BENAKAH Iblis bertauhid? Pertanyaan ini pernah saya lontarkan saat kuliah teologi di UIN SGD Bandung. Mendengar pertanyaan tersebut, dosen teologi saya malah balik tanya: memangnya kenapa jika iblis bertauhid?
Ditanya seperti itu saya sempat kaget. Namun, saya cepat menjawab bahwa pertanyaan tersebut muncul setelah membaca ayat tentang dialog antara Tuhan dan iblis setelah selesai penciptaan manusia pertama dan penipuan ruh. Tuhan memerintahkan malaikat dan iblis agar bersujud kepada Adam, makhluk manusia yang diciptakan Tuhan. Para malaikat pun bersujud. Hanya iblis yang menolak perintah-Nya. Kejadian ini terekam dalam surah al-Baqarah ayat 34, al-A’raf ayat 11, al-Hijr ayat 29, al-Kahfi ayat 50, Thaha ayat 116, dan Shad ayat 72.
Tuhan kemudian
menanyakan alasan iblis tidak mematuhi perintah-Nya. Iblis menyatakan bahwa
dirinya lebih mulia ketimbang Adam. Pembangkangan iblis membuat Tuhan marah
sehingga diusirnya iblis dari surga dan kelak akan ditempatkan dalam neraka.
Iblis tidak bisa berbuat apa-apa atas vonis tersebut. Iblis kemudian meminta
kepada Tuhan agar dirinya tidak diwafatkan dan diberi kewenangan untuk menggoda
manusia. Iblis pun beraksi sampai Adam dan Hawa terjerumus dalam ketidaktaatan
kepada Tuhan. Akibatnya, Tuhan mengeluarkan dua makhluk manusia tersebut dari
surga dan ditempatkan di alam dunia.
Menurut Ibnu
Arabi, pembangkangan iblis merupakan bentuk penegasan dari sikap mengesakan
Tuhan karena yang layak disembah atau bersujud hanya kepada Tuhan. Selain Tuhan
tidak pantas untuk disikapi dengan sembahan dalam bentuk sujud. Dari sudut
pandang ketauhidan tampaknya sepintas benar. Akan tetapi, ketauhidan tanpa
ketaatan sangat tidak bermakna. Begitu juga dengan ketaatan tanpa didasari
nilai tauhid sangatlah kurang bermakna. Taat dengan didasari tauhid merupakan
substansi agama yang perlu diperhatikan umat Islam dalam menjalankan
keberagamaannya.
Dalam khazanah
ilmu-ilmu Islam, peristiwa jatuhnya Adam dan Hawa ke dunia ditafsirkan dengan
berbagai perspektif. Para filsuf, sufi, dan fuqaha pun berbeda-beda
dalam memahami peristiwa tersebut. Muhammad Iqbal (1877-1938) menjelaskan bahwa
Adam bukanlah individu yang terlempar karena dosa, tetapi ia adalah simbol dari
konsep manusia sadar-diri. Artinya, kejatuhan Adam adalah bermakna peralihan
(mengalir) dari tingkat naluriah primitif (yang terpenjara) menuju ke tingkat
kesadaran-diri yang merdeka dengan tetap dapat mengalami keraguan dan
keingkaran yang manusiawi.
Jatuhnya Adam membuktikan bahwa manusia tidak
sempurna sehingga ia senantiasa untuk berada dalam proses menuju/menjadi
sempurna. Karena itu, seorang manusia mestinya memahami ‘diri yang sejati’ yang
terkait dengan siapa aku sebenarnya melalui kehendak-kreatif, atau refleksi
yang mendalam sehingga sadar bahwa ada yang Lebih-Mahasempurna di alam semesta
ini.
Meskipun iblis itu
dikategorikan sebagai contoh makhluk yang durhaka, tetapi keberadaan iblis
sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dengan adanya hambatan yang
dilakukan iblis (dalam beribadah kepada Tuhan) manusia menjadi paham bahwa
berjalan menuju Tuhan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ikhtiar dan
optimalisasi diri dalam beribadah dan menjalankan perannya sebagai khalifah
fil ardh menjadi sarana jihad dan ujian keimanan manusia.
Karena itu, keberadaan
iblis di alam semesta ini bukanlah sebuah kesia-siaan. Justru dengan hadirnya
iblis manusia yang saleh dan bertakwa terseleksi dari manusia-manusia lainnya.
Manusia-manusia yang tercerahkan dengan pancaran Ilahi akan mampu melawan
rintangan dalam mencapai ibadah yang sejati. Segala potensi buruk yang terdapat
dalam diri manusia tidak akan muncul jika seorang manusia telah mengetahui
kualitas dan keunggulannya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya.
Kita mengetahui
dalam nash-nash bahwa manusia diciptakan dari unsur tanah (materi) dan
unsur Ilahi (spiritual). Kedua unsur inilah modal utama manusia untuk menjadi
manusia yang berderajat tinggi dan manusia berderajat rendah. Pilihannya
bergantung kepada manusia itu sendiri: mengoptimalkan sisi Ilahiyah dengan
menyadari diri sebagai hamba yang harus taat kepada Tuhan, atau terus
menguatkan sisi materinya sehingga kedudukannya sama seperti tanah yang
menyimbolkan kerendahan. Jika yang terakhir menjadi pilihannya, iblis akan
semakin menguatkan pilihannya tersebut sehingga ia dapat disebut teman iblis.
Sudah pasti
manusia jenis ini tidak pernah memerhatikan aspek halal-haram, benar-salah,
bahkan agama pun dijadikannya sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan
untuk menguntungkan diri dan kelompoknya. Kesalehan tidak lagi menjadi ciri
malah menjadi topeng untuk menipu dan menyesatkan umat manusia dari jalan yang
lurus. Apabila sudah seperti ini, siap-siaplah menunggu datangnya murka Allah.
Andaikata jatuh pada optimalisasi sisi Ilahiyah yang berarti senantiasa
berupaya berjalan dengan petunjuk Tuhan, ia akan tampil sebagai manusia yang
secara sosial dipandang baik dan secara agama disebut beriman. Cirinya jelas
bahwa sosok manusia ini senang berbuat kebaikan dan tidak menjadi “sampah”
masyarakat serta menjadi teladan. Para nabi, rasul, dan Muslim generasi pertama
Islam (assabiqunal awwalun) seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Khadijah
Al-Kubra, Hamzah, dan lainnya, menjadi contoh figur manusia sejati yang
mengutamakan Islam.
Bagaimanakah
caranya supaya dapat tergolong menjadi manusia yang berderajat seperti generasi
pertama Islam? Menurut Ibnu Arabi, tidak ada cara lain kecuali dengan
menjadikan dirinya sebagai al-insan al-kamil. Yakni manusia yang
berhasil menundukkan potensi kejahilan, syirik, hubuddunya, dan
sifat-sifat iblis yang bersemayam dalam diri. Dengan apakah manusia dapat
menjadi al-insan al-kamil? Selain melalui ibadah dan patuh pada hukum
Ilahi, yang paling penting menyadari bahwa diri kita akan kembali kepada Yang
Maha Sempurna. *** (ahmad sahidin)