Minggu, 18 Februari 2024

Hagiografi Imam Jafar Ash-Shadiq

 TULISAN ini berupaya untuk memahami fenomena sejarah yang “unik”, yang dialami dan terjadi pada orang-orang yang memiliki kemuliaan dalam spiritualitas (keagamaan). Di Barat fenomena ini disajikan dalam tulisan hagiografi yang memuat cerita dari tokoh agama yang memiliki keunikan dan bersifat individual.

Dalam sejarah peradaban Islam, fenomena hagiografi banyak tercantum dalam kitab manaqib yang memuat keutamaan dan kemuliaan seorang wali Allah atau tokoh Islam. Manaqib biasanya ditulis oleh para murid, yang menyaksikan atau mendengar kesaksian dari guru (wali Allah) yang menyampaikan pengalaman spiritual kepada murid-muridnya. Aspek ini dari pandangan postivisme tidak masuk dalam sejarah, tetapi dalam paradigma sejarah Islam termasuk bagian dari historiografi berupa kitab manaqib. Sesuai dengan isinya yang memiliki keunikan, maka bisa disebut juga sebagai hagiografi Islam.

Karena itu, dalam tulisan ini penulis akan mencoba menguraikan aspek hagiografi dari Imam Jafar Shadiq; yang diawali dengan biografi singkat, kisah hagiografi, analisa dan interpretasi atas kisah, dan simpulan.

Biografi

Imam Jafar Shadiq adalah salah seorang dari keturunan Rasulullah saw. Imam Jafar putra dari  Imam Muhammad Al-Baqir putra Imam Ali Zainal Abidin putra Husain. Husain adalah putra dari Fathimah (putri Nabi Muhammad saw) dan Ali bin Abi Thalib ra. Imam Jafar lahir di Madinah, tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah/ 20 April 702 Masehi.

Imam Jafar dikenal dengan julukan Abu Abdillah di Pekuburan Baqi, Madinah. Imam Jafar merupakan Imam Syiah Itsna Asyariyah yang keenam setelah Imam Muhammad Al-Baqir. Juga seorang ahli fikih yang disebut sebagai pendiri mazhab fikih Jafari, yang banyak diamalkan oleh Muslim Syiah. Dalam tarekat sufi, Imam Jafar merupakan matarantai guru spiritual yang menyambung kepada Rasulullah saw. Hampir seluruh tarekat silsilah guru dan ilmu terhubung kepada Imam Jafar Shadiq. Karena itu, tidak salah kalau Imam Jafar disebut sebagai tokoh sufi.

Imam Jafar lahir pada masa Dinasti Umayyah saat kekuasaan dipegang khalifah Abdul-Malik bin Marwan. Imam Jafar menyaksikan peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah.

Selain menguasai ilmu-ilmu agama Islam, Imam Jafar juga mahir dalam ilmu kedokteran, kimia, matematika, filsafat, dan lainnya. Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmunya itu mengantarkan Imam Jafar menjadi ulama yang banyak dirujuk (marja’) oleh kaum Muslim saat mendapatkan masalah yang berkaitan dengan agama maupun lainnya. Majelisnya banyak didatangi orang untuk menimba ilmu maupun meminta jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi kaum Muslim. Sedikitnya ada empat ribu murid yang belajar kepada Jafar Ash-Shadiq, di antaranya Jabir bin Hayyan, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyayna, Abu Hanifah, dan lainnya.

Abu Hanifah selaku murid dan pendiri mazhab fikih Hanafi, memuji Imam Jafar Shadiq sebagai ulama yang memiliki ilmu yang luas dan tidak dimiliki oleh orang lain. Begitu pula Malik bin Anas yang merupakan pendiri mazhab Maliki, mengatakan hal yang sama. Pantas kalau Jafar Ash-Shadiq dinobatkan sebagai ulama yang telah melahirkan ribuan ulama hadits dan ilmuwan-ilmuwan Muslim.

