Minggu, 04 Desember 2022

Api Sejarah, Bukan Karya Epigon

KAMIS, 24 Juni 2010 pagi di Ruang Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Jalan Soekarno Hatta Bandung, buku Api Sejarah (jilid dua) karya Ahmad Mansur Suryanegara kembali diperbincangkan. 

Pada diskusi kali ini hadir Prof.Dr.H.Dadang Supardan, M.Pd, seorang ketua jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, yang juga pengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia. 

Seperti biasa, panitia menunjuk saya untuk menjadi moderator. Diskusi tanpa pembacaan ayat al-Quran dan sambutan ini dimulai pukul 09.30 hingga zuhur. Meskipun tidak sebanyak audiens saat diskusi buku Api Sejarah (jilid satu) di Pikiran Rakyat pada tahun lalu, diskusinya berlangsung hangat dan saling serang argumen. 

Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang menjadi pembicara pertama menguraikan konteks isi buku secara gamblang dan runtut. Bahkan, pemboman dengan bom atom terhadap Jepang dan implikasinya pada negsra Indonesia pun dibahas secara detail. 

Sambil berguyon, AMS menguraikan secara runtut dimulai dari pembahasan peran ulama dalam pembangunan organisasi militer modern, peran ulama dalam gerakan protes sosial dan pemberontakan tentara pembela tanah air, peran ulama dalam menegakkan dan mempertahankan proklamasi, peran ulama menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan langkah penyesuaian ulama dan santri era Orde Baru dan Reformasi. 

Bahkan, beberapa foto yang dimuat dalam buku dijelaskan dengan latarbelakang sejarahnya sehingga menjadi sumber yang hidup. 

AMS juga menyebutkan beberapa orang yang dianggap berperan dalam terbitnya buku seperti Mira Safira dan Bambang Trim dari Salamdani Publishing serta para ulama yang mendukung penulisan sejarah Indonesia. 

Menginterogasi Teks

Kemudian pembicaraan beralih kepada Prof. Dr. Dadang Supardan, M.Pd. Menurut Dadang Supardan, menulis sejarah nasional tidak sekadar merupakan aktivitas akademik, tetapi juga politik karena menyangkut legitimasi pemegang kekuasaan, siapa korban, siapa penjahat dan lainnya. Oleh karena itu, penulisan sejarah harus meretas batas-batas persekolahan, mampu masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. 

Dadang melihat buku AMS terdapat paradoks sekaligus memiliki gagasan originalitas sehingga menjadi seorang epigon yang mengekor kepada orang lain. 

”Pak Mansur dalam bukunya berupaya mengembangkan kesadaran sejarah,” kata Dadang. 

Selain original, karya AMS ini juga memiliki keunggulan.  Di antaranya telah mengangkat ulama dan santri dalanm perjalanan sejarah Indonesia serta mudah dipahami pembaca awam sekali pun. 

”Dari segi metodologi dan struktur keilmuan, AMS menggunkan model relasi unik dan kompleks tentang fakta, konsep, generalisasi, dan kreatif sehingga menjadikan narasi indah dan berisi. Intinya, ditinjau dari aspek krerativitas buku ini menampakkan unsur originalitas yang tinggi,” tambahnya. 

Sebagai pengajar dan akademisi sejarah, Dadang mengkhawatirkan terhadap fallacy of presentism yang terdapat pada halaman 2-3  tentang pemusnahan manusia Jepang oleh Yahudi. 

”Kita harus mempertanyakan, apakah betul pertimbangan dibomnya Hirosyima dan Nagasaki semata-mata karena jauh dari Eropa dan Amerika, bukan karena bahaya fasisme-militerisme Jepang? Jangan-jangan hanya anggapan penulis setelah menguatnya rivalitas Yahudi Barat versus Islam yang diteorikan Huntington. Kemudian pada halaman 4 dan 11 tentang PKI yang tidak ada tempat, bahkan BO, Parindra, Gerindo, Parpindo, dinyatakan anti Islam. Terlalu mudah menggeneralisir seperti ini,” tegas Dadang. 

Kehawatiran lainnya adalah didactic fallacy pada halaman 2-3 yang lebih menonjolkan interpretasi AMS dan terlalu mengedepankan sikap antipati terhadap etnik Yahudi, khususnya Einstein. 

”Kajian peranan kaum ulama dan santri Indonesia pada buku AMS menjadi sulit dipahami karena overlape dengan tendensi penulis yang begitu kuat mempengaruhinya,” ujarnya. 

Hal yang disampaikan Dadang Supardan mendapat tanggapan balik pada saat ruang tanya jawab dibuka. 

“Saya tidak mengeneraslisir. Sejumlah penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw tidak dilakukan perorangan atau seorang oknum seperti Dr. Soetomo, tetapi jelas dalam rapat-rapat hal itu dilakukan sehingga menjadi suara dari partai itu,” bantahnya. 

Diskusi tambah seru dan hangat ketika audiens memprtanyakan konsep ulama dalam babak sejarah di Indonesia dan politisasi Islam pada zaman Orde Baru. Seperti biasa, AMS tidak menyerang malah menegaskan bahwa para penguasa RI justru sangat dekat dengan ulama dan membantu dalam syiar Islam. 

Tampaknya memang kian hari tambah terlihat berbagai sisi keunikan dan kekhasan dari buah karya AMS ini. Benar yang dikatakan AMS dalam halaman cover dalam bahwa ‘bila sejarawan mulai membisu maka hilanglah kebesaran masa depan negara bangsa’. 

Karena itu, kedua buku karya AMS ini penting untuk dibaca dan dikaji kembali. Sebagaimana diungkapan Bung Karno bahwa bangsa yang besar tidak akan melupakan sejarahnya dan selama ini masyarakat hanya mampu membaca abu sejarah, tidak dapat menangkap api sejarah. *** (ahmad sahidin)