Jumat, 28 Juli 2023

Studi Historiografi: Apa dan Bagaimana?

HISTORIOGRAFI dalam ilmu sejarah kerapkali dilekatkan dengan tahap akhir dari penelitian dan pengkajian sejarah. Hampir semua sejarawan (muarikh), baik Muslim atau orientalis (Barat) ketika melakukan penelitian sejarah akan memulainya dari ketertarikan intelektual dan emosional terhadap subjek sejarah yang akan dikaji. Gumpalan tanda tanya dalam benak dan hal-hal yang menarik atau tidak dimengerti muncul kemudian menggerakan seorang peneliti atau historian (muarikh, sejarawan) untuk mengkajinya. 

Entah itu karena kebutuhan akademis maupun pragmatis, seorang sejarawan akan mencoba membuat semacam peta untuk memfokuskan kajiannya dan menyusun langkah-langkahnya. Langkah-langkah inilah yang disebut metode penelitian sejarah. Sejarawan memulainya dengan langkah pertama (heuristik): mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan subjek yang dikaji, mencari sumber yang terkait dengan kajian, dan memilah-milah mana saja yang termasuk primer dan mana saja yang termasuk sekunder. 

Proses awal dalam tahapan penelitian sejarah ini hampir mirip dengan tadwinul hadits yang dilakukan muhadis atau ulama ketika mulai menyusun hadits. Seorang muhadis bepergian ke berbagai daerah Islam dan mengumpulkan riwayat atau hadits dari sejumlah ulama yang mendapatkan hadits atau riwayat dari ulama dan guru yang termasuk dalam generasi sebelumnya: tabiit-tabiin. Sejumlah hadits atau riwayat yang berasal dari generasi tabiit-tabiin dikumpulkan, dicatat, dan dipilah-pilah: berdasarkan daerah, kabilah, keturunan (silsilah), dan kesamaan dari isi (matan). 

Proses penelusuran sumber atau bahan penulisan sejarah atau hadis memakan waktu yang lama. Kadang belasan, bahkan puluhan tahun waktu yang ditempuh seorang sejarawan. Juga tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Karena itu, orang-orang yang bergerak dalam penelitian sejarah dalam praktiknya melibatkan sponsor dari lembaga tertentu atau proyek pemerintah. Kecuali untuk mereka yang meneliti sejarah karena kebutuhan akademis seperti skripsi, tesis, desertasi, dan penulisan buku, biasanya mengeluarkan dana sendiri.    

Setelah merasa terkumpul dan cukup, seorang peneliti sejarah memasuki tahap kedua (kritik atau verifikasi): menguji kebenaran atas sumber yang telah didapatkan, memilah dan memilih, dan mengolahnya sebagai bahan untuk penyusunan. Dalam melakukan kritik sejarah cukup rumit pula. Apalagi menyangkut saksi sejarah yang telah meninggal dunia, atau data-data yang tidak memiliki kejelasan. 

Dosen saya, almarhumah Eva Rufaidah yang mengajar ilmu sejarah, kalau tidak salah pernah mengatakan bahwa seorang sejarawan bisa melakukan perbandingan dengan konteks sejarah yang sezaman dengan peristiwa yang dikaji yang memiliki kesamaan. Seorang penulis sejarah yang mengkaji sejarah Islam klasik bisa menelusuri konteks sosial budaya dari beberapa karya tulis sejarawan lain. Mungkin dari catatan sejarah dari orientalis atau sejarawan Barat yang menulis sejarah, yang dari segi waktu berdekatan dengan penelitian yang kita lakukan. Tentunya hal itu dilakukan sembari menimbang sumber-sumber yang berasal dari hasil penelusuran para ahli filologi, arkeologi, dan pakar dalam disiplin lainnya (kalau memang diperlukan). 

Begitu pun dalam takhrijul hadits, sebuah riwayat atau hadis harus dikritik terlebih dahulu dari segi sanad (orang yang menyampaikan): apakah termasuk jujur dan terpercaya, tidak memihak mazhab tertentu, tidak termasuk mewakili penguasa, atau memiliki jalur ilmu dan silsilah yang tidak terputus? Dalam hal ini juga kadang ada persoalan: siapa yang berhak menentukan itu semua? Adakah standarnya? Kadang dalam menentukan otoritas untuk menilai sanad atau rijal setiap ulama atau muhadis pun berbeda-beda dan tidak ada kesepakatan. 

