MALAMATIYAH diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Mereka yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang yang sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual. Dalam khazanah tasawuf, ajaran malamatiyah ini disandarkan kepada Hamdun Al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, berasal dari Naisyapur, Khurasan.
Para pengikutnya
meyakini Al-Qashshar secara batiniah hidup dalam kebersatuan dengan Allah dan
secara lahiriah bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan. Menurut Al-Qashshar,
praktik malamatiyah merupakan tradisi untuk menurunkan derajat manusia
sehingga tidak menjadi makhluk sombong seperti iblis. Dengan menjalankan malamatiyah-lah
manusia menjadi sadar bahwa yang berhak untuk sombong, mulia, dan paling besar
hanyalah Allah.
Tentang praktik malamatiyah
setidaknya dapat kita lihat dari khazanah tasawuf bahwa ada seorang sufi yang
duduk di masjid merasa gembira ketika diseret oleh petugas masjid. Atau
berterimakasih ketika diberi makan bersama anjing.
Bentuk lain dari malamatiyah
ini adalah sikap keberagamaan yang dianut aliran teologi Jabariyah pada masa
kekuasaan Dinasti Umayyah. Para ulama yang beraliran Jabariyah tidak memberikan
kecaman atau perlawanan terhadap tindakan kejam penguasa yang berperilaku tiran
terhadap masyarakat Islam. Malah mereka mengukuhkan tindakan tersebut dengan
rangkaian dalil-dalil yang bersifat fatalistik. Mereka menyatakan segala yang
dialami manusia, baik masa lalu maupun masa datang, dan musibah atau
keberuntungan, telah ditentukan Tuhan. Manusia ibarat wayang yang digerakkan
sang dalang dalam sebuah pementasan. Ia bergerak tanpa kehendak dan tanpa
pilihan karena semua pilihan dan kehendaknya adalah ketentuan Tuhan.
Berikut ini
beberapa ayat yang menjadi sandaran aliran Jabariyah, yaitu ''Allah lah yang
menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan'' (QS Al-Shaffat [37]: 96);
''Kamu tidak menghendaki, tapi Allah lah yang menghendaki'' (QS Al-Insan
[76]: 30); “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran” (QS Al-Qamar [54]: 49); “Barangsiapa
yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa
yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya
berada di atas jalan yang lurus” (QS Al-An'am [6]: 39); “Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rizki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu
sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”
(QS Ar-Rum [30]: 40); “Dan tidak ada suatu binatang melata
pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam
Kitab yang nyata (lauhul mahfuzh)” (QS Hud [11]: 6); “Kepunyaan-Nya lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan
rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS As-Syura [26]: 12); “...tidak
ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS Al-Hadid [57]: 22); “...sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS At-Thariq
[86]: 3); ”...maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki” (QS
Ibrahim [14]: 4); dan lainnya.
Dalil tersebut
menjadi semacam pembenaran atas segala kekejaman yang dilakukan Dinasti Umayyah
terhadap keluarga Nabi saw dan kaum Muslim yang menolak baiat. Padahal, dibalik
dalil-dalil fatalis tersebut terselubung upaya mempertahankan kekuasaan dengan menyingkirkan
lawan-lawan politiknya dengan memakai bahasa agama. Dengan dalih takdir dan
kehendak Tuhan, Abdul Malik bin Marwan yang berkedudukan sebagai penguasa
Dinasti Umayyah membiarkan Khalid bin Abdullah Al-Qasri membunuh tokoh aliran
teologi Qadariyah yang bernama Al-Ja`d bin Dirham (w.160 H.) di bawah mimbar
setelah shalat Ied. Tindakan tersebut tidak dianggap pelanggaran, tetapi
sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat. Takdir menjadi alasan
utama dari sikap kebrutalan orang-orang yang mengatasnamakan agama.
Sikap malamatiyah
dalam konteks modern adalah merasa tidak resah saat penguasa berlaku zalim,
atau merasa enjoy dengan kondisi yang membuatnya terpuruk. Dengan hanya
beralasan sabar, tawakal, dan syukur, ia menikmati kesengsaraan yang diciptakan
pemerintah. Dengan alasan sejenis itulah segala bentuk penindasan dan
kecurangan terhadap masyarakat dianggap (oleh pemuka agama) sebagai ladang
pahala. Jika sudah tertanam sikap malamatiyah dalam setiap diri maka
kerusakan moral dan pelecahan terhadap manusia menjadi sebuah kebenaran umum.
Mereka yang berupaya meluruskan atau memunculkan “kebenaran sejati” akan dicap
sebagai devian, perusak, dan bahkan pasti akan disingkirkan.
Malamatiyah sebagai bentuk latihan spiritual untuk memantapkan sikap rendahnya diri dihadapan
Tuhan. Namun sayangnya, secara politik dijadikan senjata yang ampuh untuk
memberangus kesadaran manusia. Sadarkah kita dengan masalah ini? ***