Aspek yang terpenting dalam sebuah agama adalah keyakinan atau keimanan. Dalam bahasa agama di sebut akidah, ushuluddin, atau teologi. Jika diulas secara bahasa, makna sama: berkaitan dengan ketuhanan, dasar-dasar keimanan atau keyakinan yang harus dipegang seorang pemeluk agama. Setiap agama yang ada di dunia ini memiliki prinsip-prinsip dasar keyakinannya tersendiri, termasuk Islam.
Dalam khazanah teologi Islam, kita menemukan beragam penafsiran dan rumusan teologi dari masing-masing aliran yang muncul setelah tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Misalnya Ahlu Sunah (Sunni), Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyah, Qadariyah, dan lainnya, yang secara rumusan teologi (akidah) berbeda satu sama lain. Namun, prinsip teologi tersebut jika dilacak dari masing-masing mazhab ternyata lahir dari pemikiran para ulama.
Saya yakin bahwa dalam mengemukakan pendapatnya
mereka tidak lepas pada sumber-sumber agama. Pemahaman mereka terhadap nash
yang diakui sebagai kebenaran kemudian menjadi prinsip dasar teologi
masing-masing aliran. Pemahamannya itu tidak hanya membentuk aliran teologi
tersendiri, tetapi juga berubah menjadi agama baru, seperti Ahmadiyah, Babiyah,
Bahai`yah, dan lainya.
Memang sampai saat
ini setiap mazhab atau organisasi Islam mengaku paling benar dan tidak sedikit
yang menyatakan bahwa yang berbeda dengannya sebagai sesat sehingga mereka
mencoba meluruskannya. Yang dianggap sesat tidak mau menerima begitu saja
pernyataan tersebut. Mereka lantas terlibat dalam pertentangan (yang dalam
dalam sejarah sampai saling menumpahkan darah). Tafsir teologi Islam yang
saling hujat dan ‘klaim’ paling benar inilah yang perlu dikritisi kemudian
digagas yang baru, atau mencari titik temu di antara konsep dan aliran teologi
Islam. Dengan harapan, dari sana bisa terwujud dan tampak adanya teologi Islam
non-sektarian.
Untuk mewujudkan
teologi Islam non-sektarian harus diawali dengan merumuskan definisi
“non-sekterian” kemudian dicari “hal-hal” apa saja yang tidak sekterian dalam
Islam. Jika melihat istilahnya, “non-sektarian” bisa diartikan suatu ajaran atau konsep
keyakinan yang bersifat universal alias bisa diterima semua mazhab atau
sekte-sekte yang terdapat dalam Islam. Atau juga sesuatu yang memiliki kesamaan
di antara semua mazhab teologi atau aliran Islam yang terdahulu maupun yang
sedang berkembang. Pendeknya, suatu landasan keyakinan atau dasar-dasar iman
yang bisa diterima semua mazhab dan sekte (aliran-aliran) Islam.
Dalam hal ini, yang
pertama—dan pasti semua umat Islam meyakini—adalah tauhid atau pengakuan kepada
Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme); kedua adalah nubuwwah
atau meyakini Muhammad bin Abdullah sebagai Rasul Allah terakhir; dan ketiga
adalah al-ma`ad atau meyakini adanya hari kebangkitan (akhirat).
Saya yakin semua
umat Islam di dunia akan meyakini dan mengimani ketiganya, serta tidak
mempertentangkannya. Pertentangan akan muncul pada tafsir atas ketiganya.
Bagaimana
menyikapinya? Yakini dan akui saja bahwa mereka yang berbeda dalam menafsirkan
ketiganya masih Muslim. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, dalam upaya
terwujudnya ukhuwah yang ditonjolkan hanyalah tiga keyakinan tadi.
Bukankah
Muslim-Muslimah shalat menghadap kiblat? Bukankah haji ke baitullah?
Bukankah puasa dan zakat adalah kewajiban umat Islam? Semua umat Islam mengakui
bahwa berbuat baik terhadap sesama manusia merupakan kewajiban.
Kesamaan dan
hal-hal yang universal bisa menjadi landasan dari lahirnya Islam yang tidak
sekterian. Apalagi masyarakat Indonesia yang multi budaya, etnis, dan multi
partai politik serta organisasi agama, tentu harus direalisasikan.
Bisakah terwujud?
Hanya Allah selaku pemilik kebenaran sejati yang mengetahuinya. “Katakanlah,
’Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara
kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”
(QS Saba’ [34]: 24-26) *** (ahmadsahidin)