Masih ingat kasus terbunuhnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia? Munti binti Bani namanya. Seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT) asal Demak, Indonesia, yang meninggal akibat dianiaya majikannya di Malaysia. Pihak DPR RI memperlihatkan keberpihakkannya dengan meminta Pemerintah Malaysia bertindak tegas terhadap para majikan yang bersikap semena-mena terhadap para pekerjanya, terlebih sampai menyebabkan hilangnya nyawa. Memang beralan hal itu dilontarkan karena kasus penganiayaan terhadap TKI sudah berulang kali terjadi. Karena itu, kalau tidak ada keseriusan untuk menuntaskan makan akan menguap seperti kasus-kasus sebelumnya. Bahkan, kasus trafficking pun tidak pernah tuntas.
Memang harus diakui bahwa data trafficking di negeri kita meningkat dari tahun ke tahun. Sebagaimana dilansir detikcom, pada 2004 terdapat 76 kasus, 2005 terdapat 71 kasus, 2006 terdapat 86 kasus, dan melonjak dua kali lipat menjadi 177 kasus pada 2007 dan serta 88 kasus pada 2008. Entah sekarang mungkin sudah bertambah atau berkurang?
“Sold: Kenapa Aku Dijual?”
Persoalan
trafficking tidak akan pernah
diketahui kalau tidak ada yang berani bicara atau melaporkan betapa
menderitanya orang-orang yang menjadi korban kasus trafficking. Dalam media cetak dan online banyak dikisahkan
kejadian dan akibat yang diderita oleh mereka yang terkena kasus tersebut.
Bahkan, peristiwa trafficking di
Birmingham, Inggris, dikisahkan dalam bentuk buku oleh korbannya dengan judul:
“Sold: Kenapa Aku Dijual?”; yang diterjemahkan dan diterbitkan Madanisa
(imprint Salamadani Publishing) pada April 2008.
Secara
garis besar buku ini mengisahkan perjalanan hidup Zana Muhsen dan adiknya,
Nadia Muhsen, berumur 15 dan 14 tahun, yang diiming-imingi liburan gratis ke luar
negeri oleh ayahnya. Betapa bahagianya
kedua gadis ini mendengar tawaran ayahnya. Tanpa berpikir dua kali, mereka
mengiyakan. Akan tetapi, betapa terkejutnya Zana dan Nadia setelah mengetahui
bahwa ayah mereka telah berbohong. “Liburan” yang mereka “nikmati” ternyata
sebenarnya adalah dinikahkan dengan laki-laki keturunan Yaman. Dengan bahasa lain,
keduanya dijual oleh ayahya. Dari sinilah penderitaan dan kekerasan itu mulai
terjadi. Keterkungkungan, tamparan, pukulan, hingga kerja paksa merupakan
makanannya sehari-hari. Mereka dipaksa bekerja siang-malam, berjalan sejauh
satu mil setiap hari untuk membawa air ke rumah, atau bercocok tanam di tanah
yang tandus, hanya dengan menggunakan sebuah sendok semen atau belati, tahun
demi tahun. Tanpa terus melupakan tanah kelahirannya, Birmingham, Inggris, Zana
terus berusaha sekuat tenaga mencari jalan keluar untuk lari dari sana. Dengan
upaya keras dan bantuan pihak lain, akhirnya Zana Muhsen bisa keluar kemudian
dikisahkannya dalam buku “Sold”
dengan bantuan Andrew Crofts, seorang ghostwriter
kenamaan Inggris.
Luar
biasa, begitu terbit buku“Sold” ini
langsung diburu pembaca sehingga dikategorikan bestseller international book. Pasti, membaca buku “Sold: Kenapa Aku Dijual?” akan lebih
paham dan mengerti bahwa ternyata bukan Indonesia saja yang punya kasus trafficking.
“Galaksi Kinanthi”
Masalah trafficking dalam buku “Sold: Kenapa Aku Dijual?” sedikit
dibahas dalam novel “Galaksi Kinanthi: Sekali
Mencintai Sudah itu Mati“ pada hal 228-234 oleh Prof.Kinanthi Hope, tokoh
utama dalam novel yang sudah cetak dua kali dalam waktu dua pekan sejak terbit pada
Januari dan Februari 2009.
