Pada 23 Juni 2012, seseorang mengirimkan email kepada saya yang bertanya tentang Islam Mazhab Syiah dan sikap kalangan Syi'ah terhadap jumhur (mayoritas) Ummat Islam, yakni kalangan Ahlussunnah. Kemudian ditanykan juga pedoman yang dipegang oleh Syi'ah sendiri dalam merealisasikan persatuan Ummat.
Saat membacanya, jujur saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Karena saya sendiri bukan seorang pengikut mazhab Syiah. Saya sampai sekarang masih membaca buku berkaitan dengan mazhab-mazhab Islam.
Menurut Imam Jafar Shadiq,
seorang keturunan Rasulullah saw yang disebut tokoh Syiah, bahwa seseorang
disebut Syiah kalau dia paling saleh di antara yang saleh; paling bagus
akhlaknya dari orang yang berakhlak. Saya kira sangat susah kalau mengikuti
mazhab dengan standar yang disebutkan Imam Jafar tersebut. Mungkin hanya
beberapa gelintir orang yang dapat masuk
di dalamnya.
Namun… bagi saya tidak terlalu
penting untuk memasuki mazhab. Yang terpenting bagi saya bagaimana dalam
menjalankan Islam dalam keseharian; sudahkah sesuai dengan tuntunan Quran dan
Sunnah Nabawiyyah? Apakah kita keluar dari "rambu-rambu" keduanya?
Apa kontribusi kita bagi negara, umat manusia, dan peradaban? Ini saya kira
yang penting sekarang ini. Tentu saja hal tersebut harus dilakukan dengan
kajian yang kritis, termasuk pada keislaman diri sendiri.
Kemundian pertanyaan:
"bagaimana sikap kalangan Syi'ah terhadap jumhur (mayoritas) Ummat Islam,
yakni kalangan Ahlussunnah? Apa pedoman yang dipegang oleh Syi'ah sendiri dalam
merealisasikan persatuan Ummat?"
Saya tidak memiliki kafasitas
dalam menjawab pertanyaan tersebut. Untuk mendapatkan jawaban tersebut
tampaknya menjadi sebuah kerja besar karena harus melakukan penelitian berupa
kuisioner terhadap orang-orang yang mengaku bermazhab Syiah. Saya sendiri belum
melakukannya. Namun dari bacaan saya, baik dari informasi berita website maupun
obrolan dengan kawan-kawan yang bermazhab Syiah, pada dasarnya mereka bersikap
positif terhadap Ahlussunah alias masih mengakui sebagai Muslim.
Memang dalam milis atau FB,
saya menemukan ada oknum orang Syiah yang kadang menyentil soal imamah atau
sikap yang kurang baik dalam membahas sahabat atau menanggapi kajian dari para
tokoh agama kalangan Wahabi (Islam
Ekstream dari Mazhab Sunni).
Kalau tidak salah beberapa
tahun ke belakang, Rahbar (Pemimpin Spiritual) Republik Islam Iran: Sayid Ali
Khamenei pernah mengeluarkan fatwa dalam tanya jawabnya bahwa tidak boleh
melakukan penghinaan terhadap simbol maupun tokoh yang "disakralkan"
oleh pengikut Ahlussunnah serta diperintahkan untuk menjalin ukhuwah.
Saya kira hal tersebut
telah dibuktikan oleh ulama-ulama Iran bersama perwakilan Islam sedunia
melakukan konferensi internasional di Amman, Jordan, yang hasilnya disebut
Risalah Amman (silakan searching di google) yang isinya jelas bahwa mereka
berupaya untuk merajut ukhuwah.
Dengan kegiatan demikian, saya
kira jelas sikap pengikut mazhab Syiah positif terhadap Ahlussunah yang memang
rindu untuk menjalin persatuan di antara sesama umat Islam.
Di Indonesia, Ustadz Jalaluddin
Rakhmat melalui IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) bekerjasama dengan
Dewan Masjid Indonesia (DMI) membentuk forum yang bernama Majelis Ukhuwah Sunni
Syiah Indonesia (MUHSIN) di Jakarta. Sebelum MUHSIN, telah muncul Deklarasi
Bogor yang ditandatangani oleh sejumlah ulama dan cendekiawan Islam Sedunia
tentang perlunya persaudaraan Islam. Terakhir, ada deklarasi Depok yang
disuarakan sejumlah ulama dan cendekiawan Islam Indonesia. Isinya sama-sama
menegakkan ukhuwah dan hidup damai meski terdapat perbedaan.
