TULISAN ini berupaya untuk memahami fenomena sejarah yang “unik”, yang dialami dan terjadi pada orang-orang yang memiliki kemuliaan dalam spiritualitas (keagamaan). Di Barat fenomena ini disajikan dalam tulisan hagiografi yang memuat cerita dari tokoh agama yang memiliki keunikan dan bersifat individual.
Dalam sejarah
peradaban Islam, fenomena hagiografi banyak tercantum dalam kitab manaqib
yang memuat keutamaan dan kemuliaan seorang wali Allah atau tokoh Islam. Manaqib
biasanya ditulis oleh para murid, yang menyaksikan atau mendengar kesaksian
dari guru (wali Allah) yang menyampaikan pengalaman spiritual kepada
murid-muridnya. Aspek ini dari pandangan postivisme tidak masuk dalam sejarah,
tetapi dalam paradigma sejarah Islam termasuk bagian dari historiografi berupa
kitab manaqib. Sesuai dengan isinya yang memiliki keunikan, maka bisa
disebut juga sebagai hagiografi Islam.
Karena itu,
dalam tulisan ini penulis akan mencoba menguraikan aspek hagiografi dari Imam
Jafar Shadiq; yang diawali dengan biografi singkat, kisah hagiografi, analisa
dan interpretasi atas kisah, dan simpulan.
Biografi
Imam Jafar Shadiq adalah salah seorang dari keturunan
Rasulullah saw. Imam Jafar putra dari
Imam Muhammad Al-Baqir putra Imam Ali Zainal Abidin putra Husain. Husain
adalah putra dari Fathimah (putri Nabi Muhammad saw) dan Ali bin Abi Thalib ra.
Imam Jafar lahir di Madinah, tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah/ 20 April 702
Masehi.
Imam Jafar dikenal dengan julukan Abu Abdillah di Pekuburan
Baqi, Madinah. Imam Jafar merupakan Imam Syiah Itsna Asyariyah yang keenam
setelah Imam Muhammad Al-Baqir. Juga seorang ahli fikih yang disebut sebagai
pendiri mazhab fikih Jafari, yang banyak diamalkan oleh Muslim Syiah. Dalam
tarekat sufi, Imam Jafar merupakan matarantai guru spiritual yang menyambung
kepada Rasulullah saw. Hampir seluruh tarekat silsilah guru dan ilmu terhubung
kepada Imam Jafar Shadiq. Karena itu, tidak salah kalau Imam Jafar disebut
sebagai tokoh sufi.
Imam Jafar lahir pada masa Dinasti Umayyah saat kekuasaan
dipegang khalifah Abdul-Malik bin Marwan. Imam Jafar menyaksikan peralihan
kekuasaan dari Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah.
Selain
menguasai ilmu-ilmu agama Islam, Imam Jafar juga mahir dalam ilmu kedokteran,
kimia, matematika, filsafat, dan lainnya. Kemuliaan akhlak dan ketinggian
ilmunya itu mengantarkan Imam Jafar menjadi ulama yang banyak dirujuk (marja’)
oleh kaum Muslim saat mendapatkan masalah yang berkaitan dengan agama maupun
lainnya. Majelisnya banyak didatangi orang untuk menimba ilmu maupun meminta
jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi kaum Muslim. Sedikitnya ada empat
ribu murid yang belajar kepada Jafar Ash-Shadiq, di antaranya Jabir bin Hayyan,
Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyayna, Abu Hanifah, dan lainnya.
Abu Hanifah
selaku murid dan pendiri mazhab fikih Hanafi, memuji Imam Jafar Shadiq sebagai
ulama yang memiliki ilmu yang luas dan tidak dimiliki oleh orang lain. Begitu
pula Malik bin Anas yang merupakan pendiri mazhab Maliki, mengatakan hal yang
sama. Pantas kalau Jafar Ash-Shadiq dinobatkan sebagai ulama yang telah
melahirkan ribuan ulama hadits dan ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Berkaitan dengan dengan garansi
ilmu dan spiritualitas, Imam Jafar Shadiq berkata, “hadits-hadits yang aku keluarkan
adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadist-hadist dari bapakku adalah dari
kakekku. Hadist-hadist dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul
Mu'minin. Hadist-hadist dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist
dari Rasulullah saw dan hadist-hadist dari Rasulullah saw adalah wahyu Allah
Azza wa Jalla.”[1]
Popularitas
Jafar Ash-Shadiq di tengah kaum Muslim membuat penguasa Dinasti Abbasiyyah,
Mansur Ad-Dawaniqi, merasa khawatir menjadi gerakan politik yang dapat
meruntuhkan kekuasaannya. Karena itu, ia membuat rencana untuk mengenyahkannya.
