Senin, 09 September 2019

Review buku Sejarah Lisan, Konsep, dan Metode

Book Review[1]

SEJARAH lisan, bagi saya, termasuk disiplin ilmu baru. Dahulu saat kuliah saya tidak mempelajarinya karena memang belum masuk dalam mata kuliah. Sekarang ini saya mulai mengenalnya. Guru saya, Dr Asep Ahmad Hidayat dan Dr Setia Gumilar, menyatakan sejarah lisan bagian dari metode penelitian sejarah untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu yang bersumberkan dari memory (ingatan). Sejarah yang bertumpu pada kaidah: no document, no history, dinilai kurang memuaskan sebagian peneliti dalam mengungkap dan memahami masa lalu yang tidak tertulis. Selama ini rekonstruksi sejarah masih bertumpu pada peristiwa dan tokoh besar. Sejarah identik dengan kaum elit dan istana. Sedangkan kalangan wong cilik dan kaum alit kurang muncul dalam gelanggang sejarah yang direkonstruksi para peneliti sejarah.

Sejarah terlalu luas dalam ruang dan panjang dalam rentangan waktu. Sebuah peristiwa yang dikaji, belum tentu terungkap utuh. Apalagi kalau hanya mengandalkan catatan dan laporan yang tertulis maka akan terbatas yang disajikannya. Karena itu, adanya sejarah lisan merupakan pelengkap untuk menyempurnakan rekonstruksi sejarah, khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan atau alam pikiran masyarakat dan sejarah kontemporer. Kajian tokoh dan asal usul kota yang bertumpu pada tradisi dan cerita-cerita rakyat bisa menggunakan sejarah lisan dalam proses penggalian sumbernya.

Dr Reiza D. Dienaputra[2] menulis buku Sejarah Lisan: Konsep dan Metode. Buku ini terbit tahun 2007 oleh Minor Books di Bandung. Beruntung dapat bukunya (meski berbentuk fotokopi) sehingga saya dapat mengetahui tentang sejarah lisan dan ruang lingkupnya.

Kesan saya ketika membaca, buku Sejarah Lisan ini bisa disebut rinci dalam menerangkan sejarah lisan. Dimulai dari pengertian, manfaat, kedudukan, metode, langkah praktis dalam pelaksanaan, petunjuk pengalihan dari rekaman ke tulisan, dan contoh penelitian yang menggunakan sejarah lisan.

Menurut Reiza, sejarah ada dua: objektif dan subjektif.[3] Sejarah objektif adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi satu kali dan tidak berulang, baik dari segi waktu maupun suasana dalam ruang. Ada yang mengatakan sejarah itu berulang. Pendapat ini tidak keliru hanya saja yang berulang adalah jenis peristiwa dan kejadian. Sedangkan ruang dan waktu serta suasana yang melingkupinya tidak akan pernah ada yang sama. Revolusi Indonesia terjadi sekali. Revolusi yang sejenis sebagai bentuk perlawanan kepada kolonialisme dan kehendak untuk merdeka bisa terulang di berbagai negara dan bangsa.

Sementara sejarah subjektif adalah sejarah sebagai kisah berupa hasil rekonstruksi dari peristiwa sejarah atau bangunan masa lalu yang disusun oleh peneliti (rekonstruktor) dengan melalui tahapan prosedur metode penelitian sejarah. Hasilnya berupa narasi, cerita, atau uraian yang ditulis dalam bentuk laporan (buku atau jurnal) sebagai historiografi. Sejarah dalam arti subjektif direkonstruksi dari sumber-sumber seperti tertulis (dokumen), benda (artefak), visual (gambar, lukisan, foto, dan video), dan lisan (suara). Sumber lisan meliputi tradisi lisan yang ada di lingkungan suatu masyarakat, rekaman suara berupa rekaman ceramah dan rapat atau obrolan, dan sejarah lisan.[4]  

Sejarah lisan agar bisa dijadikan sumber, sejarah lisan yang berupa suara (dari penuturan saksi dan pelaku sejarah) perlu dituliskan dalam bentuk catatan (transkripsi) dan direkam dengan alat rekam. Thucydides (460-395 SM) dianggap orang Yunani pertama yang menggunakan sumber lisan dalam rekonstruksi sejarah Perang Peloponesia dengan mewawancarai para prajurit yang terlibat perang. Karyanya diterbitkan dengan judul Histoire de la Guerre du Peloponnese (Paris: Garnier Freres, 1966). Kemudian abad 20 M, ketika sudah ditemukan alat rekam, menjadi metode modern dalam penelitian sejarah di Amerika Serikat tahun 1930.

Allan Nevins tahun 1948 mendirikan pusat sejarah lisan yang pertama di Universitas Colombia, New York, Amerika Serikat. Diikuti peneliti sejarah di Kanada, Inggris, dan Italia. Bahkan negara Malaysia, Thailand, dan Singapura merintisnya dari 1960 an. Singapura dianggap maju untuk kawasan Asia Tenggara dalam sejarah lisan karena membentuk Pusat Sejarah Lisan di Arsip Nasional Singapura. Indonesia tahun 1978 melalui Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) mulai melirik sejarah lisan untuk melengkapi kekurangan arsip Indonesia pada kurun 1942-1950.[5]

Kepedulian pada sejarah lisan yang ditunjukan di atas dapat dipahami karena sejarah memerlukan keutuhan cerita sehingga ketika direkonstruksi tampil menjadi kisah yang mendekati kebenaran (sesuai dengan langkah kerja ilmiah).

