Selasa, 24 September 2019

Bahasa Arab dan Belajar Agama


Belajar bahasa asing, khususnya bahasa Arab bisa dikatakan harus penuh waktu dan serius. Kalau hanya paruh waktu, atau sekadar menyempatkan maka akan sangat lambat sampai pada kemampuan baca, paham, dan berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Ini yang saya alami dan rasakan.

Di kampus UIN Bandung, saya belajar bahasa Arab sekira tiga semester. Saat kuliah pun saya ambil kursus bahasa Arab pada dosen di Universitas Islam Nusantara Bandung sekira enam bulan. Maklum kuliah di jurusan sejarah dan peradaban Islam mesti merujuk pada sumber teks berbahasa Arab sehingga mengetahui tanpa melalui penafsiran dari orang lain. 

Dirujuk langsung dan dikaji dengan metodologi historis. Itu idealnya dalam belajar. Itu juga yang diinginkan saya saat kuliah. Harapan dan realitas ternyata tidak sesuai. Dan meskipun tersendat, saya bisa lulus dengan baik.

Selesai kuliah, saya pun ikut kursus bahasa Arab kepada ustad dari ormas Persis di Bandung sekira delapan bulan dan ikut kursus bahasa Arab pada sebuah instansi kajian Islam. Sekarang pun masih ikut belajar bahasa Arab (setelah sekira satu tahun jeda dari belajar bahasa Arab). Namun, sampai sekarang saya masih tidak bisa menguasai, bahkan balik lagi ke pelajaran dasar. Lupa dan susah mengingat pelajaran. 

Apalagi kalau sudah sibuk dengan urusan cari nafkah, sering lupa dengan pelajaran bahasa Arab tersebut. Saat berinteraksi dengan buku berbahasa Arab pun tidak mengerti yang dibaca. Belum sampai pada arti atau makna, teksnya saja tidak bisa dibaca.

Harus diakui bahwa pendidikan pesantren menurut saya sangat efektif dalam belajar bahasa Arab. Setiap hari dan setiap waktu interaksi dengan teks Arab dan berhubungan dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Wajar kalau lulusan pesantren bisa tahu arti dari ayat-ayat Alquran yang dibacanya dan hadis pun hafal dengan teksnya. Sehingga tinggal penyesuaian dengan aktivitas yang dijalani. Apalagi kalau aktivitas yang dijalani terkait dengan agama maka dengan mudah bisa dilakoni. Ceritanya akan lain bagi orang yang bukan lulusan pesantren. Seperti saya ini. Duh, nyesel dahulu belum sempat nyantri.

Dalam Alquran disebutkan sebagai bahasa yang jelas dan menjadi bahasa wahyu. Meski disebut dalam Alquran, tetapi tidak mudah dipelajari. Bayangkan saja dari setiap kata ada perubahan kata dan bentuknya sampai puluhan variasi. Orang yang tak kuat dalam hafalan seperti saya ini, sungguh lelah terasa dan tidak cepat mengingat lagi daras yang sudah berlalu.

Kalau bukan karena aspek pahala dalam belajar maka sudah tidak dipelajari. Kalau bukan karena Kangjeng Nabi Muhammad Saw, sudah saya tinggalkan belajar bahasa Arab. Kalau bukan karena Al-Qur'an dan berprofesi sebagai pengajar Agama Islam di sekolah, maka sudah saya tinggalkan belajar bahasa Arab. Mungkin akan beda ceritanya kalau saya beralih profesi.

Harus diakui bahasa Arab untuk kaum Muslim di Indonesia tampaknya perlu dipelajari. Di antaranya agar saat membaca teks Al-Qur'an bisa sedikit tahu artinya. Kemudian juga pada hadis (bagi orang yang bisa bahasa Arab) akan bisa mengetahui arti dari teks riwayat dan tarikh.

Kini, kesulitan dalam menerjemahkan ayat Alquran sudah bisa diatasi berupa Alquran yang dilengkapi terjemah atau Alquran digital pun sudah dilengkapi dengan terjemahan, bahkan ada asbabul nuzul dan tafsir. Juga dalam memahami hadis Rasulullah Saw kini sudah bukan personalan lagi. Ada kitab hadis yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Problematika untuk mengetahui isi teks ajaran agama, sekaligus mengambil pelajaran untuk keperluan manusia, kini bukan masalah. Tinggal mau baca dan meluangkan waktu untuk interaksi dengan buku-buku berupa terjemahan dari kitab tafsir terkait dengan Alquran. Hadis pun sudah banyak buku terjemahannya, bahkan ada syarh (penjelasan hadis).

