Awalnya saya tidak tertarik untuk mengkaji sejarah yang berkaitan dengan Nabi Muhammad saw. Selain terlalu bernuansa klasik dan pernah dipelajari ketika kuliah, juga mengira bahwa sejarah Nabi tidak jauh berbeda dengan buku-buku lainnya. Namun setelah bergabung dalam sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah yang dibuat oleh kawan-kawan alumni jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya jadi tertarik lagi untuk membuka-buka dan membaca lagi buku sejarah.
Pada sebuah diskusi, pembahasan jamaah milis
sampai pada pembahasan metodologi sejarah, bahkan mempertanyakan keabsahan metodologi
sejarah modern Barat. Pada milis itu saya menyatakan sepakat dengan pengugatan
atau uji ulang semua khazanah kesejarahan, baik itu metodologi sejarah maupun filsafat
sejarah yang berasal dari Barat.
Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya
adalah dengan standar apakah kita akan mengujinya? Kalau memang umat Islam,
ulama dan sejarawan Muslim, memiliki metodologi yang khas; seperti apakah?
Benarkah sejarawan Muslim memiliki metodologi atau epistemologi yang khas Islam?
Sepanjang penelusuruan saya dalam khazanah
intelektual Islam, khususnya teologi, tasawuf falsafi, dan filsafat;
ujung-ujungnya ada pengaruh dari khazanah kebudayaan luar Islam. Terutama
ketika gencarnya proyek penerjemahan, penyalinanan, dan membuat karya yang
dipesan penguasa, serta diskusi antar ulama. Tidak disangkal dalam karya-karya
para ulama atau ilmuwan Islam terdahulu ada pengaruh pemikiran luar Islam. Contohnya,
pada ushul fiqih sangat kentara pengaruh logika Aristoteles dalam cara-cara
pengambil kesimpulan.
Bahkan, Ibnu Khaldun yang digembar-gemborkan
“Bapak Sejarah” pun gaya penulisannya tidak murni dari kreativitasnya. Mungkin
pengaruh metodologi hadits dan pembelaan teologi serta keberpihakkan pada
penguasa lebih dominan dalam karyanya. Untuk menguji karya Ibnu Khaldun
harusnya dengan sebuah “otoritas” yang benar-benar diakui semua sejarawan atau
yang bersifat universal. Dan ini sangat sulit karena semua karya sejarah
terjebak pada subjektivitas dan relativitas kebenaran. Sejarah Islam pascawafat
Rasulullah saw pun tidak lepas dari subjektivitas mazhab dan aliran politik
para penulis sejarahnya. Apalagi para penulis sejarah Islam dari Barat, pasti
lebih subjektif dan dominan deislamisasi ketimbang kejujurannya.
Bagaimana dengan sejarah Islam masa
Rasulullah saw; adakah alat ujinya sehingga sejarah Nabi Muhammad saw bebas
diri distorsi sejarah? Saya kira upaya mengkaji
Sirah Nabawiyah secara kritis telah dimulai oleh Muhammad Husain
Haekal yang menulis buku Sejarah Hidup Muhammad (diterjemahkan oleh Ali
Audah dan diterbitkan Litera Antar Nusa, 1995); Ja`far Subhani dengan karyanya The
Message (terbitan Foreign Departement of Be`that Foundation, 1984); Ja`far Murtadha Amili dengan menulis kitab Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw;
dan Jalaluddin Rakhmat yang menguji sejarah Rasulullah saw melalui analisa
hadits yang diuji dengan al-Quran. Kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam buku
Al-Mushthafa: Studi Kritis Historis Nabi Saw (diterbitkan Muthahhari
Press secara terbatas dan diterbitkan ulang dengan judul Al-Mushthafa:
Manusia Pilihan yang Disucikan oleh
Penerbit Simbiosa pada Mei 2008).
Dalam buku Al-Mushthafa, Kang
Jalal—penggilan Jalaluddin Rakhmat—secara khusus menulis kritik terhadap
hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan hal-hal
yang berkaitan dengan sosok Muhammad dan nubuwwah Rasulullah saw.
Dalam upaya itu, Kang Jalal menggunakan tiga
tahap. Pertama, mengujinya dengan
doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak
mulia. Kedua, mempertemukan riwayat
Nabi Muhammad saw dengan pesan Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu
sesuai dengan al-Quran maka bisa diterima. Apabila tidak, wajib ditolak. Ketiga,
mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan hadits (isi/materi)
dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits. Bagian ketiga ini
dapat dikatakan menggabungkan historiografi Islam klasik dengan historiografi
moderen, termasuk ke dalamnya posmodernisme yang berkaitan dengan analisis
kekuasaan dan peranan ideologi.