Apa itu sejarah lisan?

Sartono Kartodirdjo mendefinisikan sejarah lisan sebagai cerita-cerita tentang pengalaman kolektif (memory collective) yang disampaikan secara lisan. Karena itu, ingatan manusia menjadi penting diperhatikan dalam proses mendapatkan informasi sejarah dari pelaku maupun saksi. Memori atas kejadian yang dialami dan dilihat, yang benar-benar nyata terjadi, yang tersimpan dalam ingatan. Faktor usia dan penyakit kadang membuat orang lupa dengan pengalaman atau ingatan masa lalu. Karena itu, tugas peneliti sejarah untuk memindahkan dari memori manusia dalam bentuk rekaman atau transkripsi dari wawancara. Dalam melakukannya tentu harus sesuai dengan prosedur dalam metode sejarah lisan.

Tidak semua ingatan dan pengalaman manusia termasuk dalam sejarah lisan. Sejarah lisan—menurut Taufik Abdullah—terdiri dari tiga: sastra lisan, pengetahuan umum tentang sejarah, dan kenangan pribadi.[6] Yang terakhir ini menempati posisi yang penting dalam kategori sumber sejarah karena memiliki keterkaitan erat dengan kualitas individu. Dalam hal ini, peneliti jangan gegabah atau asal wawancara, tetapi harus pada orang yang tepat dan benar-benar terkait dengan sejarah yang hendak direkonstruksi.

Mengapa sejarah lisan penting? Paul Thompson menyatakan karena sejarah lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat serta menjadikan sejarah lebih demokratis.[7] Ini bisa dipahami sebagai upaya untuk mewadahi, mengakomodir, atau menggali hal-hal yang terlewatkan dalam dokumen-dokumen yang tersedia.

Mungkin sebagai contoh, bahwa sejarah yang disampaikan kaum istana, kerajaan, atau pejabat pemerintah tentang suatu peristiwa adalah versi tersendiri. Sejarah dari kalangan orang alit seperti abdi dalem kraton, petani, prajurit, pegawai negeri, dan buruh tentang suatu peristiwa yang sama dengan yang dialami dan dilihat kaum elit atau pejabat, tentu memiliki perbedaan. Dua versi ingatan ini perlu diungkap kemudian diproses dalam metode penelitian sejarah sehingga ketika rekonstruksi memunculkan sejarah yang utuh. Di sinilah peran dan guna sejarah lisan menjadi penting sebagai pelengkap sumber sejarah. Dalam hal ini, pastinya terkait dengan metode.

Metode 
Metode dalam sejarah lisan adalah dengan melakukan wawancara pada para saksi dan pelaku sejarah. Bukan seperti wartawan atau jurnalis yang sekadarnya kemudian menuliskannya dalam bentuk beria (yang terkadang tidak utuh). Dalam sejarah lisan, seorang historian melakukan wawancara dengan tahapan-tahapan yang teratur seperti persiapan (menentukan topik dan narasumber), pelaksanaan (etika dalam wawancara), pembuatan indeks dan transkripsi (memindahkan rekaman dalam bentuk dokumen).[8]  

Mungkin yang terpenting, terkait dengan sejarah lisan ini, adalah model penelitian sejarah lisan.[9] Karena sejarah lisan ini masuk dalam heuristik (langkah pengumpulan sumber) sehingga harus melalui tahapan kritik (intern dan ekstern). Kritik terhadap sejarah lisan dilihat dari: profil dan kepribadian jiwa narasumber (pengkisah), melihat kepentingan (individual) dari pengkisah, kronologi peristiwa, dan anakronisme (dari pemahaman ideologi). Itulah bentuk-bentuk kritik untuk pengkisah atau narasumber sejarah.

Sementara kritik yang berkaitan dengan substansi sejarah lisan meliputi: konsistensi pengkisah dalam menceritakan kisahnya, melakukan koraborasi (perbandingan dengan sumber lisan lainnya dan sumber tertulis yang sezaman), dan tempatkan rekonstruksi sejarah lisan dalam kontsruk kesejarahan yang lebih luas; dengan melihat kesesuaian antara sifat dan karakter peristiwa yang direkonstruksi dengan tingkat perkembangan sosial, politik, ekonomi, atau budaya. 

Mengapa perlu dilakukan kritik dalam sejarah lisan? Karena sejarah lisan berpotensi digunakan oleh si pengkisah untuk menyampaikan kepentingannya dan si konstruktor menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Karena itu, sejarah lisan ini dalam proses penelitian tidak bisa seperti orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis media massa.   

Demikian sedikit review buku yang disajikan dalam makalah ini. Memang bisa dikatakan belum cukup representatif menyampaikan sejarah lisan dari satu rujukan. Karena itu, memerlukan rujukan dari buku lainnya untuk melengkapi pengetahuan tentang sejarah lisan ini. []

Bandung, 16 Maret 2015
AHMAD SAHIDIN,
Mahasiswa program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung



[1] Review buku sebagai tugas mata kuliah Sejarah Lisan, yang diampu oleh Dr Asep Ahmad Hidayat dan Dr Setia Gumilar di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Bandung.
[2] Dosen sejarah di UNPAD Bandung.
[3] Halaman 3.
[4] Halaman 5.
[5] Halaman 9.
[6] Halaman 19.
[7] Halaman 24.
[8] Pembahasan teknis dan lengkap bisa dibaca pada Bab VI, Bab VII, dan Bab VIII, halaman 39-76.
[9] Halaman 77-92.