Jadi, belajar agama tidak sulit. Bisa otodidak dengan membaca buku-buku yang berkualitas dan ditulis oleh pakarnya. Karya yang dibaca mesti dari ahlinya, jangan asal baca buku atau rujukan.

Karena itu, sebelum belajar otodidak harus datang dan konsultasi dahulu dengan tokoh keagamaan, yang piawai dalam bidangnya. Contoh untuk tafsir Alquran di Bandung bisa konsultasi kepada ahli tafsir di kampus UIN Bandung. Juga untuk bidang hadis, fiqih, dan akidah dapat konsultasi pada mereka yang punya ilmunya. Dan jelas dari pendidikannya. Orang yang dirujuk mesti berilmu, ahli dalam bidangnya, dan jejak ilmiahnya tercantum atau terbukti dari karya tulis ilmiah berupa makalah pada jurnal ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi.

Mengapa harus pada ahlinya? Ketahuilah bahwa agama dan pemahaman agama itu berbeda. Agama adalah teks suci berupa ajaran agama dalam bentuk nash atau dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. Sedangkan pemahaman agama adalah pendapat, penafsiran, dan fatwa  dari orang-orang yang berupaya mengetahui isi dan kandungan dari agama tersebut. 

Dengan kata lain, pemahaman agama adalah hasil kajian dari ajaran agama (berupa penafsiran dari dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis). Dan pemahaman agama pun sangat beragam dan sekarang sudah menjadi mazhab atau aliran di masyarakat. Karena itu, di masyarakat yang dipahami dan dipraktekkan adalah pemahaman agama.

Kini banyak buku terjemahan tentang ilmu-ilmu agama Islam berupa tafsir Alquran, hadis Nabawi, tarikh Rasulullah Saw dan tarikh umat Islam masa awal Islam di Makkah dan Madinah, kitab fiqih dengan beragam mazhab dan lainnya. Tinggal beli, baca dan diskusi dengan ahlinya saat menemukan masalah pada buku yang dibaca. Tentu datang kepada pakar dan keahliannya terbukti dari karya ilmiah dan pendidikan.

Dahulu untuk akses pada khazanah keilmuan Islam tersebut perlu bahasa Arab dan ustadz yang mengkajinya. Kemudian cukup hadir dalam majelis pengajiannya. Disimak pembicaraannya dan diamalkan. Itu saja. Pasif dan tidak aktif. Sekarang ini mestinya aktif dalam belajar agama. Dengan membaca dan menelaah buku agama yang dipelajari kemudian berdiskusi dengan ahlinya agar sampai pada makna dan cara amaliahnya.

Kini, kitab ilmu-ilmu agama Islam (yang dahulu pakai Arab gundul) bisa dibaca oleh para pembaca yang mahir brbahasa Inggris. Juga oleh orang-orang yang berbahasa Indonesia maupun daerah. Tidak perlu susah payah baca kitab gundul dan membuka kamus bahasa Arab yang tebal-tebal.

Lantas, untuk apa mempelajari bahasa Arab? Satu adalah agar bisa sendiri dan berusaha memaknai teks suci berdasarkan renungan dan pemahaman sendiri. Setidaknya dengan bisa bahasa Arab bisa lakukan cek dan ricek atas terjemahan kitab.

Dua adalah bisa dijadikan semacam tanda bahwa ia sudah masuk pada "kelas" di atas orang awam. Ini bagian yang tak boleh ada dalam hati atau terucap dari lisan.

Tiga adalah belajar bahasa Arab (meski tidak bisa saja dari kursus demi kursus) telah menunjukkan sebuah ikhtiar dalam urusan ilmu. Dengan kesusahan maka pahalanya banyak karena kesabaran dalam menunaikan kewajiban agama (yang tercantum dalam teks suci) tentang menuntut ilmu. Nah, itu saja yang bisa saya bagikan. Hatur nuhun. *** (Ahmad Sahidin)