Selesai kritik sanad, masuk pada kritik matan (isi, materi): apakah bertentangan dengan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran? Apakah bertentangan dengan perilaku Rasulullah saw yang terdapat dalam Al-Quran? Bertentangankah dengan hadits dan riwayat lainnya? Apakah hadits atau sunnah Rasulullah itu dilakukan oleh Keluarga Nabi (Ahlulbait) juga sahabat-sahabat yang dekat serta baik? Kaji juga: apakah isinya mendukung penguasa atau bersifat membela golongan atau seseorang dan cenderung menyingkirkan yang lain atau menghina yang lain?    

Kemudian bagi pengkaji hadits kontemporer, menambah dengan melacak konteks sosio-historis yang melatarbelakangi munculnya hadits atau riwayat. Kalau sudah lolos maka penulisan dapat dilakukan. Tentu corak dan pola dalam penulisan setiap ulama atau muhadis berbeda satu sama lain. Kabarnya muhadis tidak berhenti pada tahap di atas. Seorang muhadis menyerahkan kepada ulama yang dianggap berpengetahuan dan memiliki kemampuan lebih dalam agama. Kalau sudah dibaca dan tidak ditemukan cacat maka berakhir proses tadwinul hadits. 

Kembali kepada penelitian sejarah. Apabila sudah terpilih dari hasil kritik atau verifikasi sejarah maka masuk langkah ketiga (interpretasi): menerangkan dan menguraikan sejarah dengan pola yang disusun berdasarkan sumber-sumber yang sudah lolos kritik sejarah. Apabila merasa kurang dalam pemaparan bisa dibantu dengan penjelasan dari berbagai disiplin ilmu yang menunjang dalam subjek kajian atau penelitian sejarah. 

Seorang sejarawan kemudian memasuki tahap keempat (historiografi): menuliskannya dengan bentuk dan pola tulisan yang disusun sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul di awal. Proses dalam interpretasi dan historiografi inilah yang tidak lepas dari unsur subjektivitas sejarah dan setiap sejarawan akan berbeda dalam corak dan pola penulisannya. Perbedaan tersebut dipengaruhi pemikiran, latar belakang budaya dan pendidikan, dan jiwa zaman yang sedang melingkupinya. Tentunya unsur subjektivitas dari pribadi sejarawan atau sponsor akan ada dalam tulisan sejarah. Tidak bisa diingkari, semua yang berkaitan dengan manusia pasti subjektif.   

Kalau demikian di mana letak objetivitas sejarah? Pakar sejarah ternama: Louis Gottshalk dalam bukunya yang berjudul Mengerti Sejarah  (UI Press, 1985) menyebutkan, “Dalam batas-batas tertentu metode sejarah adalah (bersifat) ilmiah, yakni hasilnya harus dapat diverifikasi dan dapat disetujui atau ditolak oleh para ahli” (halaman 5). Masih menurut Gottshalk, untuk membuktikan keilmiahan dalam penelitian sejarah, “ yang (harus) mereka lakukan adalah membuktikan kebenaran fakta tunggal atau rangkaian-rangkaian fakta” (halaman 5). Kalau itu sudah dilakukan dengan argumen yang sulit dibantah dan rasional serta emperis kemudian diterima pada level akademis (yang menguji) maka termasuk kategori ilmiah. 

Berdasarkan dalam metode penelitian sejarah, historiografi termasuk tahap akhir. Dalam kajian sejarah, khususnya di perkuliahan, kajian historiografi masuk dalam ranah filsafat sejarah: babak sejarah (periodesasi), alur atau pola, faktor atau penggerak perubahan, dan tujuan sejarah. Untuk bagian yang bersifat filosofis dikaji dalam filsafat sejarah dengan mengkaji setiap tokoh, baik dari Islam maupun lainnya. Sedangkan pola penulisan dan hal-hal yang mempengaruhinya, alur dan periodesasi sejarah, dikaji dari buku ke buku (sejarah) yang sudah dinyatakan sebagai karya (ilmiah) sejarah. 

Dari kajian tersebut akan diketahui pola dan periodesasi, kecenderungan, dan mencoba mengungkap hal-hal yang melatar belakangi seorang sejarawan menuliskannya demikian. Kajian ini khusus dalam studi historiografi. 

Di Indonesia kini sudah ada karya ilmiah (desertasi) yang mengkaji sejarah berdasarkan studi historiografi, yaitu buku Sahabat Nabi karya Dr Fuad Jabali. Kemudian Dr Jalaluddin Rakhmat yang mengambil doctor research di Sekolah Pascasarjana UIN Alauddin Makassar dengan judul Asal Usul Sunnah Sahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri. Tesis saya pun terkait dengan historiografi (buku) Sirah Nabawiyyah di Indonesia. Bisa dibaca di Perpustakaan Pascasarjana UIN SGD Bandung. *** (ahmad sahidin)