PERKEMBANGAN novel di
Indonesia semakin hari terus berubah. Dahulu kita mengenal karya-karya sastra
roman dan cerita-cerita yang berlatarbelakang geografis atau kebudayaan sebuah
daerah. Kemudian muncul novel-novel bernuansa politik dan sejarah. Kini, mulai
menjamur novel yang mengambil inspirasi tokoh-tokoh yang mengubah dunia. Mulai
dari novel biografis Nabi Muhammad saw, ilmuwan, ulama, dan tokoh pergerakan
politik.
Untuk novel yang disebut
terakhir, telah lahir dari tangan M.Irfan Hidayatullah yang berjudul Sang
Pemusar Gelombang: Sebuah Novel yang Berpuasar pada Peri Kehidupan Syaikh Hasan
Al-Hasan. Meski bukan termasuk baru dari segi tema, tetapi buku ini memiliki
kekhasan yang tidak dimiliki novelis lainnya. Secara umum novel ini terdapat
dua seting yang berbeda: perjalanan dakwah Rosid dan perjalanan dua aktivis
kampus. Meski begitu, sama-sama menampilkan perjalanan hidup Syaikh Hasan Al-Bana.
Dalam novel Sang Pemusar
Gelombang ini dikisahkan secara terpisah perjalanan aktivis Muslim yang
terinspirasi dari tokoh sekaligus pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Bana.
Hasan dan Randy merupakan dua sosok mahasiswa yang awalnya berbeda secara
ideologi. Perkenalan keduanya yang dimulai dari chatting berbuah tertariknya
Hasan untuk beralih afiliasi dari ideology sosialis menjadi islamis. Akhir dari
pertemanan keduanya pun sama berakhir pada penangkapan dalam sebuah demonstrasi
yang hampir mirip dengan tokoh Hasan Al-Bana. Kalau tokoh Ikhwanul Muslimin
meninggal ditembak, tetapi dua tokoh novel yang ditangkap ini tidak berakhir
tragis. Tidak ada kejelasan nasib akhir dari keduanya. Tampaknya sang novelis
sengaja membiarkan pembacanya menduga-duga sendiri.
Meski tidak tuntas di
akhir, perjalanan dakwah yang meniru Syaikh Hasan Al-Bana ditempuh ayah Hasan
yang bernama Rosid yang tinggal di daerah pantai. Rosid berdakwah dan memiliki
pengikut. Namun perjalanan dakwahnya berakhir dengan kematian akibat sikap penentangannya
terhadap pengusaha hotel yang bekerjasama dengan pejabat desa yang membangun
hotel besar di tanah makam.
Membaca novel ini tidak
terlalu berat dan berkerut-kerut kening. Alurnya jelas mengekor pada perjalanan
hidup tokoh pembaruan Islam Syaikh Hasan Al-Bana. Bagi kawan-kawan mahasiswa
yang berkegiatan dalam dunia dakwah kampus atau masuk dalam organisasi
pergerakan Islam maka isi novel ini telah mewakili. Bagi aktivis yang begelut
dalam pembelaan orang-orang tertindas dan doyan demonstrasi, novel ini telah
mewakilinya.
Harus saya akui bahwa
sang novelis, dengan apik berhasil memindahkan situasi demonstrasi ke dalam
bentuk tulisan yang hidup seakan-akan kita berada di tempat demonstrasi dan
melihatnya dengan nyata. Begitu juga dengan gambaran pembantaian di pantai,
seolah pembaca melihatnya dengan mata telanjang kejadiannya. Sedangkan sisi
diksi (atau kosa kata) dan kalimat yang digunakan novel ini tidak begitu kuat
dan dialog-dilaognya pun terasa hambar.
Secara umum novel Sang
Pemusar Gelombang ini berisi intrik kehidupan dakwah yang dibumbui konspirasi,
pergolakan batin hingga asmara dan perjuangan para aktivis kampus. Tokoh-tokoh
yang terdapat di dalamnya mengambil inspirasi dari tokoh Ikhwanul Muslimin:
Syaikh Hasan Al-Bana. Karena itu, nuansa tarbiyah islamiyah dan pergerakan
dunia kampus cukup dominan.
Sayangnya novel ini,
segmen pembacanya saya kira khusus buat aktivis dakwah kampus dan penyuka
demonstrasi atau pergerakan Islam. Kalau ini yang dibidiknya segelintir orang,
saya kira sangat kecil animonya. Apalagi tokoh yang diangkat adalah salah
seorang wakil fundamentalis Islam yang tidak semua orang mengenalnya.
Kemudian dari segi teks
kurang enak dibaca karena masih menyisakan kesalahan mechanical editing.
Mungkin itu karena sikap buru-buru dari para penyunting. Misalnya pada halaman
xviii, paragraph kedua ada huruf “v” yang tidak bermakna dan sangat mengganggu.
Mungkin tidak dicek ulang. Tapi itu bagian awal yang menjadi etalase penerbit.
Pada setiap penggalan
cerita atau bab yang memisahkan yang diberi nomor ternyata tidak dimunculkan
pada daftar isi. Jadi, kalau membuka bagian-bagian buku maka akan terdapat
nomor yang tidak terdapat pada daftar isi.
Halaman 79, 8 Maryam,
tertulis …”Menara masjid itu dilatari pemandangan langit oranye yang turut
mengantar rombongan burung pipit pulang ke rumahnya”. Saya merasa janggal
dengan akhir kalimat tersebut: “rumahnya”. Bukankah yang lebih pas itu
“sangkarnya”? Sebab rumah lebih pas buat orang atau manusia. Saya mengira kata
tersebut mungkin kiasan dari sangkar.
Dalam dialog tidak
konsisten dalam menggunakan saya dan ana. Randy kadang menggunakan ana kadang
saya. Seingat saya, biasanya aktivis itu konsisten dalam menggunakan kata ana.
Terus pada halaman 102,
paragraph lima, tertulis … “Rapat ini ternyata begitu serius. Awalnya Randy
berharap ana dapat mencairkan suasana, tapi ternyata dirinya sendiri telanjur
tegang sejak awal”. Kalimat yang saya kutip tersebut bukan termasuk dialog,
tetapi anehnya masih menyisakan kata ‘ana’ yang tidak berfungsi apa-apa dalam
kalimat tersebut. Coba baca dengan tanpa kata ‘ana’, saya kira lebih pas.
Terlepas dari kelebihan
dan kekurangan, saya kira novel dapat disebut sebuah pencerahan awal buat para
kader dakwah dan mahasiswa Muslim yang merindukan perubahan. Selamat membaca
dan menemukan inspirasi! [ahmad sahidin]