Berkaitan dengan dengan garansi ilmu dan spiritualitas, Imam Jafar Shadiq berkata, “hadits-hadits yang aku keluarkan adalah hadits-hadits dari bapakku. Hadist-hadist dari bapakku adalah dari kakekku. Hadist-hadist dari kakekku adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadist-hadist dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadist-hadist dari Rasulullah saw dan hadist-hadist dari Rasulullah saw adalah wahyu Allah Azza wa Jalla.”[1]

Popularitas Jafar Ash-Shadiq di tengah kaum Muslim membuat penguasa Dinasti Abbasiyyah, Mansur Ad-Dawaniqi, merasa khawatir menjadi gerakan politik yang dapat meruntuhkan kekuasaannya. Karena itu, ia membuat rencana untuk mengenyahkannya. Bahkan, tindakan untuk menyingkirkannya telah dilakukan sebelumnya oleh penguasa sebelumnya, yaitu Abdul-Abbas Al-Saffah. Jafar Ash-Shadiq dipisahkan dari pengikutnya dengan membawanya ke Irak. Tidak lama kemudian dikembalikan lagi ke Madinah dan diawasi secara ketat, termasuk kepada keluarganya.

Semakin hari bertambah banyak pengikut Jafar Ash-Shadiq. Kekhawatiran penguasa terhadapnya berlanjut dengan memerintahkan Gubernur Madinah, Muhammad bin Suleima, untuk membunuhnya dengan menggunakan racun. Jafar Ash-Shadiq yang dikenal sebagai pendiri mazhab fikih Jafari ini wafat pada 15 Syawal 148 H. (4 Desember 765) saat usia 65 tahun. Pemakamannya dipimpin putranya, Musa Al-Kazhim, di Jannat Al-Baqi, Madinah.[2]


Kisah Hagiografi

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa hagiografi itu berkaitan dengan kisah unik dari seseorang yang benar-benar terjadi, maka ditemukan pula sekira tiga kisah hagiografi dari Imam Jafar Shadiq.

Pertama, diceritakan suatu hari Imam Jafar Shadiq digiring ke hadapan Khalifah Mansur Al-Abbasi (Dinasti Abbasiyah) dengan tuduhan palsu dan disaksikan hanya seorang. Saksi itu berkata: “Aku bersumpah bahwa Jafar melakukan begini dan begitu.” Belum selesai saksi itu berkata, tiba-tiba ia tersungkur mati di hadapan Imam Jafar.  

Kedua, dari Imam As-Syibli bahwa setengah dari karamah Imam Jafar Shadiq adalah ketika Bani Hasyim hendak membaiat Muhammad dan Ibrahim bin Abdullah bin Hassan bin Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah saat akan runtuh Dinasti Umayyah. Mereka meminta pendapat dari Imam Jafar Shadiq. Setelah berada di hadapan Imam Jafar, mereka berkata: “Kami berkumpul di sini hendak membaiat engkau menjadi khalifah.” Imam Jafar menjawab, ”Sebenarnya kekhalifahan ini tidak akan diperoleh olehku dan tidak pula untuk kedua orang itu (Muhammad dan Ibrahim bin Abdullah). Sesungguhnya kekhalifahan akan diperoleh oleh yang memakai jubah kuning itu. Demi Allah, mereka akan dipermainkan oleh budak-budak mereka sendiri.” Memang terbukti ucapan dari Imam Jafar Shadiq bahwa Al-Mansur kemudian hari menjabat sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah.

Ketiga, Imam Al-Laitsi bin Saad bercerita pada tahun 113 H. aku pergi haji. Setelah shalat ashar, aku naik ke bukit Jabal Aba Qubais dan aku lihat ada seorang duduk sedang berdoa: Ya Allah, ya Allah, ya Hayu, ya Hayu. Kemudian orang itu berdoa lagi: Ya Allah, sesungguhnya aku ingin buah anggur, kumohon kurniakanlah kepadaku. Ya Allah sesungguhnya kain bajuku koyak-koyak aku mohon berikan kepadaku kain baju. Sebelum ia menyelesaikan doanya, tiba-tiba muncul sekeranjang buah anggur penuh yang waktu itu bukan musimnya dan kulihat pula ada dua kain yang serba mahal yang belum pemah kulihat ada kain baju sebagus itu.

Ketika ia akan memakan buah anggur itu, aku berkata kepadanya, “Aku juga mau buah anggur karena saat engkau berdoa aku membaca amin.” Lalu, ia menjawab, “Datanglah kemari.” Ia memberi sebagian buah anggur yang segera aku makan. Rasanya belum pernah aku makan buah anggur selazat buah itu. Ia melarang aku untuk menyimpan sisanya. Anehnya, isi keranjang itu sedikit pun tidak berkurang. 

