Selasa, 18 Juli 2023

Sang Nabi Pilihan

HAMPIR semua umat Islam mengetahui sosok Sang Nabi Muhammad SAW yang menjadi pembawa ajaran Islam. Dari murid sekolah dasar sampai perguruan tinggi pasti telah mengetahui, meskipun hanya sekadar kata orang atau membaca buku. 

Siapakah ia? Benar, beliau bernama Muhammad. Ayahnya bernama Abdullah, ibunya Aminah, dan kakeknya Abdul Muthalib. Kalau dilacak silsilahnya menyambung dan termasuk keturunan Nabi Ibrahim as dari jalur Nabi Ismail as. 

Sang Nabi terakhir ini lahir di daerah Suqulail, kaki Gunung Qubaisyi, Makkah, pada waktu fajar, Jumat, 17 Rabiul Awwal tahun Gajah atau 8 Juni 570 Masehi. Sang Nabi wafat—setelah sebelumnya mengalami sakit berat akibat racun—pada 28 Shafar 11 Hijriah atau 24 Mei 632 Masehi. Pendapat ini diakui lebih kuat oleh sejarawan Muslim modern: Jafar Subhani, dalam bukunya Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Penerbit Lentera, Jakarta, 2006; h.100). 

Namun, sebagian umat Islam meyakini lahir dan wafat Nabi Muhammad saw jatuh pada Senin, 12 Rabiul Awwal. Mereka menjadikan hari lahirnya sebagai puasa sunah. Kalau melihat buku fikih karya Ibn Rusyd yang berjudul Bidayatul Mujtahid, puasa hari senin dan kamis justru derajat hadisnya lemah ketimbang puasa tiga hari tengah setiap bulan hijriah (yaumul bidh: 13,14, dan 15).  

Anehnya, mereka hanya merayakan hari lahir Sang Nabi tanpa memperingati hari wafatnya yang sama-sama jatuh pada tanggal dan bulan yang sama: 12 Rabiul Awwal. Tentang riwayat ini, saya belum menemukan data yang benar dan sahih secara kajian historis. Kalau memang benar demikian datanya, menurut saya, hari lahir dan wafat Nabi Muhammad saw merupakan momen penting bagi umat Islam. 

Menurut saya, hari lahir Sang Nabi dapat dimaknai sebagai momentum kebangkitan kesadaran, pencerahan, dan pembebasan umat manusia dari budaya jahiliah. Sedangkan hari wafat Sang Nabi dapat dimaknai momentum refleksi sekaligus peringatan bagi umat Islam untuk berupaya menjadi “manusia utuh” dengan bekal teladan Sang Nabi. 

Dengan mengenang hari wafat Sang Nabi, umat Islam dapat menyadari betapa singkatnya hidup di dunia dan perlunya melakukan perubahan yang mendasar dan bermanfaat bagi masyarakat. Memang akan terasa janggal kalau dalam sehari dua perayaan: pagi bahagia dan sore menangis. 

Al-Mushthafa

Nama Rasulullah saw sebetulnya banyak. Yang paling dikenal oleh umat Islam adalah Muhammad. Dalam Al-Quran disebut Ahmad. Kemudian kata Yaasin, Thaha, dan Mushthafa merujuk pada sosok manusia agung Rasulullah saw. Kadang panggilan kepada Rasulullah saw juga dilekat pada putranya, seperti Abu Qasim, Abu Ibrahim, dan Abu Fathimah. Panggilan ini biasanya digunakan para sufi ketika memanjatkan doa tawasul kepada Rasulullah saw. 

Namun, yang paling terkenal dari gelaran adalah Al-Mushthafa. Al-Mushthafa artinya manusia pilihan yang disucikan. Dalam sejarah diketahui bahwa kepada Al-Mushthafa, Al-Quran turun dari Allah dan melaluinya manusia diberi petunjuk agar meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.   

Sebagaimana disebutkan dalam hadis, Rasulullah saw merupakan kota ilmu (Madinatul Ilmi) yang berarti tempat merujuk dalam berbagai hal. Setiap orang yang beragama Islam akan dipastikan merujuk kepadanya. Mereka yang tidak merujuk dan meneladani Rasulullah saw dipastikan hanya sekadar mengaku-ngaku semata.

Namun, untuk memasukinya harus melalui pintunya—yang disebutkan oleh Rasulullah saaw—yaitu Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. Melaluinya ilmu-ilmu keislaman mengalir kepada keturunannya. Dari mereka petunjuk hidup, kebenaran, dan kebahagiaan yang hakiki didapatkan. 

Namun sayang, sejarah yang ditulis tidak mengabarkannya. Alih-alih mendapatkan pencerahan, malah menenggelamkan dalam kerumitan dan masalah yang tdak kunjung selesai. 

Berbagai konflik akibat beda tafsir merebak. Konflik karena perebutan kursi kepemimpinan berakhir dengan pertumpahan darah. Bahkan, tidak sedikit orang yang hanya karena sedikit mengetahui agama berani membuat fatwa, berani memberikan nasihat, berani memberikan mandat, dan berani menyebut orang yang tidak sama dalam pemahaman sebagai zindik atau murtad. 

Di tengah kondisi demikian tidak banyak orang yang mengetahui kepada siapa harus merujuk dan bersandar. Masing-masing orang mengaku bersandar kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, dalam pemahaman dan pengamalannya malah menjauh dari sumber tersebut. Kembali berbeda dan bersitegang. 

Sepanjang sejarah, mereka berebut untuk disebut ‘paling benar’, tetapi melupakan ‘otoritas’ pemegang kebenaran. Mereka lupa kepada ‘pintu ilmu’ dan penjaganya. Ahlu Bait Nabi Muhammad saw dilupakan. Tinta sejarah tidak menorehkannya karena takut. Buku-buku tidak memuatnya karena takut dengan akibatnya. 

Sekarang, masihkah orang-orang takut untuk kembali merujuk kepada sang pemegang otoritas? Masihkah harus terus disembunyikan? *** (ahmad sahidin)