Sabtu, 17 Februari 2024

Malamatiyah

MALAMATIYAH diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Mereka yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang yang sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual. Dalam khazanah tasawuf, ajaran malamatiyah ini disandarkan kepada Hamdun Al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, berasal dari Naisyapur, Khurasan.

Para pengikutnya meyakini Al-Qashshar secara batiniah hidup dalam kebersatuan dengan Allah dan secara lahiriah bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan. Menurut Al-Qashshar, praktik malamatiyah merupakan tradisi untuk menurunkan derajat manusia sehingga tidak menjadi makhluk sombong seperti iblis. Dengan menjalankan malamatiyah-lah manusia menjadi sadar bahwa yang berhak untuk sombong, mulia, dan paling besar hanyalah Allah.

Tentang praktik malamatiyah setidaknya dapat kita lihat dari khazanah tasawuf bahwa ada seorang sufi yang duduk di masjid merasa gembira ketika diseret oleh petugas masjid. Atau berterimakasih ketika diberi makan bersama anjing.

Bentuk lain dari malamatiyah ini adalah sikap keberagamaan yang dianut aliran teologi Jabariyah pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Para ulama yang beraliran Jabariyah tidak memberikan kecaman atau perlawanan terhadap tindakan kejam penguasa yang berperilaku tiran terhadap masyarakat Islam. Malah mereka mengukuhkan tindakan tersebut dengan rangkaian dalil-dalil yang bersifat fatalistik. Mereka menyatakan segala yang dialami manusia, baik masa lalu maupun masa datang, dan musibah atau keberuntungan, telah ditentukan Tuhan. Manusia ibarat wayang yang digerakkan sang dalang dalam sebuah pementasan. Ia bergerak tanpa kehendak dan tanpa pilihan karena semua pilihan dan kehendaknya adalah ketentuan Tuhan.

Berikut ini beberapa ayat yang menjadi sandaran aliran Jabariyah, yaitu ''Allah lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan'' (QS Al-Shaffat [37]: 96); ''Kamu tidak menghendaki, tapi Allah lah yang menghendaki'' (QS Al-Insan [76]: 30); Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS Al-Qamar [54]: 49);Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus (QS Al-An'am [6]: 39); Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rizki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (QS Ar-Rum [30]: 40); Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (lauhul mahfuzh) (QS Hud [11]: 6); “Kepunyaan-Nya lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS As-Syura [26]: 12); “...tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS Al-Hadid [57]: 22); “...sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS At-Thariq [86]: 3); ”...maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim [14]: 4); dan lainnya.

Dalil tersebut menjadi semacam pembenaran atas segala kekejaman yang dilakukan Dinasti Umayyah terhadap keluarga Nabi saw dan kaum Muslim yang menolak baiat. Padahal, dibalik dalil-dalil fatalis tersebut terselubung upaya mempertahankan kekuasaan dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan memakai bahasa agama. Dengan dalih takdir dan kehendak Tuhan, Abdul Malik bin Marwan yang berkedudukan sebagai penguasa Dinasti Umayyah membiarkan Khalid bin Abdullah Al-Qasri membunuh tokoh aliran teologi Qadariyah yang bernama Al-Ja`d bin Dirham (w.160 H.) di bawah mimbar setelah shalat Ied. Tindakan tersebut tidak dianggap pelanggaran, tetapi sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat. Takdir menjadi alasan utama dari sikap kebrutalan orang-orang yang mengatasnamakan agama.

Sikap malamatiyah dalam konteks modern adalah merasa tidak resah saat penguasa berlaku zalim, atau merasa enjoy dengan kondisi yang membuatnya terpuruk. Dengan hanya beralasan sabar, tawakal, dan syukur, ia menikmati kesengsaraan yang diciptakan pemerintah. Dengan alasan sejenis itulah segala bentuk penindasan dan kecurangan terhadap masyarakat dianggap (oleh pemuka agama) sebagai ladang pahala. Jika sudah tertanam sikap malamatiyah dalam setiap diri maka kerusakan moral dan pelecahan terhadap manusia menjadi sebuah kebenaran umum. Mereka yang berupaya meluruskan atau memunculkan “kebenaran sejati” akan dicap sebagai devian, perusak, dan bahkan pasti akan disingkirkan.

Malamatiyah sebagai bentuk latihan spiritual untuk memantapkan sikap rendahnya diri dihadapan Tuhan. Namun sayangnya, secara politik dijadikan senjata yang ampuh untuk memberangus kesadaran manusia. Sadarkah kita dengan masalah ini? ***