Selanjutnya orang itu memberikan kepadaku sepotong dari dua kain baju itu sedang yang sepotong dipakai olehnya. Namun waktu kutolak kain itu ia menggunakannya kedua potong kain tersebut. Yang sepotong dipakai buat baju sedangkan yang sepotong disarungkan di bawahnya.

Aku bertemu lagi dengannya ketika di tempat Sa’i di antara Shafa dan Marwah. Ia bertemu dengan seorang miskin yang berkata, “Wahai cucu Rasulullah berikanlah kepadaku pakaian.” Ia berikan dua potong kain yang baru itu orang miskin yang meminta. Lantas aku bertanya kepada orang miskin yang diberi kain tersebut: siapakah orang itu? Orang miskin menjawab, “ia adalah Jafar bin Muhammad Al-Baqir.”[3] 

Analisa dan Interpretasi

            Dalam perkuliahan, Ajid Thohir menyebutkan dalam hagiografi terdapat unsur tokoh, rawi dan saksi, dan realitas. Dari unsur tokoh, sosok Imam Jafar Shadiq merupakan pelaku sejarah yang benar-benar nyata keberadaannya. Secara personal dikenal sebagai ulama, guru, dan ilmuwan yang terbukti dengan lahirnya para murid dan memiliki amalan fikih dan doa-doa yang diamalkan secara turun temurun dari murid ke murid hingga kini diamalkan kalangan Muslim Syiah. Jejak keberadaannya bisa dibuktikan dengan makam, anak dan keturunannya yang sampai sekarang masih ada. Karena itu, sosok Imam Jafar ini realitas historis kemudian dari sisi ilmu dan keperibadian tidak diragukan oleh para ulama terdahulu maupun ulama sekarang ini.

            Unsur kedua, rawi dan saksi. Seperti yang tercantum di atas bahwa dua dari tiga kisah hagiografi dari Imam Jafar disampaikan oleh Imam As-Syibli dan Imam Al-Laitsi bin Saad. Kedua orang ini merupakan ulama dan diakui kepakarannya dalam ilmu tasawuf dan kalam sehingga tidak diragukan informasinya karena terlibat dan berhubungan langsung dengan sosok Imam Jafar Shadiq. Kemudian dari sejumlah riwayat di kalangan Syiah bahwa hampir setiap Imam memiliki karamah dan keistimewaan yang satu sama lain berbeda. Bisa dipahami hal itu ada pada mereka karena para tokoh sufi seperti Imam Jafar Shadiq, Abdul Qadir Jilani, Abu Hamid Ghazali, atau Jalaluddin Rumi tekun dalam beribadah dan memiliki amalan khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah.

            Unsur ketiga, realitas berupa kisah hagiografi Imam Jafar Shadiq di atas secara ilmiah mungkin tidak bisa diterima. Namun berdasarkan kesaksian dari Imam Al-Laitsi bin Saad dan Imam As-Syibli, maka pengalaman Imam Jafar Shadiq menjadi evidensi dari realitas historis yang bersifat hagiografi. Fenomena yang dialami Imam Jafar Shadiq ini banyak ditemukan dalam sejumlah riwayat kaum sufi yang dimuat dalam manakib dan dalam sejarah disebutkan banyak para wali Allah yang mengalami fenomena hagiografi yang terus berulang kejadiannya dengan beragam bentuk kisah unik. Harus diakui bahwa ini realitas yang tidak terpisahkan dari sejarah Islam, berupa fenomena hagiorgafi Islam yang selayaknya mendapat tempat dalam historiografi Islam.

Dalam kajian tasawuf, fenomena hagiografi masuk dalam kategori karamah yang khusus diberikan Allah kepada manusia terpilih karena memiliki kaulitas spiritualitas lebih dari manusia biasa.[4] Namun, posisi manusia terpilih (wali Allah) ini berada di bawah Nabi. Di antara para sahabat dan keluarga Nabi (Ahlul Bait) pun terdapat orang-orang yang memiliki kelebihan dan keunikan berupa karamah sebagai bukti dari keagungan Allah yang diperlihatkan kepada umat manusia agar semakin kokoh dalam keimanan dan meningkat dalam spiritualitas.