Novel
yang diterbitkan Salamadani ini mengisahkan tentang sosok gadis desa yang
bernama Kinanthi
dan lahir dari keluarga miskin harus menjalani kehidupan yang berat. Bapaknya
yang seorang penjudi dan ibunya yang dijuluki baulawean membuatnya dikucilkan
oleh penduduk dusun tempat tinggalnya. Hanya Ajuj yang tetap perhatian kepadanya.
Setelah lulus SD, Kinanthi dijual oleh orangtuanya seharga 50 kg beras kepada
seorang juragan beras. Mulailah Kinanthi menjalani hari-hari yang berat sebagai
pembantu rumah tangga. Terlebih ketika berada di negeri Arab. Diperlakukan
seperti budak, gaji tak dibayar, pelecehan oleh majikan laki-laki, dan berbagai
penyiksaan lainnya. Lengkaplah sudah penderitaannya. Apalagi, dia makin
terpisah jauh dari Ajuj. Hanya satu yang selalu dia lihat untuk mengenang Ajuj:
di bawah rasi bintang gubuk penceng, ada galaksi rahasia, namanya galaksi
cinta. Galaksi itu yang selalu dilihat Kinanthi jika dia rindu pada Ajuj.
Sampai takdir membawanya ke Amerika dan diselamatkan oleh hukum negara itu. Bahkan,
Kinanthi sampai menjadi seorang guru besar.
Kinanthi kemudian kembali
ke kampung halamannya dengan segala kesuksesan di tangan. Namun, perbedaan yang
begitu jauh dengan Ajuj membuatnya ragu untuk menemuinya. Kinanthi menganggap
Ajuj sudah melupakannya. Buktinya, 113 surat yang dikirim Kinanthi kepada Ajuj
tak pernah berbalas. Kinanthi tak pernah tahu kalo Ajuj pun selalu berusaha
mencari Kinanthi. Ajuj mengejar Kinanthi ke Bandung dan Jakarta selama 10
tahun.
Menurut penulisnya,
Tasaro GK, novel “Galaksi Kinanthi” bersumber dari kisah nyata seorang gadis
Indonesia yang kini hidup di luar negeri dan kehidupan desa Gunung Kidul. Yang
menarik, dalam novel ini pada bagian akhir buku menawarkan lokasi wisata di
kawasan Gunung Kidul, berupa laut dan keindahannya.
Hmm… Tasaro GK
memang piawai meramu kisah nyata menjadi fiksi dan mempromosikan tanah
kelahirannya. Kabarnya, novel buah karya ayah dari Senadika Himada ini akan
cetak ulang ketiga pada pertengahan Oktober 2009.
Mengapa terjadi trafficking?
Mengapa
terjadi trafficking? Beberapa faktor yang kerap menjadi tudingan adalah
kemiskinan, kebodohan, ketidakbecusan mengelola tenaga kerja, tergiur
pendapatan besar ketimbang di daerahnya, dan lainnya.
N.Syamsuddin
Ch Haesy, penulis buku “Indigostar”, “Platinum Track”, dan “Cawandatu Di Timur Matahari” yang
diterbitkan Salamadani pada Juli 2009 mengatakan dalam facebook bahwa “persoalan trafficking tak akan terjadi bila kita
berkomitmen terhadap upaya: memberdayakan masyarakat miskin dan kaum
mustadh'afin.”
Saya
kira pendapat Bang Sem—sapaan N.Syamsuddin Ch Haesy—menyentuh sumber yang
menjadi akar persoalan trafficking
dan masalah sosial lainnya di Indonesia. Kesadaran untuk peduli terhadap dhu`afa, kemiskinan, dan korban bencana
alam, tampaknya harus ditumbuhkan. Kaum intelektual, ulama, ustadz, pastur,
pendeta, mahasiswa, pejabat, dan masyarakat biasa pun semestinya ikut berperan
dan berkontribusi untuk memecahkannya. Semoga saja kasus-kasus trafficking di jagad dunia semakin berkurang (kalau tidak
bisa dihentikan). *** (ahmad sahidin)