Kamis, 27 Juli 2023

Studi Kritis Sirah Nabawiyah di Indonesia

Awalnya saya tidak tertarik untuk mengkaji sejarah yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw. Selain terlalu bernuansa klasik dan pernah dipelajari ketika kuliah, juga mengira bahwa sejarah Nabi tidak jauh berbeda dengan buku-buku lainnya. Namun setelah bergabung dalam sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah yang dibuat oleh kawan-kawan alumni jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya jadi tertarik lagi untuk membuka-buka dan membaca lagi buku sejarah.

Pada sebuah diskusi, pembahasan jamaah milis sampai pada pembahasan metodologi sejarah, bahkan mempertanyakan keabsahan metodologi sejarah modern Barat. Pada milis itu saya menyatakan sepakat dengan pengugatan atau uji ulang semua khazanah kesejarahan, baik itu metodologi sejarah maupun filsafat sejarah yang berasal dari Barat.

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dengan standar apakah kita akan mengujinya? Kalau memang umat Islam, ulama dan sejarawan Muslim, memiliki metodologi yang khas; seperti apakah? Benarkah sejarawan Muslim memiliki metodologi atau epistemologi yang khas Islam?

Sepanjang penelusuruan saya dalam khazanah intelektual Islam, khususnya teologi, tasawuf falsafi, dan filsafat; ujung-ujungnya ada pengaruh dari khazanah kebudayaan luar Islam. Terutama ketika gencarnya proyek penerjemahan, penyalinanan, dan membuat karya yang dipesan penguasa, serta diskusi antar ulama. Tidak disangkal dalam karya-karya para ulama atau ilmuwan Islam terdahulu ada pengaruh pemikiran luar Islam. Contohnya, pada ushul fiqih sangat kentara pengaruh logika Aristoteles dalam cara-cara pengambil kesimpulan.

Bahkan, Ibnu Khaldun yang digembar-gemborkan “Bapak Sejarah” pun gaya penulisannya tidak murni dari kreativitasnya. Mungkin pengaruh metodologi hadits dan pembelaan teologi serta keberpihakkan pada penguasa lebih dominan dalam karyanya. Untuk menguji karya Ibnu Khaldun harusnya dengan sebuah “otoritas” yang benar-benar diakui semua sejarawan atau yang bersifat universal. Dan ini sangat sulit karena semua karya sejarah terjebak pada subjektivitas dan relativitas kebenaran. Sejarah Islam pascawafat Rasulullah saw pun tidak lepas dari subjektivitas mazhab dan aliran politik para penulis sejarahnya. Apalagi para penulis sejarah Islam dari Barat, pasti lebih subjektif dan dominan deislamisasi ketimbang kejujurannya.

Bagaimana dengan sejarah Islam masa Rasulullah saw; adakah alat ujinya sehingga sejarah Nabi Muhammad saw bebas diri distorsi sejarah? Saya kira upaya mengkaji  Sirah Nabawiyah secara kritis telah dimulai oleh Muhammad Husain Haekal yang menulis buku Sejarah Hidup Muhammad (diterjemahkan oleh Ali Audah dan diterbitkan Litera Antar Nusa, 1995); Ja`far Subhani dengan karyanya The Message (terbitan Foreign Departement of Be`that Foundation, 1984);  Ja`far Murtadha Amili dengan menulis kitab  Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw; dan Jalaluddin Rakhmat yang menguji sejarah Rasulullah saw melalui analisa hadits yang diuji dengan al-Quran. Kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam buku Al-Mushthafa: Studi Kritis Historis Nabi Saw (diterbitkan Muthahhari Press secara terbatas dan diterbitkan ulang dengan judul Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan  oleh Penerbit Simbiosa pada Mei 2008).

Dalam buku Al-Mushthafa, Kang Jalal—penggilan Jalaluddin Rakhmat—secara khusus menulis kritik terhadap hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan hal-hal yang berkaitan dengan sosok Muhammad dan nubuwwah Rasulullah saw.

