Book Review[1]
SEJARAH lisan, bagi saya, termasuk disiplin ilmu baru. Dahulu saat kuliah
saya tidak mempelajarinya karena memang belum masuk dalam mata kuliah. Sekarang
ini saya mulai mengenalnya. Guru saya, Dr Asep Ahmad Hidayat dan Dr Setia
Gumilar, menyatakan sejarah lisan bagian dari metode penelitian sejarah untuk
merekonstruksi peristiwa masa lalu yang bersumberkan dari memory
(ingatan). Sejarah yang bertumpu pada kaidah: no document, no history,
dinilai kurang memuaskan sebagian peneliti dalam mengungkap dan memahami masa
lalu yang tidak tertulis. Selama ini rekonstruksi sejarah masih bertumpu pada
peristiwa dan tokoh besar. Sejarah identik dengan kaum elit dan istana.
Sedangkan kalangan wong cilik dan kaum alit kurang muncul dalam gelanggang
sejarah yang direkonstruksi para peneliti sejarah.
Sejarah terlalu luas dalam ruang dan panjang dalam rentangan waktu.
Sebuah peristiwa yang dikaji, belum tentu terungkap utuh. Apalagi kalau hanya
mengandalkan catatan dan laporan yang tertulis maka akan terbatas yang
disajikannya. Karena itu, adanya sejarah lisan merupakan pelengkap untuk
menyempurnakan rekonstruksi sejarah, khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan
atau alam pikiran masyarakat dan sejarah kontemporer. Kajian tokoh dan asal
usul kota yang bertumpu pada tradisi dan cerita-cerita rakyat bisa menggunakan
sejarah lisan dalam proses penggalian sumbernya.
Dr Reiza D. Dienaputra[2]
menulis buku Sejarah Lisan: Konsep dan Metode. Buku ini terbit tahun 2007
oleh Minor Books di Bandung. Beruntung dapat bukunya (meski berbentuk fotokopi)
sehingga saya dapat mengetahui tentang sejarah lisan dan ruang lingkupnya.
Kesan saya ketika membaca, buku Sejarah Lisan ini bisa disebut rinci
dalam menerangkan sejarah lisan. Dimulai dari pengertian, manfaat, kedudukan,
metode, langkah praktis dalam pelaksanaan, petunjuk pengalihan dari rekaman ke
tulisan, dan contoh penelitian yang menggunakan sejarah lisan.
Menurut Reiza, sejarah ada dua: objektif dan subjektif.[3]
Sejarah objektif adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi satu kali dan
tidak berulang, baik dari segi waktu maupun suasana dalam ruang. Ada yang
mengatakan sejarah itu berulang. Pendapat ini tidak keliru hanya saja yang
berulang adalah jenis peristiwa dan kejadian. Sedangkan ruang dan waktu serta
suasana yang melingkupinya tidak akan pernah ada yang sama. Revolusi Indonesia
terjadi sekali. Revolusi yang sejenis sebagai bentuk perlawanan kepada
kolonialisme dan kehendak untuk merdeka bisa terulang di berbagai negara dan
bangsa.
Sementara sejarah subjektif adalah sejarah sebagai kisah berupa hasil
rekonstruksi dari peristiwa sejarah atau bangunan masa lalu yang disusun oleh
peneliti (rekonstruktor) dengan melalui tahapan prosedur metode penelitian
sejarah. Hasilnya berupa narasi, cerita, atau uraian yang ditulis dalam bentuk
laporan (buku atau jurnal) sebagai historiografi. Sejarah dalam arti subjektif
direkonstruksi dari sumber-sumber seperti tertulis (dokumen), benda (artefak),
visual (gambar, lukisan, foto, dan video), dan lisan (suara). Sumber lisan
meliputi tradisi lisan yang ada di lingkungan suatu masyarakat, rekaman suara
berupa rekaman ceramah dan rapat atau obrolan, dan sejarah lisan.[4]
Sejarah lisan agar bisa dijadikan sumber, sejarah lisan yang berupa
suara (dari penuturan saksi dan pelaku sejarah) perlu dituliskan dalam bentuk
catatan (transkripsi) dan direkam dengan alat rekam. Thucydides (460-395 SM)
dianggap orang Yunani pertama yang menggunakan sumber lisan dalam rekonstruksi
sejarah Perang Peloponesia dengan mewawancarai para prajurit yang terlibat
perang. Karyanya diterbitkan dengan judul Histoire de la Guerre du
Peloponnese (Paris: Garnier Freres, 1966). Kemudian abad 20 M, ketika sudah
ditemukan alat rekam, menjadi metode modern dalam penelitian sejarah di Amerika
Serikat tahun 1930.
Allan Nevins tahun 1948 mendirikan pusat sejarah lisan yang pertama di
Universitas Colombia, New York, Amerika Serikat. Diikuti peneliti sejarah di
Kanada, Inggris, dan Italia. Bahkan negara Malaysia, Thailand, dan Singapura
merintisnya dari 1960 an. Singapura dianggap maju untuk kawasan Asia Tenggara
dalam sejarah lisan karena membentuk Pusat Sejarah Lisan di Arsip Nasional
Singapura. Indonesia tahun 1978 melalui Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) mulai melirik sejarah lisan untuk melengkapi kekurangan arsip Indonesia
pada kurun 1942-1950.[5]
Kepedulian pada sejarah lisan yang ditunjukan di atas dapat dipahami
karena sejarah memerlukan keutuhan cerita sehingga ketika direkonstruksi tampil
menjadi kisah yang mendekati kebenaran (sesuai dengan langkah kerja ilmiah).
