Jumat, 06 September 2019

Tentang Kasus Milkul Yamin

Saya tidak tahu harus komentar apa. Hanya saja terkait dengan disertasi Milkul Yamin ini masalah ilmiah menjadi urusan MUI dan wacana publik. Saya kira problematika media dan sebarannya yang kemudian menjadi wacana. Mulai dari Kyai, Ustadz, masyarakat awam, sampai tukang becak pun ikut ngomong.

Saya kira dari kasus Milkul Yamin itu yang menjadi masalah adalah tentang ada upaya legitimasi seks tanpa nikah, khususnya untuk kalangan remaja yang marak pacaran. Tentu di luar wacana ini fenomena seks kalangan remaja tanpa nikah menjadi sesuatu yang bahaya dan perlu ditelusuri. Karena ini menjadi kasus zina dalam hukum Islam.

Sebagai orang yang bergelut dalam kajian keislaman, saya kira tafsir Al-Quran memang ranah akademik. Masyarakat kita belum masuk pada ranah akademik. Penafsiran Al-Quran banyak beredar mulai dari yang literal, kontekstual sampai yang kontroversial. Dan disertasi Abdul Aziz masuk yang terakhir dengan mengambil pemikiran dari sosok Muhammad Syahrour.

Saya kira disertasi tersebut harusnya tidak disebar di ranah publik. Kajian ilmiah mesti dikaji kembali sebelum dijadikan kebijakan publik. Dan kebijakan publik didasarkan pada pertimbangan kemanfaatan, tidak menyalahi etika, dan landasan kuat agama didasarkan dengan pernyataan resmi dari otoritas agama yang diakui semua pihak, khususnya seluruh umat Islam. Perlu juga studi banding tentang kasus sejenis di negeri Mesir, Iran, Iraq, Arab Saudi, dan negeri lainnya. Sekali lagi ini soal akademik. Mengapa MUI ikut campur sampai harus ubah disertasi bagian judul dan buang bab? 

Saya memahami dari disertasi saudara Abdul Aziz (meski belum baca naskahnya) adalah implikasinya di masyarakat. Mungkin khawatir menjadi legitimasi kaum remaja yang pacaran.

Ya, jangan sampai pemikiran Syahrour yang diangkat dalam disertasi oleh Aziz, dijadikan legitimasi bagi kalangan remaja yang pacaran untuk dapat melakukan seks bebas. *** (ahmad sahidin)