Dalam upaya itu, Kang Jalal menggunakan tiga tahap. Pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia. Kedua, mempertemukan riwayat Nabi Muhammad saw dengan pesan Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran maka bisa diterima. Apabila tidak, wajib ditolak.  Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan hadits (isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits. Bagian ketiga ini dapat dikatakan menggabungkan historiografi Islam klasik dengan historiografi moderen, termasuk ke dalamnya posmodernisme yang berkaitan dengan analisis kekuasaan dan peranan ideologi.

Karena itu, Ustadz Jalal menolak hadits atau fakta sejarah yang menggambarkan Nabi Muhammad saw pernah keliru dan tidak mengetahui bahwa dirinya seorang Nabi. Begitu pun tentang peristiwa mendapatkan wahyu yang sampai membuat Muhammad saw ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada istrinya (Khadijah) atau bertelanjang dada, bermesraan di depan umum, hendak bunuh diri dan lainnya, oleh Ustadz Jalal ditolak kebenarannya karena telah merendahkan derajat Nabi Muhammad saw. Sangat tidak mungkin manusia yang disebut berakhlak al-quran melakukan perilaku tidak terpuji dan seperti orang bodoh.

Paradigma ini sangat ampuh dalam menjawab keraguan-raguan terhadap muatan beberapa hadits yang dikenal selama ini. Sebagai contoh, hadits tentang cara menanam kurma yang mashur sebagai asal-usul atau asbabun nujul hadist yang terkenal "Antum 'alamu bi umuri dunyaukum" yang membawa konsekuensi pemisahan antara urusan dunia dengan urusan akhirat, dengan metode studi kritis atas hadist (Sirah Nabawiyah) patut dipertanyakan kembali. Masa Rasulullah saw yang mulia yang dalam kehidupan sehari-harinya aktif dalam urusan sosial dan urusan hidup sehari-hari (berdagang, ikut berperang sejak kecil mempertahankan kabilah) tidak mengenal cara menanam kurma? Akan sangat mengurangi kemuliaannya jika seorang Rasul penutup para utusan Allah tidak sadar akan ucapannya yang sangat besar implikasinya itu.

Demikian pula hadits tentang asababun nuzul turunnya surah Al Falaq dan An Naas yang bertentangan dengan tingkat kesadaran spiritual Nabi saw (sehingga tidak mungkin seorang Nabi saw terkena sihir). Apabila hendak menjadikan surah tersebut untuk mencegah sihir dan sejenisnya, Allah tidak perlu merendahkan derajat Nabi saw - sampai harus terkena sihir segala macam- sebagai asbabun nuzulnya. Banyak lagi peristiwa yang diberitakan sejumlah hadits yang patut kita kritisi. Sejarah yang sampai kepada kita—menurut Ustadz Jalal—terdapat yang tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. Apalagi setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw.

Memang kajian kritis Sirah Nabawiyah ini tidak semua orang menerimanya. Sampai-sampai pihak Litbang Depag RI Pusat mengundang Kang Jalal untuk mempertanggungjawabkan kajian kritis yang disebarkannya dalam buku dan kajian khusus yang diselenggarakan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Tentang kajiannya di Depag RI, Kang Jalal bercerita dalam milis:

“Saya pernah diundang oleh Litbang Departemen Agama untuk mendiskusikan ilmu hadis Syiah dengan lebih dari 50 doktor ilmu hadis di Yogya, yang kemudian disambung dengan dikusi yang sama di UIN Jakarta. Saya bukan ayatullah, saya juga tidak mengambil spesialisasi hadis. Saya pikir Depag tidak mengundang saya untuk diskusi itu dengan pikiran bahwa saya tidak mengerti ulum al-hadits; para peserta juga menyampaikan pertanyaan kepada saya dengan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh ahli ulumul hadits. Jika saya, yang bukan ulama Syiah saja, bisa berdiskusi tentang ulumul hadits dan menulis buku-buku tentang ulumul hadits (sekarang desertasi tentang sunnah shahabat sebagai studi historiografis), bayangkan para ayatullah yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk menguji keabsahan hadis.”

Pemikiran Kang Jalal tersebut, saya kira bisa disebut metode kritik sejarah kritis untuk Sirah Nabawiyah. Meski spesifik, tetapi bisa dikembangkan untuk menjadi alat analisa pada kajian sejarah dan peradaban Islam sejak pasca wafat Rasulullah saw sampai sekarang. *** (Ahmad Sahidin)