Jumat, 16 Februari 2024

Benarkah Iblis Bertauhid?

BENAKAH Iblis bertauhid? Pertanyaan ini pernah saya lontarkan saat kuliah teologi di UIN SGD Bandung. Mendengar pertanyaan tersebut, dosen teologi saya malah balik tanya: memangnya kenapa jika iblis bertauhid? 

Ditanya seperti itu saya sempat kaget. Namun, saya cepat menjawab bahwa pertanyaan tersebut muncul setelah membaca ayat tentang dialog antara Tuhan dan iblis setelah selesai penciptaan manusia pertama dan penipuan ruh. Tuhan memerintahkan malaikat dan iblis agar bersujud kepada Adam, makhluk manusia yang diciptakan Tuhan. Para malaikat pun bersujud. Hanya iblis yang menolak perintah-Nya. Kejadian ini terekam dalam  surah al-Baqarah ayat 34, al-A’raf ayat 11, al-Hijr ayat 29, al-Kahfi ayat 50, Thaha ayat 116, dan Shad ayat 72. 

Tuhan kemudian menanyakan alasan iblis tidak mematuhi perintah-Nya. Iblis menyatakan bahwa dirinya lebih mulia ketimbang Adam. Pembangkangan iblis membuat Tuhan marah sehingga diusirnya iblis dari surga dan kelak akan ditempatkan dalam neraka. Iblis tidak bisa berbuat apa-apa atas vonis tersebut. Iblis kemudian meminta kepada Tuhan agar dirinya tidak diwafatkan dan diberi kewenangan untuk menggoda manusia. Iblis pun beraksi sampai Adam dan Hawa terjerumus dalam ketidaktaatan kepada Tuhan. Akibatnya, Tuhan mengeluarkan dua makhluk manusia tersebut dari surga dan ditempatkan di alam dunia.

Menurut Ibnu Arabi, pembangkangan iblis merupakan bentuk penegasan dari sikap mengesakan Tuhan karena yang layak disembah atau bersujud hanya kepada Tuhan. Selain Tuhan tidak pantas untuk disikapi dengan sembahan dalam bentuk sujud. Dari sudut pandang ketauhidan tampaknya sepintas benar. Akan tetapi, ketauhidan tanpa ketaatan sangat tidak bermakna. Begitu juga dengan ketaatan tanpa didasari nilai tauhid sangatlah kurang bermakna. Taat dengan didasari tauhid merupakan substansi agama yang perlu diperhatikan umat Islam dalam menjalankan keberagamaannya. 

Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, peristiwa jatuhnya Adam dan Hawa ke dunia ditafsirkan dengan berbagai perspektif. Para filsuf, sufi, dan fuqaha pun berbeda-beda dalam memahami peristiwa tersebut. Muhammad Iqbal (1877-1938) menjelaskan bahwa Adam bukanlah individu yang terlempar karena dosa, tetapi ia adalah simbol dari konsep manusia sadar-diri. Artinya, kejatuhan Adam adalah bermakna peralihan (mengalir) dari tingkat naluriah primitif (yang terpenjara) menuju ke tingkat kesadaran-diri yang merdeka dengan tetap dapat mengalami keraguan dan keingkaran yang manusiawi.

 Jatuhnya Adam membuktikan bahwa manusia tidak sempurna sehingga ia senantiasa untuk berada dalam proses menuju/menjadi sempurna. Karena itu, seorang manusia mestinya memahami ‘diri yang sejati’ yang terkait dengan siapa aku sebenarnya melalui kehendak-kreatif, atau refleksi yang mendalam sehingga sadar bahwa ada yang Lebih-Mahasempurna di alam semesta ini.

Meskipun iblis itu dikategorikan sebagai contoh makhluk yang durhaka, tetapi keberadaan iblis sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dengan adanya hambatan yang dilakukan iblis (dalam beribadah kepada Tuhan) manusia menjadi paham bahwa berjalan menuju Tuhan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ikhtiar dan optimalisasi diri dalam beribadah dan menjalankan perannya sebagai khalifah fil ardh menjadi sarana jihad dan ujian keimanan manusia.

Karena itu, keberadaan iblis di alam semesta ini bukanlah sebuah kesia-siaan. Justru dengan hadirnya iblis manusia yang saleh dan bertakwa terseleksi dari manusia-manusia lainnya. Manusia-manusia yang tercerahkan dengan pancaran Ilahi akan mampu melawan rintangan dalam mencapai ibadah yang sejati. Segala potensi buruk yang terdapat dalam diri manusia tidak akan muncul jika seorang manusia telah mengetahui kualitas dan keunggulannya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya.

Kita mengetahui dalam nash-nash bahwa manusia diciptakan dari unsur tanah (materi) dan unsur Ilahi (spiritual). Kedua unsur inilah modal utama manusia untuk menjadi manusia yang berderajat tinggi dan manusia berderajat rendah. Pilihannya bergantung kepada manusia itu sendiri: mengoptimalkan sisi Ilahiyah dengan menyadari diri sebagai hamba yang harus taat kepada Tuhan, atau terus menguatkan sisi materinya sehingga kedudukannya sama seperti tanah yang menyimbolkan kerendahan. Jika yang terakhir menjadi pilihannya, iblis akan semakin menguatkan pilihannya tersebut sehingga ia dapat disebut teman iblis.

Sudah pasti manusia jenis ini tidak pernah memerhatikan aspek halal-haram, benar-salah, bahkan agama pun dijadikannya sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk menguntungkan diri dan kelompoknya. Kesalehan tidak lagi menjadi ciri malah menjadi topeng untuk menipu dan menyesatkan umat manusia dari jalan yang lurus. Apabila sudah seperti ini, siap-siaplah menunggu datangnya murka Allah. Andaikata jatuh pada optimalisasi sisi Ilahiyah yang berarti senantiasa berupaya berjalan dengan petunjuk Tuhan, ia akan tampil sebagai manusia yang secara sosial dipandang baik dan secara agama disebut beriman. Cirinya jelas bahwa sosok manusia ini senang berbuat kebaikan dan tidak menjadi “sampah” masyarakat serta menjadi teladan. Para nabi, rasul, dan Muslim generasi pertama Islam (assabiqunal awwalun) seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Khadijah Al-Kubra, Hamzah, dan lainnya, menjadi contoh figur manusia sejati yang mengutamakan Islam.

Bagaimanakah caranya supaya dapat tergolong menjadi manusia yang berderajat seperti generasi pertama Islam? Menurut Ibnu Arabi, tidak ada cara lain kecuali dengan menjadikan dirinya sebagai al-insan al-kamil. Yakni manusia yang berhasil menundukkan potensi kejahilan, syirik, hubuddunya, dan sifat-sifat iblis yang bersemayam dalam diri. Dengan apakah manusia dapat menjadi al-insan al-kamil? Selain melalui ibadah dan patuh pada hukum Ilahi, yang paling penting menyadari bahwa diri kita akan kembali kepada Yang Maha Sempurna. *** (ahmad sahidin)