Menurut saya, rujukan yang
digunakan untuk persatuan Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Nabawiyyah. Saya
kira banyak ayat dan hadis yang menyerukan perdamaian ketimbang menyuruh untuk
mengkafirkan orang lain atau yang pahamnya beda.
Bagi saya, yang terpenting: mau
tidak, umat Islam merajut ukhuwah. Kalau punya kemauan, bisa dimulai
dengan kegiatan yang bersifat non agama seperti kegiatan sosial dan urusan
kemanusiaan. Saya melihat IJABI banyak melakukan yang demikian di Jakarta, Bandung,
dan Makassar, seperti khitanan massal dan pembagian sembako. Sedangkan
aspek teologi, bisa dikaji dengan kajian ilmiah dan dalam lembaga yang ilmiah
pula.
Kemudian sisi lain yang perlu
dikedepankan dalam urusan ukhuwah adalah mendahulukan akhlak di atas ikhtilaf
atau perbedaan pendapat (mazhab).
Saya yakin Anda setuju
bahwa perilaku baik dan mulia adalah yang utama, bahkan menjadi misi dari
turunnya Nabi Muhammad saw ke dunia. Seandainya semua umat Islam berakhlak
mulia dan saling menghormati di antara sesama manusia maka Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin akan terwujud di negeri ini.
Saya kira Anda mengetahui
bahwa perbedaan dalam agama lebih banyak dalam urusan fikih dan penafsiran dari
ajaran agama. Dari setiap penafsiran agama yang kalau diikuti banyak orang
biasanya menjadi lembaga sekte atau mazhab.
Sejarah Islam banyak
melahirkan mazhab diawali dengan munculnya tokoh yang memunculkan pendapat.
Kalau pendapat itu diterima banyak orang dan dijadikan bagian dari pedoman
dalam beragama maka menjadi mazhab seperti mazhab syafiiyah, hanbaliyah,
malikiyah, hanafiyah, jafariyah, dan lainnya. Mazhab tersebut berawal dari
tokoh pendiri mazhab tersebut seperti Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah, Imam Jafar Ash-Shadiq, dan lainnya.
Sementara Mazhab Syiah dalam
sejarah Islam berhubungan dengan politik setelah Rasulullah saw wafat.
Sedikitnya ada dua pendapat tentang asal usul Syiah. Pertama, Syiah lahir sejak
wafat Nabi Muhammad saw yang disebut dengan kelompok Ahlulbait. Mereka ini
tidak ikut serta dalam pemilihan di Saqifah Bani Saidah yang memilih Abu Bakar
sebagai penguasa setelah Rasulullah saw.
Kedua, Syiah lahir dari
peristiwa perdamaian dalam Perang Shiffin antara pasukan pemerintahan Imam Ali
bin Abi Thalib melawan pasukan pemberontak yang dipimpin Muawiyah bin Abu
Sufyan, seorang musuh yang masuk Islam ketika Rasulullah saw melakukan
penaklukan kota Makkah (futuh makkah).
Dalam sejarah Islam,
sebutan syiah melekat pula pada kelompok Muawiyah yang disebut Syiatu Muawiyah.
Karena memang dari segi bahasa, syiah artinya adalah golongan atau kelompok.
Jadi, pada masa itu orang-orang yang ikut kelompok Imam Ali bin Abi Thalib
disebut Syiatu Ali. Itulah sebabnya sampai sekarang ini kalau menyebut pengikut
Syiah itu adalah orang yang memuliakan Imam Ali bin Abi Thalib di atas para
sahabat lainnya.
Bagaimana dengan
Sunni? Nah… yang ini tinggal baca buku
sejarah Islam atau tanya kepada ahlinya. Saya sendiri sedang coba melacaknya
dari segi sejarah dan kajian teologis, khususnya hubungannya dengan ajaran
Islam yang berasal dari Rasulullah saw dan Allah. *** (Ahmad Sahidin/12 Juli
2012)