Apa itu sejarah lisan?
Sartono Kartodirdjo mendefinisikan sejarah lisan sebagai cerita-cerita
tentang pengalaman kolektif (memory collective) yang disampaikan secara
lisan. Karena itu, ingatan manusia menjadi penting diperhatikan dalam proses
mendapatkan informasi sejarah dari pelaku maupun saksi. Memori atas kejadian yang
dialami dan dilihat, yang benar-benar nyata terjadi, yang tersimpan dalam
ingatan. Faktor usia dan penyakit kadang membuat orang lupa dengan pengalaman
atau ingatan masa lalu. Karena itu, tugas peneliti sejarah untuk memindahkan
dari memori manusia dalam bentuk rekaman atau transkripsi dari wawancara. Dalam
melakukannya tentu harus sesuai dengan prosedur dalam metode sejarah lisan.
Tidak semua ingatan dan pengalaman manusia termasuk dalam sejarah lisan.
Sejarah lisan—menurut Taufik Abdullah—terdiri dari tiga: sastra lisan, pengetahuan
umum tentang sejarah, dan kenangan pribadi.[6]
Yang terakhir ini menempati posisi yang penting dalam kategori sumber sejarah
karena memiliki keterkaitan erat dengan kualitas individu. Dalam hal ini,
peneliti jangan gegabah atau asal wawancara, tetapi harus pada orang yang tepat
dan benar-benar terkait dengan sejarah yang hendak direkonstruksi.
Mengapa sejarah lisan penting? Paul Thompson menyatakan karena sejarah
lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat serta menjadikan sejarah
lebih demokratis.[7]
Ini bisa dipahami sebagai upaya untuk mewadahi, mengakomodir, atau menggali hal-hal
yang terlewatkan dalam dokumen-dokumen yang tersedia.
Mungkin sebagai contoh, bahwa sejarah yang disampaikan kaum istana,
kerajaan, atau pejabat pemerintah tentang suatu peristiwa adalah versi
tersendiri. Sejarah dari kalangan orang alit seperti abdi dalem kraton, petani,
prajurit, pegawai negeri, dan buruh tentang suatu peristiwa yang sama dengan
yang dialami dan dilihat kaum elit atau pejabat, tentu memiliki perbedaan. Dua
versi ingatan ini perlu diungkap kemudian diproses dalam metode penelitian
sejarah sehingga ketika rekonstruksi memunculkan sejarah yang utuh. Di sinilah
peran dan guna sejarah lisan menjadi penting sebagai pelengkap sumber sejarah.
Dalam hal ini, pastinya terkait dengan metode.
Metode
Metode dalam sejarah lisan adalah dengan melakukan wawancara pada para saksi
dan pelaku sejarah. Bukan seperti wartawan atau jurnalis yang sekadarnya
kemudian menuliskannya dalam bentuk beria (yang terkadang tidak utuh). Dalam sejarah lisan, seorang historian melakukan wawancara dengan tahapan-tahapan yang teratur seperti persiapan (menentukan
topik dan narasumber), pelaksanaan (etika dalam wawancara), pembuatan indeks
dan transkripsi (memindahkan rekaman dalam bentuk dokumen).[8]
Mungkin yang terpenting, terkait dengan sejarah lisan ini, adalah model
penelitian sejarah lisan.[9]
Karena sejarah lisan ini masuk dalam heuristik (langkah pengumpulan sumber)
sehingga harus melalui tahapan kritik (intern dan ekstern). Kritik terhadap
sejarah lisan dilihat dari: profil dan kepribadian jiwa narasumber (pengkisah),
melihat kepentingan (individual) dari pengkisah, kronologi peristiwa, dan
anakronisme (dari pemahaman ideologi). Itulah bentuk-bentuk kritik untuk
pengkisah atau narasumber sejarah.
Sementara kritik yang berkaitan dengan substansi sejarah lisan meliputi:
konsistensi pengkisah dalam menceritakan kisahnya, melakukan koraborasi
(perbandingan dengan sumber lisan lainnya dan sumber tertulis yang sezaman), dan
tempatkan rekonstruksi sejarah lisan dalam kontsruk kesejarahan yang lebih
luas; dengan melihat kesesuaian antara sifat dan karakter peristiwa yang
direkonstruksi dengan tingkat perkembangan sosial, politik, ekonomi, atau
budaya.
Mengapa perlu dilakukan kritik dalam sejarah lisan? Karena sejarah lisan berpotensi digunakan oleh si pengkisah untuk menyampaikan kepentingannya dan si konstruktor menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Karena itu, sejarah lisan ini dalam proses penelitian tidak bisa seperti orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis media massa.
Mengapa perlu dilakukan kritik dalam sejarah lisan? Karena sejarah lisan berpotensi digunakan oleh si pengkisah untuk menyampaikan kepentingannya dan si konstruktor menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Karena itu, sejarah lisan ini dalam proses penelitian tidak bisa seperti orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis media massa.
Demikian sedikit review buku yang disajikan dalam makalah ini.
Memang bisa dikatakan belum cukup representatif menyampaikan sejarah lisan dari
satu rujukan. Karena itu, memerlukan rujukan dari buku lainnya untuk melengkapi
pengetahuan tentang sejarah lisan ini. []
Bandung, 16 Maret 2015
AHMAD SAHIDIN,
Mahasiswa program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN
Sunan Gunung Djati Bandung
[1] Review buku sebagai tugas
mata kuliah Sejarah Lisan, yang diampu oleh Dr Asep Ahmad Hidayat dan Dr
Setia Gumilar di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Bandung.