Minggu, 05 Juli 2015

Inilah Dia, Sang Pemusar Gelombang

PERKEMBANGAN novel di Indonesia semakin hari terus berubah. Dahulu kita mengenal karya-karya sastra roman dan cerita-cerita yang berlatarbelakang geografis atau kebudayaan sebuah daerah. Kemudian muncul novel-novel bernuansa politik dan sejarah. Kini, mulai menjamur novel yang mengambil inspirasi tokoh-tokoh yang mengubah dunia. Mulai dari novel biografis Nabi Muhammad saw, ilmuwan, ulama, dan tokoh pergerakan politik.

Untuk novel yang disebut terakhir, telah lahir dari tangan M.Irfan Hidayatullah yang berjudul Sang Pemusar Gelombang: Sebuah Novel yang Berpuasar pada Peri Kehidupan Syaikh Hasan Al-Hasan. Meski bukan termasuk baru dari segi tema, tetapi buku ini memiliki kekhasan yang tidak dimiliki novelis lainnya. Secara umum novel ini terdapat dua seting yang berbeda: perjalanan dakwah Rosid dan perjalanan dua aktivis kampus. Meski begitu, sama-sama menampilkan perjalanan hidup Syaikh Hasan Al-Bana.


Dalam novel Sang Pemusar Gelombang ini dikisahkan secara terpisah perjalanan aktivis Muslim yang terinspirasi dari tokoh sekaligus pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Bana. Hasan dan Randy merupakan dua sosok mahasiswa yang awalnya berbeda secara ideologi. Perkenalan keduanya yang dimulai dari chatting berbuah tertariknya Hasan untuk beralih afiliasi dari ideology sosialis menjadi islamis. Akhir dari pertemanan keduanya pun sama berakhir pada penangkapan dalam sebuah demonstrasi yang hampir mirip dengan tokoh Hasan Al-Bana. Kalau tokoh Ikhwanul Muslimin meninggal ditembak, tetapi dua tokoh novel yang ditangkap ini tidak berakhir tragis. Tidak ada kejelasan nasib akhir dari keduanya. Tampaknya sang novelis sengaja membiarkan pembacanya menduga-duga sendiri.

Meski tidak tuntas di akhir, perjalanan dakwah yang meniru Syaikh Hasan Al-Bana ditempuh ayah Hasan yang bernama Rosid yang tinggal di daerah pantai. Rosid berdakwah dan memiliki pengikut. Namun perjalanan dakwahnya berakhir dengan kematian akibat sikap penentangannya terhadap pengusaha hotel yang bekerjasama dengan pejabat desa yang membangun hotel besar di tanah makam.

Membaca novel ini tidak terlalu berat dan berkerut-kerut kening. Alurnya jelas mengekor pada perjalanan hidup tokoh pembaruan Islam Syaikh Hasan Al-Bana. Bagi kawan-kawan mahasiswa yang berkegiatan dalam dunia dakwah kampus atau masuk dalam organisasi pergerakan Islam maka isi novel ini telah mewakili. Bagi aktivis yang begelut dalam pembelaan orang-orang tertindas dan doyan demonstrasi, novel ini telah mewakilinya.

Harus saya akui bahwa sang novelis, dengan apik berhasil memindahkan situasi demonstrasi ke dalam bentuk tulisan yang hidup seakan-akan kita berada di tempat demonstrasi dan melihatnya dengan nyata. Begitu juga dengan gambaran pembantaian di pantai, seolah pembaca melihatnya dengan mata telanjang kejadiannya. Sedangkan sisi diksi (atau kosa kata) dan kalimat yang digunakan novel ini tidak begitu kuat dan dialog-dilaognya pun terasa hambar.

Secara umum novel Sang Pemusar Gelombang ini berisi intrik kehidupan dakwah yang dibumbui konspirasi, pergolakan batin hingga asmara dan perjuangan para aktivis kampus. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya mengambil inspirasi dari tokoh Ikhwanul Muslimin: Syaikh Hasan Al-Bana. Karena itu, nuansa tarbiyah islamiyah dan pergerakan dunia kampus cukup dominan.

Sayangnya novel ini, segmen pembacanya saya kira khusus buat aktivis dakwah kampus dan penyuka demonstrasi atau pergerakan Islam. Kalau ini yang dibidiknya segelintir orang, saya kira sangat kecil animonya. Apalagi tokoh yang diangkat adalah salah seorang wakil fundamentalis Islam yang tidak semua orang mengenalnya.

Kemudian dari segi teks kurang enak dibaca karena masih menyisakan kesalahan mechanical editing. Mungkin itu karena sikap buru-buru dari para penyunting. Misalnya pada halaman xviii, paragraph kedua ada huruf “v” yang tidak bermakna dan sangat mengganggu. Mungkin tidak dicek ulang. Tapi itu bagian awal yang menjadi etalase penerbit.

Pada setiap penggalan cerita atau bab yang memisahkan yang diberi nomor ternyata tidak dimunculkan pada daftar isi. Jadi, kalau membuka bagian-bagian buku maka akan terdapat nomor yang tidak terdapat pada daftar isi.

Halaman 79, 8 Maryam, tertulis …”Menara masjid itu dilatari pemandangan langit oranye yang turut mengantar rombongan burung pipit pulang ke rumahnya”. Saya merasa janggal dengan akhir kalimat tersebut: “rumahnya”. Bukankah yang lebih pas itu “sangkarnya”? Sebab rumah lebih pas buat orang atau manusia. Saya mengira kata tersebut mungkin kiasan dari sangkar.

Dalam dialog tidak konsisten dalam menggunakan saya dan ana. Randy kadang menggunakan ana kadang saya. Seingat saya, biasanya aktivis itu konsisten dalam menggunakan kata ana.

Terus pada halaman 102, paragraph lima, tertulis … “Rapat ini ternyata begitu serius. Awalnya Randy berharap ana dapat mencairkan suasana, tapi ternyata dirinya sendiri telanjur tegang sejak awal”. Kalimat yang saya kutip tersebut bukan termasuk dialog, tetapi anehnya masih menyisakan kata ‘ana’ yang tidak berfungsi apa-apa dalam kalimat tersebut. Coba baca dengan tanpa kata ‘ana’, saya kira lebih pas.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, saya kira novel dapat disebut sebuah pencerahan awal buat para kader dakwah dan mahasiswa Muslim yang merindukan perubahan. Selamat membaca dan menemukan inspirasi! [ahmad sahidin]