Sehari sebelum lebaran. Saya dan istri berangkat ke Cianjur.
Ceritanya mudik. Jalan macet dari arah
Kopo Sayati. Tiba di terminal Leuwi Panjang. Masuk bus jurusan
Bandung-Sukabumi. Sekira sepuluh menit sudah penuh dan bus berangkat. Harga ongkos
30.000. Biasanya 25.000. Naik 5.000.
Wajar dan tidak terlalu berat karena memang jaraknya juga tidak jauh. Tetapi masih
kena hukum safar. Tadinya mau berangkat ba’da shalat zhuhur, hanya khawatir
penuh dan berebut bus kemudian cuaca yang panas. Maka berangkat pagi dan tiba
di rumah mertua jam sebelas.
Setiba di rumah, seperti biasa bersalaman dan tanya kabar. Kemudian
istirahat dan menunaikan shalat zhuhur kemudian ashar. Tentu kena hukum qashar
karena niat tinggal kurang dari sepuluh hari. Hanya dua hari. Jumat sore
langsung balik ke Bandung.
Sore jelang maghrib hari sambil menunggu pengumuman sidang
isbat, saya bersama istri dan mertua ziarah ke makam keluarga. Kuburan keluarga
ternyata terpisah-pisah. Jadi, di setiap makam tidak lama dalam membaca doa dan
ayat-ayat Al-Quran. Kemudian pergi pada sebuah tempat bersama keluarga untuk
menanti tibanya “bedug” sebagai tanda ifthar. Saat menanti, saya termenung:
mengapa adzan maghrib menjadi tanda buka puasa. Bukankah dalam Al-Quran
disebutkan ifthar puasa ketika sudah
gelap? Mengapa maghrib yang masih belum masuk gelap? Saya coba tanya istri.
Hanya tersenyum dan bilang: mungkin sudah tradisi. Saya manggut-manggut.
Selepas buka puasa bersama keluarga kemudian shalat di masjid. Kemudian
balik ke rumah. Langsung menyalakan televisi dan melihat berita sidang isbat.
Manteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam konferensi pers menyatakan Idul
Fitri jatuh pada hari Jumat, 17 Agustus 2015. Saya bersama keluarga senantiasa
mengikuti ketetapan pemerintah dalam memulai puasa ramadhan dan idul fitri. Saya
dapat SMS dari kawan bahwa ada ormas yang menyatakan kurang kuat argumentasi pemerintah
RI dalam menetapkan Idul Fitri. Itulah Indonesia. Umat Islam yang beragam dan
mungkin karena merasa lebih tahu. Setiap orang punya pilihan. Tidak bisa dipaksakan.
Saya dahulu ketika mengaji fikih, masih melekat dalam benak, bahwa fikih yang
berada dalam ranah publik perlu ditetapkan hakim
syar’i (pemerintah) untuk
kebersamaan dan ukhuwah Islamiyyah. Itulah sebabnya saya mengikuti pemerintah
untuk 1 ramadhan dan 1 syawal.
Jumat pagi mengikuti shalat idul fitri. Banyak dan sampai
keluar dari masjid. Sayang sekali ceramahnya terlalu lama dan pembahasannya
sangat normatif mengisahkan hadis tentang yang lulus puasa. Sudah sering
disampaikan setiap kali mendengarkan ceramah sebelum shalat tarawih. Jadi, mengulang-ulang. Meski beda
tempat, temanya tetap tidak berbeda. Kemudian di luar masjid orang-orang malah rebut
dengan ngobrol. Tibalah bersalaman. Mengantri dan berkeliling satu sama lain
saling mengucapkan hapunten lahir batin. Padahal, di antara orang yang saya
salami tidak saling kenal dan baru saja bertemu. Mungkin sudah tradisi sehingga
tetap mengalir kalimat tersebut dari bibir orang-orang, termasuk saya.
Kemudian berangkat bersama keluarga mengunjungi saudara-saudara.
Di antara yang dikunjungi ada yang sedang sakit. Dahulu ketika lebaran sehat
dan bugar. Menjelang siang, saya bersama keluarga yang lelaki ke masjid untuk
shalat Jumat. Ketika di Bandung, saat lebaran jatuh pada hari Jumat, seorang
ustadz mengatakan boleh untuk tidak shalat jumat diganti dengan shalat zhuhur. Tetapi
karena ini bersama keluarga, saya ikut mayoritas. Jumatan di masjid yang cukup
besar. Saat tiba waktunya, khatib berdiri dan seorang muadzin berdiri membaca
shalawat dan doa. Menyerahkan tongkat kepada khatib yang kemudian duduk.
Mengalunlah adzan oleh sang muadzin.
Selepas adzan, tidak langsung duduk, tetapi membacakan hadis
Abu Hurairah tentang tidak boleh bicara dalam saat khatib menyampaikan khutbah.
Khatib membaca naskah. Mengalun indah dan melafalkan ayat Al-Quran. Kemudian
istighfar dan duduk. Mengalun shalawat di antara jamaah. Berdiri lagi khatib
membacakan naskah khutbah kemudian diakhiri dengan doa. Lalu, shalat jumat dua
rakaat. Keponakan saya ketika selesai shalat langsung bilang: jumatannya
sebentar dan tidak ada uraian ceramah. Saya tersenyum dan bilang kepadanya: khatib pakai bahasa Arab
dan mengutip ayat Al-Quran. Dan memang demikian di daerah-daerah. Masih kuat
dengan tradisi terdahulu bahwa khutbah tidak boleh menggunakan bahasa yang
dimengerti umat karena Nabi Muhammad saw juga menggunakan bahasa Arab. Juga demikian
di Garut ketika jumatan. Sebentar dan tidak mengerti isi dari yang disampaikan
oleh khatib. Berbeda dengan di kota-kota besar seperti Bandung. Itulah keragaman
dan tidak perlu dipermasalahkan. Biarkan mengalir dengan arusnya sendiri.
Sore hari langsung meluncur ke Bandung. Lenglang dan tidak
macet. Demikian yang terlihat saat melewati jalan menuju rumah. Geunah jigana mun
Bandung sapertos keur usum lebaran. Punten ngan sakitu tiasa didugikeun. Hatur nuhun.
Cag… [ahmad sahidin]