Senin, 12 Desember 2022

Dikotomi Ilmu: Adakah dalam Islam?

SEORANG kawan di UIN Sunan Gunung Djati mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu. Wacana dikotomi ilmu hanya muncul dari Barat. Memang dari buku sejarah dunia, renaisance Barat menjadi bukti sejarah lahirnya gerakan sekularisme yang diawali dengan adanya konflik antara kaum gereja dan ilmuwan. Dari konflik itu kemudian lahir sekularisme. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa seorang ilmuwan Barat, waktu itu hanya berkutat dan dikenal sebagai ilmuwan semata dan biasanya anti agama (juga anti semitik).

Dalam Islam, itu tidak terjadi. Ibnu Sina, sosok ulama dan ilmuwan Muslim, ternyata juga filsuf, dokter, dan segudang keahlian lainnya. Begitu juga Al-Farabi dikenal sebagai politik dan menjadi penasihat kerajaan. Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Musa Al-Kazim, dan ulama yang berasal dari jalur Ahlubayt, memiliki kemampuan ilmu yang beragam. Mulai dari ilmu-ilmu teoritis seperti filsafat, teologi, ulumul hadits, ushul fiqh, dan tafsir Quran, juga mahir dalam ilmu-ilmu praktis seperti fiqih, etika, politik, ekonomi, pengobatan, dan lainnya. Jadi, integrasi ilmu dalam khazanah peradaban Islam terwujud dari sosok ilmuwan atau ulama-ulama terdahulu. 

Namun, sekarang ini para ilmuwan Muslim menggaungkan kembali wacana integrasi setelah sekularisme menjadi adikuasa. Sekularisme dari Barat telah merayapi Dunia Islam sehingga politik, budaya, seni, dan agama dipisahkan satu sama lain. Setelah berabad-abad diketahui bahaya dari pemisahan ilmu dan agama, kaum terpelajar Islam sadar untuk mengembalikan khazanah Islam dalam satu wadah. 

Di Indonesia, Dr.Mulyadhi Kartanegara menulis buku "Integrasi ilmu", atau Armahedi Mazhar menulis buku "Filsafat Integralisme", dan lainnya. Semangat untuk kembali pada khazanah ilmu Islam komprehensif mulai terlihat, tinggal terus digali dan disiarkan hingga menjadi bagian dari khazanah Indonesia. 

Namun, yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal adalah UIN Sunan Gunung Bandung, rektor dan timnya masih mengusung tema “Wahyu Memandu Ilmu”. Di benak mereka, ilmu dan wahyu itu bertentangan sehingga harus diislamkan. Menurut Iman Fauzi Ghifarie, seorang mahasiswa Religion Studies Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung bahwa ide tersebut hasil godokan tim intelektual UIN Bandung. Mungkin di sana terdapat Gurubesar, dosen, pejabat, dan orang-orang penting lainnya. 

Dari paradigma keilmuan UIN Sunan Gunung Djati tersebut yang digelorakan para ilmuwannya, secara sepintas telah menegaskan bahwa ada sejarah yang terputus dalam tradisi keilmuan Islam. Benarkah? Saya tidak tahu. Justru dengan paradigma keilmuan tersebut menjadi penegas bahwa UIN Sunan Gunung Bandung sedang bekiblat ke Barat. 

Mungkin tidak "pede" kalau harus merujuk ke Iran dalam mengembangkan khazanah ilmu-ilmu Islam. Padahal, seperti yang dibilang Henry Corbin dan Fazlur Rahman, Barat sudah tidak mempunyai ide atau gagasan cerdas dan bernas lagi, selain memelihara tradisi paradoksal dan dikotomi. Karena memang, dibalik itu ada "kehendak kuasa", yaitu menuntaskan sejarah (the end of history--istilah Francis Fukuyama). *** (AHMAD SAHIDIN)