Bahkan, tindakan untuk menyingkirkannya telah dilakukan sebelumnya oleh
penguasa sebelumnya, yaitu Abdul-Abbas Al-Saffah. Jafar Ash-Shadiq dipisahkan
dari pengikutnya dengan membawanya ke Irak. Tidak lama kemudian dikembalikan
lagi ke Madinah dan diawasi secara ketat, termasuk kepada keluarganya.
Semakin hari
bertambah banyak pengikut Jafar Ash-Shadiq. Kekhawatiran penguasa terhadapnya
berlanjut dengan memerintahkan Gubernur Madinah, Muhammad bin Suleima, untuk
membunuhnya dengan menggunakan racun. Jafar Ash-Shadiq yang dikenal sebagai
pendiri mazhab fikih Jafari ini wafat pada 15 Syawal 148 H. (4 Desember 765)
saat usia 65 tahun. Pemakamannya dipimpin putranya, Musa Al-Kazhim, di Jannat
Al-Baqi, Madinah.[2]
Kisah Hagiografi
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa hagiografi itu berkaitan
dengan kisah unik dari seseorang yang benar-benar terjadi, maka ditemukan pula
sekira tiga kisah hagiografi dari Imam Jafar Shadiq.
Pertama, diceritakan
suatu hari Imam Jafar Shadiq digiring ke hadapan Khalifah Mansur Al-Abbasi
(Dinasti Abbasiyah) dengan tuduhan palsu dan disaksikan hanya seorang. Saksi
itu berkata: “Aku bersumpah bahwa Jafar melakukan begini dan begitu.” Belum
selesai saksi itu berkata, tiba-tiba ia tersungkur mati di hadapan Imam Jafar.
Kedua, dari Imam
As-Syibli bahwa setengah dari karamah Imam Jafar Shadiq adalah ketika Bani
Hasyim hendak membaiat Muhammad dan Ibrahim bin Abdullah bin Hassan bin Ali bin
Abi Thalib menjadi khalifah saat akan runtuh Dinasti Umayyah. Mereka meminta
pendapat dari Imam Jafar Shadiq. Setelah berada di hadapan Imam Jafar, mereka
berkata: “Kami berkumpul di sini hendak membaiat engkau menjadi khalifah.” Imam
Jafar menjawab, ”Sebenarnya kekhalifahan ini tidak akan diperoleh olehku dan
tidak pula untuk kedua orang itu (Muhammad dan Ibrahim bin Abdullah).
Sesungguhnya kekhalifahan akan diperoleh oleh yang memakai jubah kuning itu.
Demi Allah, mereka akan dipermainkan oleh budak-budak mereka sendiri.” Memang
terbukti ucapan dari Imam Jafar Shadiq bahwa Al-Mansur kemudian hari menjabat
sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah.
Ketiga, Imam Al-Laitsi
bin Saad bercerita pada tahun 113 H. aku pergi haji. Setelah shalat ashar, aku
naik ke bukit Jabal Aba Qubais dan aku lihat ada seorang duduk sedang berdoa:
Ya Allah, ya Allah, ya Hayu, ya Hayu. Kemudian orang itu berdoa lagi: Ya Allah,
sesungguhnya aku ingin buah anggur, kumohon kurniakanlah kepadaku. Ya Allah
sesungguhnya kain bajuku koyak-koyak aku mohon berikan kepadaku kain baju.
Sebelum ia menyelesaikan doanya, tiba-tiba muncul sekeranjang buah anggur penuh
yang waktu itu bukan musimnya dan kulihat pula ada dua kain yang serba mahal
yang belum pemah kulihat ada kain baju sebagus itu.
Ketika ia akan memakan buah anggur itu, aku berkata
kepadanya, “Aku juga mau buah anggur karena saat engkau berdoa aku membaca
amin.” Lalu, ia menjawab, “Datanglah kemari.” Ia memberi sebagian buah anggur
yang segera aku makan. Rasanya belum pernah aku makan buah anggur selazat buah
itu. Ia melarang aku untuk menyimpan sisanya. Anehnya, isi keranjang itu
sedikit pun tidak berkurang.
