Selasa, 07 Juli 2015

Belajar Filologi dari Kasus Manuskrip

Dalam buku Kyai NU dan Imam Marja Syiah Memutilasi Salafi Wahabi, KH Alawi Nurul Alam Al-Bantani menyajikan satu manuskrip debat Imam Jafar Shadiq dengan Syiah Rafidhah. Saya baca dengan santai dan setelah itu saya hanya tersenyum. Saya lihat rujukan internet yang disematkan pada tulisan tersebut berasal dari situs: fimadani.

Sudah mafhum kalau situs fimadani memuat berita atau artikel yang menebar kebencian dan cenderung memprovokasi agar benci umat Islam yang meyakini mazhab Syiah. Kemudian memuat manuskrip yang berkaitan dengan Imam Jafar,  tentu layak untuk dipertanyakan kebenarannya.

Sebelum mengomentari tulisan yang dimuat Pak Alawi dalam bukunya, saya ingin sedikit berbagi tentang filologi karena manuskrip berada dalam ranah bidang studi ini.

Perlu diketahui bahwa manuskrip dalam filologi sebelum diakui sebagai sumber harus diuji dahulu dan mengalami proses kritik. Sebelum dijadikan sumber penulisan sejarah atau sumber informasi sebuah ilmu, harus mengalami tahapan penyuntingan seperti pencatatan dan pengumpulan naskah, kritik teks (dengan menggunakan metode intuif, metode obyektif, metode gabungan, metode landasan, dan metode naskah tunggal), menyusun stema, mengenal manuskrip secara detail (meliputi aksara/palaeografi, jenis kertas, dan kolofon).

Bagian eksplanasi manuskrip ini cukup berat dilakukan (seorang peneliti manuskrip) sehingga membutuhkan bantuan para ahli bahasa, huruf, dan orang yang mengenal kertas-kertas kuno. Selanjutnya masuk pada transliterasi dan penerjemahan.

Setelah mengalami tahap akhir, baru manuskrip bisa layak untuk dijadikan sumber informasi. Penyajiannya pun disertakan manuskrip asli, transliterasi, dan terjemahan. Juga diberikan analisa atas teks manuskrip dari disiplin ilmu yang terkait dengannya. Nah, manuskrip yang sudah tuntas dari edisi penyutingan (filologi) ini yang biasa diperbolehkan disebarkan oleh lembaga perpustakaan atau lembaga kajian ilmiah.

Sementara manuskrip yang disebutkan dalam buku Alawi, hanya berupa terjemahan dan disebutkan dari perpustakaan. Tanpa menyertakan detail deskripsi huruf, bentuk, tahun penemuan, dan lainnya. Bahkan narasinya pun (kalau mau disebut hadis) tidak memiliki sanad sehingga perlu diragukan kebenarannya.

Saya cek pada situs yang dikutip oleh Alawi itu ternyata juga tidak mencantumkan sumber aslinya. Tidak jelas asal-usulnya. Kalau jelas sumbernya bisa diuji secara filologis. Misalnya:  apakah keretasnya betul-betul lahir pada zaman itu? Bentuk tulisan dan isinya, apakah betul sama dengan kitab-kitab hadis dari Imam Jafar Shadiq as?

Saya kira proses kerja suntingan filologis tidak dilakukan oleh orang yang memuat dalam situs tersebut. Bahkan Pak Alawi pun tampaknya tidak melakukan kajian filologis malah langsung percaya saja dengan memuatnya dalam buku.  Saya meragukan kebenaran manuskrip tersebut. Kemungkinan yang disajikan dalam situs dan buku Pak Alawi itu termasuk pada manuskrip fiktif  yang dibuat sengaja kemudian disandarkan kepada ulama besar Ahlul Bait: Imam Jafar Shadiq as.

Sayangnya, kalau dicantumkan teks aslinya atau scan dari manuskrips bisa dikaji ulang. Nah, mungkin ada yang bisa mengecek dan memotret langsung manuskripnya dari perpustakaan yang disebutkan. Pada situs yang memuatnya tidak mencantumkan. Ini sangat sulit diuji kebenarannya.


Karena itu, riwayat dari manuskrip yang tidak jelas tersebut layak untuk diabaikan dan tidak pantas dijadikan sumber dalam keilmuan. Apalagi ini berkaitan dengan ajaran Islam; yang sangat mementingkan ketelitian. Anehnya: kenapa dimuat oleh seorang Kiai dalam buku? Entahlah...