Karena itu, Ustadz Jalal menolak hadits atau
fakta sejarah yang menggambarkan Nabi Muhammad saw pernah keliru dan tidak mengetahui
bahwa dirinya seorang Nabi. Begitu pun tentang peristiwa mendapatkan wahyu yang
sampai membuat Muhammad saw ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada
istrinya (Khadijah) atau bertelanjang dada, bermesraan di depan umum, hendak
bunuh diri dan lainnya, oleh Ustadz Jalal ditolak kebenarannya karena telah
merendahkan derajat Nabi Muhammad saw. Sangat tidak mungkin manusia yang
disebut berakhlak al-quran melakukan perilaku tidak terpuji dan seperti orang
bodoh.
Paradigma ini sangat ampuh dalam menjawab
keraguan-raguan terhadap muatan beberapa hadits yang dikenal selama ini.
Sebagai contoh, hadits tentang cara menanam kurma yang mashur sebagai asal-usul
atau asbabun nujul hadist yang terkenal "Antum 'alamu bi umuri
dunyaukum" yang membawa konsekuensi pemisahan antara urusan dunia dengan
urusan akhirat, dengan metode studi kritis atas hadist (Sirah Nabawiyah) patut
dipertanyakan kembali. Masa Rasulullah saw yang mulia yang dalam kehidupan
sehari-harinya aktif dalam urusan sosial dan urusan hidup sehari-hari
(berdagang, ikut berperang sejak kecil mempertahankan kabilah) tidak mengenal
cara menanam kurma? Akan sangat mengurangi kemuliaannya jika seorang Rasul
penutup para utusan Allah tidak sadar akan ucapannya yang sangat besar
implikasinya itu.
Demikian pula hadits tentang asababun nuzul
turunnya surah Al Falaq dan An Naas yang bertentangan dengan tingkat kesadaran
spiritual Nabi saw (sehingga tidak mungkin seorang Nabi saw terkena sihir).
Apabila hendak menjadikan surah tersebut untuk mencegah sihir dan sejenisnya,
Allah tidak perlu merendahkan derajat Nabi saw - sampai harus terkena sihir
segala macam- sebagai asbabun nuzulnya. Banyak lagi peristiwa yang diberitakan
sejumlah hadits yang patut kita kritisi. Sejarah yang sampai kepada
kita—menurut Ustadz Jalal—terdapat yang tidak shahih karena ditulis
sesuai dengan kepentingan penguasa. Apalagi setelah Rasulullah saw wafat dan
sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan
penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah
Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan
memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw.
Memang kajian kritis Sirah Nabawiyah ini
tidak semua orang menerimanya. Sampai-sampai pihak Litbang Depag RI Pusat
mengundang Kang Jalal untuk mempertanggungjawabkan kajian kritis yang
disebarkannya dalam buku dan kajian khusus yang diselenggarakan Ikatan Jamaah
Ahlulbait Indonesia (IJABI). Tentang kajiannya di Depag RI, Kang Jalal bercerita dalam
milis:
“Saya pernah diundang oleh Litbang Departemen
Agama untuk mendiskusikan ilmu hadis Syiah dengan lebih dari 50 doktor ilmu
hadis di Yogya, yang kemudian disambung dengan dikusi yang sama di UIN Jakarta.
Saya bukan ayatullah, saya juga tidak mengambil spesialisasi hadis. Saya pikir
Depag tidak mengundang saya untuk diskusi itu dengan pikiran bahwa saya tidak
mengerti ulum al-hadits; para peserta juga menyampaikan pertanyaan kepada saya
dengan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh ahli ulumul hadits. Jika
saya, yang bukan ulama Syiah saja, bisa berdiskusi tentang ulumul hadits dan
menulis buku-buku tentang ulumul hadits (sekarang desertasi tentang sunnah shahabat
sebagai studi historiografis), bayangkan para ayatullah yang seluruh hidupnya
dipersembahkan untuk menguji keabsahan hadis.”
Pemikiran Kang Jalal tersebut, saya kira bisa
disebut metode kritik sejarah kritis untuk Sirah Nabawiyah. Meski spesifik,
tetapi bisa dikembangkan untuk menjadi alat analisa pada kajian sejarah dan
peradaban Islam sejak pasca wafat Rasulullah saw sampai sekarang. *** (Ahmad
Sahidin)