Selanjutnya orang itu memberikan kepadaku sepotong dari dua
kain baju itu sedang yang sepotong dipakai olehnya. Namun waktu kutolak kain
itu ia menggunakannya kedua potong kain tersebut. Yang sepotong dipakai buat
baju sedangkan yang sepotong disarungkan di bawahnya.
Aku bertemu lagi dengannya ketika di tempat Sa’i di antara
Shafa dan Marwah. Ia bertemu dengan seorang miskin yang berkata, “Wahai cucu
Rasulullah berikanlah kepadaku pakaian.” Ia berikan dua potong kain yang baru
itu orang miskin yang meminta. Lantas aku bertanya kepada orang miskin yang
diberi kain tersebut: siapakah orang itu? Orang miskin menjawab, “ia adalah
Jafar bin Muhammad Al-Baqir.”[3]
Analisa dan Interpretasi
Dalam perkuliahan, Ajid Thohir menyebutkan dalam hagiografi terdapat
unsur tokoh, rawi dan saksi, dan realitas. Dari unsur tokoh, sosok Imam
Jafar Shadiq merupakan pelaku sejarah yang benar-benar nyata keberadaannya.
Secara personal dikenal sebagai ulama, guru, dan ilmuwan yang terbukti dengan lahirnya
para murid dan memiliki amalan fikih dan doa-doa yang diamalkan secara turun
temurun dari murid ke murid hingga kini diamalkan kalangan Muslim Syiah. Jejak
keberadaannya bisa dibuktikan dengan makam, anak dan keturunannya yang sampai
sekarang masih ada. Karena itu, sosok Imam Jafar ini realitas historis kemudian
dari sisi ilmu dan keperibadian tidak diragukan oleh para ulama terdahulu
maupun ulama sekarang ini.
Unsur kedua, rawi
dan saksi. Seperti yang tercantum di atas bahwa dua dari tiga kisah
hagiografi dari Imam Jafar disampaikan oleh Imam As-Syibli dan Imam Al-Laitsi
bin Saad. Kedua orang ini merupakan ulama dan diakui kepakarannya dalam ilmu
tasawuf dan kalam sehingga tidak diragukan informasinya karena terlibat dan
berhubungan langsung dengan sosok Imam Jafar Shadiq. Kemudian dari sejumlah
riwayat di kalangan Syiah bahwa hampir setiap Imam memiliki karamah dan
keistimewaan yang satu sama lain berbeda. Bisa dipahami hal itu ada pada mereka
karena para tokoh sufi seperti Imam Jafar Shadiq, Abdul Qadir Jilani, Abu Hamid
Ghazali, atau Jalaluddin Rumi tekun dalam beribadah dan memiliki amalan khusus
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Unsur ketiga, realitas
berupa kisah hagiografi Imam Jafar Shadiq di atas secara ilmiah mungkin tidak
bisa diterima. Namun berdasarkan kesaksian dari Imam Al-Laitsi bin Saad dan Imam
As-Syibli, maka pengalaman Imam Jafar Shadiq menjadi evidensi dari realitas
historis yang bersifat hagiografi. Fenomena yang dialami Imam Jafar Shadiq ini
banyak ditemukan dalam sejumlah riwayat kaum sufi yang dimuat dalam manakib
dan dalam sejarah disebutkan banyak para wali Allah yang mengalami fenomena
hagiografi yang terus berulang kejadiannya dengan beragam bentuk kisah unik.
Harus diakui bahwa ini realitas yang tidak terpisahkan dari sejarah Islam,
berupa fenomena hagiorgafi Islam yang selayaknya mendapat tempat dalam
historiografi Islam.
Dalam kajian tasawuf, fenomena hagiografi masuk dalam kategori karamah
yang khusus diberikan Allah kepada manusia terpilih karena memiliki kaulitas
spiritualitas lebih dari manusia biasa.[4] Namun, posisi
manusia terpilih (wali Allah) ini berada di bawah Nabi. Di antara para sahabat
dan keluarga Nabi (Ahlul Bait) pun terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan
dan keunikan berupa karamah sebagai bukti dari keagungan Allah yang
diperlihatkan kepada umat manusia agar semakin kokoh dalam keimanan dan
meningkat dalam spiritualitas.