Memang dalam hagiografi ini memerlukan pemahaman atas “realitas” yang lebih universal. Dalam pandangan William Chittick bahwa realitas merupakan kosmologi (kesemestaan) yang berasal dari Tuhan kemudian melahirkan keanekaragaman dalam bentuk aneka ciptaan-Nya. Meski terbentuk dalam ciptaan, tetapi satu kesatuan yang mendasari semua fenomena[5]karena dari-Nya.  Maka dengan kosmologi ini semua realitas disatukan dalam prinsip tauhid; segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Chittick menulis: “Orang-orang perlu mengambil peran aktif dalam menghubungkan diri mereka kembali kepada Tuhan dan mereka bisa melakukan hanya dalam kerangka diri mereka sendiri dan pemahaman mereka sendiri.[6] Pemahaman realitas ini mengandung pengetahuan berupa informasi (khabar) dan jejak (atsar). Dari keduanya manusia bisa mengambil pengetahuan dengan cara memaknainya sehingga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan pelajaran (ibrah) sehingga  tidak ada lagi perbedaan antara realitas emperis dan non emperis karena secara substansi keduanya sebagai realitas yang menyatu dan memancar dari-Nya.[7]

            Berkaitan dengan unsur ketiga (realitas) dari hagiografi Imam Jafar Shadiq—bisa diambil pelajaran—bahwa orang yang memiliki kualitas spiritualitas yang tinggi akan selalu dekat dengan Allah dan dapat pertolongan-Nya. Kemudian bisa dipahami bahwa karamah merupakan bentuk aktualisasi manusia dalam mencapai pengetahuan yang tidak terbatas dan optimalisasi dari ibadah. Mereka yang optimal dan melakukan aktualisasi dalam pengetahuan dan mendekatkan diri kepada-Nya maka akan mendapatkan “hadiah” berupa karamah.

 

Simpulan

               Berdasarkan uraian di atas maka sudah saatnya sejarawan Muslim untuk melihat dan mengkaji kembali khazanah klasik dalam sejarah berupa tulisan-tulisan dari muarikhin yang terkait dengan hagiografi. Patut disadari bahwa paradigma sejarah mazhab positivistik tidak mampu masuk dalam fenomena hagiografi.

Sekarang ini sudah muncul gerakan postmodernisme yang mengkritik kelemahan paradigma modern yang positivistik sehingga sarjana Muslim memiliki peluang untuk menggali hal-hal yang ditinggalkan kaum postivis. Jika masih tetap manut dengan paradigma positivisme, maka ilmu pengetahuan menjadi stagnan karena akan banyak fenomena yang diabaikan. Padahal seluruh semesta dan diri manusia, terdapat rahasia “pengetahuan” yang jika mampu menyingkapnya akan menjadikan ilmu pengetahuan manusia terus menyempurna. Wamaa taufiiqii illaa billaah; ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib. Wa shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin wa aali Muhammad. *** 

=> Tulisan ini merupakan tugas Matakuliah Hagiografi Sufi. Diampu oleh Dr. Ajid Thohir, M.Ag. Ditulis oleh Ahmad Sahidin, Mahasiswa S2 Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, semester 3, tahun 2015.


[1] Ali Umar Al-Habsyi, Sabda Ilmu (Jakarta: Al-Huda, 2006).

[2] Diambil dari buku  Fikih Imam Jafar Shadiq karya Muhammad Jawad Mughniyyah (Jakarta: Lentera, 2008) bagian biografi.

[3] Kisah tersebut diambil dari  http://bintang-sufi.blogspot.co.id/2013/10/al-imam-jafar-shodiq.html?m=1  (diakses tanggal 12 Februari 2016, jam 17.00) dan  buku Teladan Suci Keluarga Nabi karya Muhammad Ali Shabban  (Bandung: Al-Bayan, 2005). Kisah dari Imam Jafar Shadiq yang lebih lengkap bisa dibaca pada buku  Teladan Abadi Imam Shadiq karya Tim Alamul Huda (Jakarta: Al-Huda, 2007). 

[4] Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (Bandung: Mizan, 1996) halaman 136.

[5] William C.Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern (Bandung: Mizan, 2010) halaman 33-34.

[6] William C.Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, halaman  117.

[7] William C.Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, halaman 192.