Sabtu, 03 Desember 2022

Membaca Sejarah dengan Perspektif Mansuriyah

SAYA mengenal sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) saat mengikuti kuliah pengantar ilmu sejarah di jurusan sejarah peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Kemudian juga beberapa kali bertemu dalam forum diskusi, khususnya pada bedah buku “Api Sejarah” jilid satu dan jilid dua yang kini termasuk buku bestseller. 

Dari uraian-uraian AMS, khususnya dalam proses kreatif (historiografi) yang kemudian dituangkan pada buku ini, bahwa meluruskan sejarah itu rumit. Mengapa demikian? Karena sejarah seringkali ditulis untuk kepentingan politik sekaligus menunjang ideologi tertentu. 

Oleh karena itu, seorang sejarawan “sejati” yang mengabdi pada kebenaran akan mampu melihat fakta sejarah tidak seperti fakta yang mati. Saya melihat hal itulah yang dilakukan AMS dalam menulis buku Api Sejarah, yang tidak banyak dilakukan para sejarawan akademis yang lebih bangga dan mengandalkan metodologi sejarah Barat yang tidak dapat membaca hakikat dibalik fakta. Dan, AMS dengan kecerdasan hermeneutis mampu menangkap berbagai fenomena dan zeitgeist (jiwa zaman) dari sumber-sumber sejarah yang digunakannya sehingga karyanya terasa renyah dibaca dan mudah dipahami serta tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami perkembangan sejarah Indonesia dan kontribusi umat Islam (ulama dan santri) sejak pra kemerdekaan hingga sekarang.   

Bahkan dalam Api Sejarah jilid satu, AMS dengan tanpa takut membongkar kezaliman kaum nasionalis dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik  Indonesia, penghilangan jejak peran ulama dan organisasi Islam, dan menyajikan fakta perselingkuhan kaum priyayi dengan penjajah Belanda, serta tentang penghinaan terhadap Rasulullah saw yang dilakukan Partai Indonesia Raja (Parindra) pimpinan Dr.Soetomo dengan menurunkan artikel di Madjalah Bangoen, 15 Oktober 1937. Jadi, penghinaan yang muncul belakangan ini terhadap Kanjeng Rasulullah saw, pernah pula dilakukan tokoh-tokoh bangsa terdahulu. 

Begitu juga dengan buku jilid dua ini. AMS melanjutkan bahasan yang tertunda pada buku Api Sejarah jilid satu dengan uraian lebih lunak dan tidak begitu tajam dalam melakukan gugatan-gugatan sejarahnya. Seolah-olah AMS hendak memberikan ruang interpretasi bagi pembaca sehingga dapat menyimpulkan sendiri tentang keterlibatan umat Islam dan peristiwa politik pada era Orde Baru hingga Reformasi. Hal ini dapat dilihat pada setiap bab seperti bahasan ulama dan peranannya dalam pembangunan organisasi militer Indonesia, gerakan protes sosial, penegakkan dan upaya mempertahankan proklamasi kemerdekaan, dan langkah penyesuaian ulama dan santri dengan pemerintah. 

Berbeda dengan buku kesatu, AMS pada jilid dua mampu menyajikan kondisi bangsa Indonesia dengan lebih “hidup”--karena menggunakan berbagai sumber foto dan gambar yang ditafsirkan dengan pendekatan ideologis dan interpretasi simbolik--sehingga rekonstruksi sejarah Indonesia modern tidak monoton. 

Dilihat dari ilmu kesejarahan, AMS memusatkan bahasannya pada tiga elemen sejarah, yaitu gagasan, peristiwa, dan tokoh. Mengenai gagasan, terlihat dari beberapa judul subbab yang ditulis berdasarkan pada kondisi ketika ulama atau tokoh agama tersebut memiliki peran dalam pemerintahan yang sedang manggung. Sementara pada peristiwa, AMS pandai memilih kejadian-kejadian penting yang berkaitan dengan Islam dan ditambah dengan tokoh-tokoh Islam (ulama) ternama yang dihadirkan dengan biografi singkat serta sumbangsihnya sehingga terasa kuat rekonstruksi sejarah Indonesia versi Islam. Pengkhususan ulama dan santri beserta peranannya inilah yang belum dilakukan para sejarawan Indonesia lainnya. Sartono Kartodirjo dan Nugroho Notosusanto yang lebih bercorak nasionalis dan kering dalam penyajian bahasanya.     