Memang dalam hagiografi ini memerlukan pemahaman atas “realitas” yang
lebih universal. Dalam pandangan William Chittick bahwa realitas merupakan
kosmologi (kesemestaan) yang berasal dari Tuhan kemudian melahirkan
keanekaragaman dalam bentuk aneka ciptaan-Nya. Meski terbentuk dalam ciptaan,
tetapi satu kesatuan yang mendasari semua fenomena[5]karena dari-Nya. Maka dengan kosmologi ini semua realitas
disatukan dalam prinsip tauhid; segala sesuatu berasal dari-Nya dan
kembali kepada-Nya. Chittick menulis: “Orang-orang perlu mengambil peran
aktif dalam menghubungkan diri mereka kembali kepada Tuhan dan mereka bisa
melakukan hanya dalam kerangka diri mereka sendiri dan pemahaman mereka
sendiri.”[6] Pemahaman realitas ini
mengandung pengetahuan berupa informasi (khabar) dan jejak (atsar).
Dari keduanya manusia bisa mengambil pengetahuan dengan cara memaknainya
sehingga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan pelajaran (ibrah)
sehingga tidak ada lagi perbedaan antara
realitas emperis dan non emperis karena secara substansi keduanya sebagai
realitas yang menyatu dan memancar dari-Nya.[7]
Berkaitan dengan unsur
ketiga (realitas) dari hagiografi Imam Jafar Shadiq—bisa diambil pelajaran—bahwa
orang yang memiliki kualitas spiritualitas yang tinggi akan selalu dekat dengan
Allah dan dapat pertolongan-Nya. Kemudian bisa dipahami bahwa karamah
merupakan bentuk aktualisasi manusia dalam mencapai pengetahuan yang tidak
terbatas dan optimalisasi dari ibadah. Mereka yang optimal dan melakukan
aktualisasi dalam pengetahuan dan mendekatkan diri kepada-Nya maka akan
mendapatkan “hadiah” berupa karamah.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka sudah saatnya sejarawan Muslim untuk melihat
dan mengkaji kembali khazanah klasik dalam sejarah berupa tulisan-tulisan dari muarikhin
yang terkait dengan hagiografi. Patut disadari bahwa paradigma sejarah mazhab
positivistik tidak mampu masuk dalam fenomena hagiografi.
Sekarang ini sudah muncul gerakan postmodernisme yang mengkritik kelemahan paradigma modern yang positivistik sehingga sarjana Muslim memiliki peluang untuk menggali hal-hal yang ditinggalkan kaum postivis. Jika masih tetap manut dengan paradigma positivisme, maka ilmu pengetahuan menjadi stagnan karena akan banyak fenomena yang diabaikan. Padahal seluruh semesta dan diri manusia, terdapat rahasia “pengetahuan” yang jika mampu menyingkapnya akan menjadikan ilmu pengetahuan manusia terus menyempurna. Wamaa taufiiqii illaa billaah; ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib. Wa shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa aali Muhammad. ***
=> Tulisan ini merupakan tugas Matakuliah Hagiografi Sufi. Diampu oleh Dr. Ajid Thohir, M.Ag. Ditulis oleh Ahmad Sahidin, Mahasiswa S2 Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, semester 3, tahun 2015.
[1] Ali Umar Al-Habsyi, Sabda Ilmu
(Jakarta: Al-Huda, 2006).
[2] Diambil dari buku Fikih Imam Jafar Shadiq karya Muhammad
Jawad Mughniyyah (Jakarta: Lentera, 2008) bagian biografi.
[3] Kisah tersebut diambil dari http://bintang-sufi.blogspot.co.id/2013/10/al-imam-jafar-shodiq.html?m=1 (diakses tanggal 12 Februari 2016, jam 17.00) dan buku Teladan Suci Keluarga Nabi karya Muhammad Ali Shabban (Bandung: Al-Bayan, 2005). Kisah dari Imam Jafar Shadiq yang lebih lengkap bisa dibaca pada buku Teladan Abadi Imam Shadiq karya Tim Alamul Huda (Jakarta: Al-Huda, 2007).
[4] Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah
Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (Bandung: Mizan, 1996) halaman 136.
[5] William C.Chittick, Kosmologi Islam dan
Dunia Modern (Bandung: Mizan, 2010) halaman 33-34.
[6] William C.Chittick, Kosmologi Islam dan
Dunia Modern, halaman 117.
[7] William C.Chittick, Kosmologi Islam dan
Dunia Modern, halaman 192.