). Kemudian Jafar Subhani dengan karyanya The Message (terbitan Foreign Departement of Be`that Foundation, 1984) dan Jafar Murtadha Amili dengan menulis kitab Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw.

Jalaluddin Rakhmat 
Dari negeri kita, Jalaluddin Rakhmat adalah orang yang berani mengkaji sejarah Rasulullah saw melalui analisa hadits yang diuji dengan al-Quran. Kajiannya diterbitkan dalam buku Al-Mushthafa: Studi Kritis Historis Nabi Saw (diterbitkan Muthahhari Press secara terbatas dan diterbitkan ulang dengan judul Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan oleh Penerbit Simbiosa pada Mei 2008 dengan tebal 226 halaman).

Dalam buku Al-Mushthafa, Kang Jalal (panggilan Jalaluddin Rakhmat) menulis kritik terhadap hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan hal-hal yang berkaitan dengan sosok Muhammad dan nubuwwah Rasulullah saw.

Menurut Kang Jalal, sejarah Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam sekarang sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw.

Dalam upaya menguji kebenaran sejarah Nabi saw, Kang Jalal menggunakan tiga tahap. Pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia. Kedua, mempertemukan riwayat Nabi saw dengan pesan Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran maka bisa diterima; jika tidak maka wajib ditolak. Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan (isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.

Nah, karya Kang Jalal tersebut saya kira bisa disebut metode kritik sejarah kritis, khususnya untuk Sirah Nabawiyah. Meskipun spesifik, tampaknya bisa dkembangkan untuk menjadi alat analisa pada kajian sejarah dan peradaban Islam sejak pasca wafat Rasulullah saw sampai sekarang. Ini sekadar tawaran kalau enggan menggunakan analisa hasil kajian sejarawan Barat yang berlimpah di perpustakaan kampus-kampus atau toko-toko buku Indonesia. 

Menurut seorang kawan dalam diskusi di mailing list bahwa Kang Jalal sangat cerdas dengan kajian historis kehidupan Nabi Muhammad Saw.

Berikut ini komentarnya: “Untuk sejarah Sirah Nabawiyyah saya setuju dengan metode Kang Jalal yang ternyata cukup ampuh. Banyak pertanyaan sekitar muatan hadist yang saya rasakan mengganggu dapat terpecahkan dengan solusi hasil dari metode tersebut. Selain dari itu, metode tersebut membuat kita lebih kritis dan mengantarkan pada temuan-temuan yang terkadang mencengangkan, di samping juga lebih memurnikan ajaran Islam dari takhayul, mitos, dan rekaan-rekaan. Asumsi bahwa Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah sangat ampuh dalam menjawab keraguan-raguan terhadap muatan beberapa hadist yang dikenal selama ini. Sebagai contoh, hadist tentang cara menanam kurma yang mashur sebagai asal-usul atau asbabun nujul hadist yang terkenal “Antum ‘alamu bi umuri dunyaukum” yang membawa konsekuensi pemisahan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, dengan metode studi kritis atas hadist (Sirah Nabawiyah) patut dipertanyakan kembali.

Masa Rasulullah saw yang mulia yang dalam kehidupan sehari-harinya aktif dalam urusan sosial dan urusan hidup sehari-hari (berdagang, ikut berperang sejak kecil mempertahankan kabilah) tidak mengenal cara menama kurma? Akan sangat mengurangi kemuliaannya apabila seorang Rasul penutup para utusan Allah tidak sadar akan ucapannya yang sangat besar implikasinya itu.

Demikian pula hadis tentang asababun nuzul turunnya surah Al Falaq dan An Naas yang bertentangan dengan tingkat kesadaran spiritual Nabi saw (sehingga tidak mungkin seorang Nabi saw terkena sihir. Bila hendak menjadikan surah tersebut untuk mencegah sihir dan sejenisnya, Alloh tidak perlu merendahkan derajat Nabi saw – sampai harus terkena sihir segala macam- sebagai asbabun nuzulnya). Banyak lagi peristiwa yang diberitakan sejumlah hadis yang patut kita kritisi. Semua itu tidak bermakna kita harus menjadi atau mendapat label sebagai ‘inkar sunnah’.”

Komentar tersebut mengingatkan saya pada sesepuh Jawa Barat Tjetje Hidayat Padmadinata dalam acara diskusi buku “Api Sejarah” di Redaksi Pikiran Rakyat Bandung. 

Tjetje Hidayat Padmadinata menerangkan, sekarang ini era reformasi sehingga setiap orang bebas untuk berpendapat dan menyampaikan pemikirannya asal berdasarkan dalil yang jelas. Mungkin dalam hal ini didasarkan pada kajian ilmiah yang kebenarannya menjadi standar dunia. Karena itu, label “inkar sunnah” bagi yang mengkritisi sunnah Nabi atau sirah nabawiyah tidak perlu dihiraukan.

Saya kira munculnya label “inkar sunnah” lahir dari mereka yang tidak mampu untuk “bertarung” secara ilmiah dalam membuktikan kebenarannya.

Saya menjadi teringat pada pendapat Abdul Karim Souroush bahwa pemahaman agama oleh sebagian umat Islam telah dijadikan sakral dan yang sakral berupa “nash-nash” malah ditinggalkan. Dari hal ini tampaknya kita perlu membedakan antara agama sebagai kebenaran dan agama sebagai identitas yang lahir dari berbagai tafsir atau pemahaman dari “nash” agama. *** (Ahmad Sahidin)