Apalagi kalau dibandingkan dengan buku Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer atau kumpulan artikel sejarah yang ditulis sejarawan Onghokham atau Asvi Warman Adam, akan sangat terasa bedanya karena Api Sejarah memiliki gaya penulisan dan teknik tersendiri. Karena itu, tidak salah jika Dr.Mumuh Muhsin Zakaria, dosen sejarah di Pascasarjana UNPAD dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dalam sebuah diskusi menyebut AMS sebagai “mujtahid” dan model penulisannya (historiografi) layak disebut mazhab mansuriyah karena menggabungkan metodologi ilmiah dan spiritual yang bersifat meta-historis. Gagasan integrasi ilmu sejarah (yang positivistik) dengan agama ini yang dimunculkan AMS dalam setiap interpretasinya. 

“Saya melakukan puasa dan shalat sebelum menyusun dan menulis. Setiap saya disodorkan pada peristiwa sejarah, pikiran dan hati saya menggerakkan pena untuk menuliskan apa yang ada dibenak berkaitan dengan peristiwa sejarah yang saya bahas,” aku AMS dalam sebuah diskusi. 

Proses kreatif AMS tersebut memang bukan hal yang aneh dalam khazanah peradaban Islam. Ibnu Sina, filsuf dan dokter ternama ini, melakukan shalat dua rakaat sebelum menulis; atau Suhrawardi Al-Maqtul yang melakukan tazkiyatun nafs sembari terus mengkaji buku-buku filsafat yang kemudian dalam proses kreatifnya mampu melihat rahasia yang terdapat dibalik fenomena dan memahami apa-apa yang dilihatnya serta yang seharusnya dilihat. Ia tidak perlu bersusah payah memahami fenomena, tetapi justru fenomena itu sendiri yang hadir mengabarkan kepadanya (knowledge by presence). Pengetahuan itulah yang kemudian menjadi salah satu aliran filsafat Islam, yaitu hikmah isyraqiyah; yang kini banyak dipelajari di Barat karena membuka informasi tentang cahaya dan ilmu fisika modern. Ada juga sosok Mulla Shadra yang memberikan kritik pada hikmah isyraqiyah. Anehnya, dari sikap kritis tersebut (bukannya menjadi runtuh) malah menghasilkan pengetahuan baru yang disebut hikmah muta`aliyah. Sampai sekarang karya-karya Ibnu Sina, Suhrawadi, dan Mulla Shadra, belum ada yang menandingi dan monumental (lintas zaman), bahkan dipelajari para sarjana Barat. Alih-alih kita bangga dengan Barat, padahal mereka mendapatkannya dari ulama dan ilmuwan Muslim terdahulu. 

Berkaitan dengan Api Sejarah, memang harus disayangkan karena AMS pada kedua bukunya tidak menyajikan informasi proses kreatif yang berkaitan dengan ilmu sejarah, metodologi, interpretasi, historiografi, dan filsafat sejarah yang digunakannya. Padahal, dengan penjelasan proses kreatif itulah yang nantinya menjadi pertanggungjawaban intelektual AMS atas karyanya yang banyak menuai kritik dari akademisi sejarah. 

Terakhir, saya sebagai pembaca merasa kagum dengan karya AMS ini karena terbukti masyarakat Indonesia masih merindukan kebenaran. Jadi, kalau dibilang sejarah itu sesuatu yang tidak laku atau langka diminati; dengan hadirnya buku yang pada awal 2010 mendapat penghargaan sebagai karya nonfiksi dewasa terbaik versi IKAPI DKI Jakarta, terbantahkan. 

Perlu diakui, hadirnya buku ini telah membuka wawasan msyarakat Indonesia bahwa sejarah Indonesia perlu disikapi secara kritis. Bahkan, termasuk sejarah Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam sekarang pun untuk dikaji secara kritis sehingga kebenaran-kebenaran sejarah hadir dan menginspirasi langkah dan gerak kehidupan kita di masa depan. Sudahkah kita bersikap kritis terhadap sejarah? Tampaknya harus segera dimulai dengan membaca buku Api Sejarah ini. *** (ahmad sahidin)  

(artikel pernah dimuat pada HU Pikiran Rakyat, 12 Juli 2010)