Kamis, 19 September 2019

Dahulukan Akhlaq agar Tidak Konflik Fiqih

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Aali Sayyidina Muhammad. 

Hapunten anu kasuhun ka sadaya wargi kuring. Ini kasus mungkin bisa masuk kategori tentang interaksi yang tidak harmonis dan pendidikan Agama Islam yang tidak komprehensif dalam pemahaman agama Islam. 

Ceritanya bahwa kemarin pun bojo (istri saya) mengabarkan dari temannya tentang dua anaknya bertengkar mengenai buka puasa dengan pamannya. Kejadiannya saat kumandang adzan maghrib. Pamannya mengajak dua ponakannya untuk buka puasa. Salah seorang menjawab dengan kalimat: "engke bukana mun geus poek, can waktuna ayeuna mah (nanti kalau sudah gelap, sekarang belum waktunya)".

Spontan saja marah pamannya. Kemudian bilang sesat dan menyalahkan ibu kedua anak itu yang telah menyekolahkan di lembaga yang dikabarkan mengajarkan mazhab selain Ahlusunnah. Kabarnya, yang satu anaknya belajar di pesantren dan satu lagi hauzah. Kabarnya dua lembaga tersebut berafiliasi pada mazhab Syiah Imamiyyah. 

Tidak hanya itu. Pamannya itu menyalahkan dua ponakannya yang tidak shalat tarawih dan saat shalat wajib tidak sedekap. Pamannya meminta agar kedua anak itu dipindahkan pada sekolah yang lain. 

Menurut teman istri bahwa segala sumpah serapah tentang mazhab Syiah pun diungkap. Dan terjadilah adu omong antara keponakan dan sang paman tentang mazhab tersebut. Begitu ceritanya sampai kepada saya.

Saya hanya diam. Saya ingat saat kuliah di UIN Bandung, ada matakuliah Fikih dan Ilmu Kalam. Pada dua ilmu itu diajarkan tentang macam-macam mazhab dan aliran, termasuk Syiah. Saya bilang kepada istri bahwa Ulama di Jordania, sekira ratusan orang kumpul, dan menyatakan bahwa Syiah (yang termasuk mazhab fikih Jafari) masih dalam kategori benar dan berada dalam agama Islam. Sehingga mazhab tersebut masih dibenarkan untuk dianut dan dipraktekan oleh umat Islam. Namun, di Indonesia belum banyak yang paham dengan mazhab Syiah dan masih ada yang merasa benar sendiri dalam menilai mazhab atau aliran agama. Mereka yang di luar mazhabnya, oleh orang yang fanatik akan dibilang sesat. Sehingga demikian yang terjadi pada keluarga dari teman pun bojo. Terjadilah konflik pemahaman agama. Padahal, pemahaman itu sifatnya dugaan dan tidak mutlak. Inilah masalah di negeri ini menganggap fatwa, pendapat atau kajian ulama sebagai benar dan lurus tanpa ada "sidang" ilmiah dari para ulama yang hebat di bidang keilmuan Islam. 

Saya sampaikan kepada istri bahwa segala isu mazhab Syiah sudah banyak dijelaskan dalam buku-buku sehingga terjawab dan tidak sesat seperti yang disampaikan orang yang tidak paham dengan mazhab Syiah. Para ulama dunia, terutama di Universitas Al-Azhar, Mesir, menyatakan Syiah adalah bagian dari agama Islam. 

Teman pun bojo nitip tanya: Punten kedah kumahanya? Kapungkur oge dilebetkeun pada dua lembaga tersebut alatan almarhum caroge?

Saya tidak menjawab. Entah harus jawab apa? Pun bojo menyampaikan bahwa setiap kali ada kedua anak temannya itu selalu terjadi debat dengan pamannya. Itu terjadi setiap kali liburan di rumah. Saking kesalnya, si pamannya pernah menampar salah satu anak itu. Konflik selesai saat sang kakek datang dan memarahi mereka. Kalau sudah datang kakek baru mereka tidak berantem lagi. Sang kakek tidak mempersoalkan mazhab cucu dan anaknya, yang terpenting mereka shalat tepat waktu. Itu yang dikatakan sang kakek menurut penuturan teman istri saya.  

Mungkinkah kasus tersebut bukti dari terlalu kuatnya paradigma fikih sehingga aspek akhlak terabaikan? Saya mengira itu contoh kasus untuk "mendahulukan fiqih di atas akhlak"; yang jelas berujung pada disharmonis kehidupan keluarga, yang sama-sama beragama Islam dengan mazhab yang beda. 

Paradigma Fiqih
Setahu saya bahwa paradigma fiqih cenderung mengukur segala sesuatunya dengan syariat dan hukum. Sehingga seluruh ajaran agama Islam oleh orang yang berparadigma fiqih akan dihubungkan dengan hukum wajib, sunah, makruh, haram, bid'ah, dan lainnya. Jika seseorang tidak taat dengan fiqih maka dianggap telah keluar dari ajaran Islam. Jika tak patuh dengan fatwa ulama tentang ibadah maka dianggap menyimpang. Inilah yang disebut paradigma fiqih, sehingga cenderung pada ikhtilaf dan benturan di antara para pengamal fiqih lainnya. Fiqih berujung ikhtilaf dan ikhtilaf biasanya selesai dengan sikap masing-masing. Sikap ini kadang menimbulkan "permusuhan" psikologis dan saling tidak peduli yang mengakibatkan disharmonis dalam kehidupan. 

Tengoklah Nabi Muhammad saw ketika melakukan dakwah di Makkah dan Madinah hingga akhir hidupnya, senantiasa mendahulukan akhlaq dan lebih banyak bersikap toleran. Lebih banyak dikisahkan tentang akhlaq mulia dan teladan dalam kebaikan di tengah umat Islam. Orang-orang Arab dahulu tertarik dengan ajaran Islam karena sikap akhlaq mulia yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw dalam interaksi dan kehidupannya. Mengapa ini tidak menjadi contoh dalam pendidikan dan dakwah? 

Ifthar 
Perkawis ifthar, kasus di luhur tiasa lebet perkawis kirang dina ngaji fiqih sareng panginten henteu terangeun saleresna di Syiah Imamiyah aya marja taqlid (Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah) anu nerangkeun waktos ifthar (buka puasa) sami sareng Ahlussunnah. Sanajan langit palih wetan beureum keneh, mun panon poe atos teuleum di kulon, tandaning ghurub. Eta atos lebet buka puasa. Jigana mun eta dua murangkalih diajar fiqih na lengkep, tangtos bakal tiasa ngalakonan ukhuwah teras moal dugi pasea marebutkeun bener. Tapi, keun bae, sugan janten pangajaran keur urang sadaya.

Tah, eta carita di luhur supados janten lenyepaneun keur urang sadayana. Rehna di nagari urang geuing, urang Islam benten madhab. Ngan mun henteu terang ka madhab batur janten gujrut teras bae masalah. Saena mah urang sadaya diajar agama Islam dugi ka madhab-madhab anu araheng oge kedah terang. Sangkan terang dina khazanah Islam. Tah sakitu, cag… *** (ahmad sahidin)