Dalam buku Kyai NU dan Imam Marja Syiah Memutilasi Salafi Wahabi, KH Alawi Nurul Alam Al-Bantani menyajikan satu manuskrip
debat Imam Jafar Shadiq dengan Syiah Rafidhah. Saya baca dengan santai dan
setelah itu saya hanya tersenyum. Saya lihat rujukan internet yang disematkan
pada tulisan tersebut berasal dari situs: fimadani.
Sudah
mafhum kalau situs fimadani memuat berita atau artikel yang menebar
kebencian dan cenderung memprovokasi agar benci umat Islam yang meyakini mazhab
Syiah. Kemudian memuat manuskrip yang berkaitan dengan Imam Jafar, tentu layak untuk dipertanyakan kebenarannya.
Sebelum
mengomentari tulisan yang dimuat Pak Alawi dalam bukunya, saya ingin sedikit
berbagi tentang filologi karena manuskrip berada dalam ranah bidang studi ini.
Perlu
diketahui bahwa manuskrip dalam filologi sebelum diakui sebagai sumber harus
diuji dahulu dan mengalami proses kritik. Sebelum dijadikan sumber penulisan
sejarah atau sumber informasi sebuah ilmu, harus mengalami tahapan penyuntingan
seperti pencatatan dan pengumpulan naskah, kritik teks (dengan menggunakan
metode intuif, metode obyektif, metode gabungan, metode landasan, dan metode
naskah tunggal), menyusun stema, mengenal manuskrip secara detail (meliputi
aksara/palaeografi, jenis kertas, dan kolofon).
Bagian
eksplanasi manuskrip ini cukup berat dilakukan (seorang peneliti manuskrip)
sehingga membutuhkan bantuan para ahli bahasa, huruf, dan orang yang mengenal
kertas-kertas kuno. Selanjutnya masuk pada transliterasi dan penerjemahan.
Setelah
mengalami tahap akhir, baru manuskrip bisa layak untuk dijadikan sumber
informasi. Penyajiannya pun disertakan manuskrip asli, transliterasi, dan
terjemahan. Juga diberikan analisa atas teks manuskrip dari disiplin ilmu yang
terkait dengannya. Nah, manuskrip yang sudah tuntas dari edisi penyutingan (filologi)
ini yang biasa diperbolehkan disebarkan oleh lembaga perpustakaan atau lembaga
kajian ilmiah.
Sementara
manuskrip yang disebutkan dalam buku Alawi, hanya berupa terjemahan dan
disebutkan dari perpustakaan. Tanpa menyertakan detail deskripsi huruf, bentuk,
tahun penemuan, dan lainnya. Bahkan narasinya pun (kalau mau disebut hadis)
tidak memiliki sanad sehingga perlu diragukan kebenarannya.
Saya cek
pada situs yang dikutip oleh Alawi itu ternyata juga tidak mencantumkan sumber
aslinya. Tidak jelas asal-usulnya. Kalau jelas sumbernya bisa diuji secara
filologis. Misalnya: apakah keretasnya betul-betul lahir pada zaman
itu? Bentuk tulisan dan isinya, apakah betul sama dengan kitab-kitab hadis dari
Imam Jafar Shadiq as?
Saya kira proses kerja suntingan
filologis tidak dilakukan oleh orang yang memuat dalam situs tersebut. Bahkan
Pak Alawi pun tampaknya tidak melakukan kajian filologis malah langsung percaya
saja dengan memuatnya dalam buku. Saya
meragukan kebenaran manuskrip tersebut. Kemungkinan yang disajikan dalam situs
dan buku Pak Alawi itu termasuk pada manuskrip fiktif yang dibuat sengaja kemudian disandarkan
kepada ulama besar Ahlul Bait: Imam Jafar Shadiq as.
Sayangnya, kalau dicantumkan teks
aslinya atau scan dari manuskrips bisa dikaji ulang. Nah, mungkin ada yang bisa
mengecek dan memotret langsung manuskripnya dari perpustakaan yang disebutkan. Pada
situs yang memuatnya tidak mencantumkan. Ini sangat sulit diuji kebenarannya.
Karena itu, riwayat dari manuskrip yang
tidak jelas tersebut layak untuk diabaikan dan tidak pantas dijadikan sumber
dalam keilmuan. Apalagi ini berkaitan dengan ajaran Islam; yang sangat
mementingkan ketelitian. Anehnya: kenapa dimuat oleh seorang Kiai dalam
buku? Entahlah...