Selasa, 10 September 2019

Review Buku CERITERA DIPATI UKUR: KARYA SASTRA SEJARAH SUNDA

DI Tatar Sunda terdapat tokoh-tokoh yang terkenal. Saking hebatnya ada yang sampai disakralkan. Di antara tokoh yang kerap hidup dalam memori kolektif masyarakat Sunda adalah Bagenda Ali (bin Abi Thalib), Abdul Qadir Jaelani, Prabu Siliwangi, dan Dipati Ukur. 

Dua nama yang pertama dikenal pada kalangan masyarakat Islam Sunda. Sedangkan dua nama yang terakhir populer pada kalangan masyarakat Sunda yang memliki orientasi kebudayaan dan merindukan kejayaan Sunda.

Sosok Siliwangi, dikenal tokoh sakti dan raja Sunda yang hebat. Hingga kini sosok legendaris Sunda itu misterius keberadaannya. Tidak ada makamnya. Ada yang bilang ngahiang, tilem. Begitu pun Kerajaan Pajajaran, tidak ada laratan berupa jejak bangunan. Padahal, secara historis lebih awal berdiri dari Kesultanan Cirebon dan Banten. Kedua kerajaan ini memiliki jejaknya yang sampai sekarang pun memiliki raja. Namun, untuk Pajajaran tidak ada. Seakan-akan menjadi misteri yang hilang dari sejarah Sunda.

Dipati Ukur
Sementara Dipati Ukur, tokoh yang hidup setelah Kerajaan Pajajaran dan berada dalam lingkup Kerajaan Sumedang Larang yang juga di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Mataram mengubah seluruh Priangan (Sunda) menjadi kabupaten sebagai daerah kekuasaan Mataram yang setiap wilayah dipimpin oleh bupati. Perubahan tersebut terjadi pada sekira 1620 M. Untuk mengatur para bupati yang berada di Tatar Sunda, ditunjuk seorang wedana bupati selaku wakil dari Sultan Mataram. Kepada wedana bupati ini para bupati di Priangan tunduk dan patuh sebagai ketaatan kepada Sultan Mataram.

Wedana bupati pertama yang diangkat oleh Sultan Mataram adalah Rangga Gempol I (1620-1625 M.) yang bermukim di Sumedang. Yang kedua adalah Dipati Ukur (1625-1629 M.) dari Tatar Ukur dan ketiga adalah Rangga Gempol II (1641-1656 M.) yang disebut Rangga Gede. Rangga Gempol I maupun Rangga Gede merupakan keturunan Kerajaan Sumedanglarang dari Prabu Geusan Ulun.

Sebagai bawahan Mataram, Rangga Gempol I diminta oleh Sultan Agung untuk menaklukan Sampang, Madura. Ketika sampai di Mataram, Rangga Gempol bersama pasukannya diminta menetap di Kampung Kasumedangan Desa Bembem, Mataram. Atas suruhan Sultan Mataram, Rangga Gempol diracun dan ada yang menyebutkan dihukum mati karena telah melakukan kesalahan yang membuat marah Sultan Mataram.

Kemudian jabatan wedana bupati dipegang oleh Dipati Ukur. Sultan Mataram memerintahkannya untuk memerangi penjajah Belanda di Batavia (Jakarta). Namun, gagal dan mengalami kekalahan. Karena khawatir dihukum mati maka Dipati Ukur bersama bupati-bupati dan tentaranya tidak menghadap Sultan Mataram malah memperkuat dan membuat pertahanan sebagai bentuk perlawanan kepada kekuasaan Mataram.  

Meski disebut sakti dan ahli dalam kanuragan, Dipati Ukur dapat dikalahkan dan dibawa ke Mataram kemudian dihukum mati bersama para pengikutnya. Peperangan antara Dipati Ukur dengan pasukan Mataram (yang sebetulnya para tentara dari seluruh wilayah Priangan yang tidak mendukung Dipati Ukur) berlangsung antara 1631-1633 M. Pascakekalahan Dipati Ukur, jabatan wedana bupati diberikan kepada Rangga Gede karena telah turut membantu Mataram menumpas gerakan Dipati Ukur.

Demikian sedikit informasi tentang sejarah kekuasaan di Priangan, khususnya Dipati Ukur. Kembali pada masyarakat Sunda bahwa tokoh Dipati Ukur memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Sunda. Meski oleh pihak Mataram dianggap pemberontak, bagi sebagian masyarakat Sunda bisa disebut pahlawan yang mencoba melepaskan kungkungan dari kekuasaan Jawa. Karena itu, namanya sampai kini dijadikan jalan di Bandung.

Bagaimana sebenarnya sosok dan kontribusi Dipati Ukur dalam sejarah Sunda? Cukup sulit untuk mengetahui kisahnya. Sebab belum ada catatan atau karya sejarah dari sejarawan yang benar-benar diakui kebenaran ilmiahnya. Sebagian besar informasi Dipati Ukur masih tersimpan dalam memori kolektif dan tradisi lisan serta sekira abad 18 dan awal abad 19 M. mulai ada kesadaran dituliskan oleh orang-orang Sunda, khususnya dari kalangan bangsawan, dan kalangan pegawai atau pejabat Belanda. Catatan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai naskah, yang dikaji oleh Edi Suhardi Ekadjati hingga menjadi desertasi doktoral di Universitas Indonesia pada 1979, dengan judul Ceritera Dipati Ukur –yang disingkat CDU.

Disertasi CDU ini diterbitkan menjadi buku, yang diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1982, dengan judul Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda. Buku ini termasuk buku yang telah menunjukan hasil kerja ilmiah dalam disiplin filologi.

Dalam pengantar, Edi menyatakan bahwa ketertarikannya pada filologi ketika ada tawaran dari Konsorsium Sastra dan Filsafat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengikuti penataran filologi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, pada 20 Juni hingga 10 Juli 1973, yang kemudian berlanjut dengan penelitian filologi dan menjadi doktor filologi.

Menurut Edi, kajian sejarah kerajaan di Indonesia antara abad 16-17 M. sumbernya banyak terdapat pada naskah. Namun, naskah tidak bisa begitu serta merta menjadi sumber sejarah. Naskah memerlukan kajian tersendiri yang disebut studi filologi sebelum dijadikan sumber sejarah. Sejarawan belum bisa menggunakan naskah yang belum diteliti filolog, bahkan perlu dikritik secara internal dan eksternal. Jika sudah lolos maka bisa digunakan bahan penulisan sejarah; yang sebelumnya diberi interpretasi kemudian baru dituliskan (historiografi).

“Idealnya, pertama-pertama naskah itu dikerjakan oleh para filolog. Hasil pekerjaan mereka, kemudian digunakan oleh para sejarawan. Tapi masalahnya ialah masih sedikit sekali naskah yang telah digarap secara filologis,” tulis Edi. Keadaan ini memungkinkan munculnya dua pilihan: sejarawan menunggu hasil filolog sehingga menunda rekonstruksi sejarah karena masih belum tersedianya bahan; atau sejarawan terjun langsung menjadi filolog dan hasilnya dijadikan bahan atau sumber untuk rekonstruksi sejarah. Tampaknya (almarhum) Edi memilih yang kedua—meski dalam bukunya lebih kentara kajian filologis ketimbang historis.

Mengapa CDU Diteliti?  
Tentu setiap karya ilmiah memiliki latar belakang dan tujuan dari setiap kajian penelitian yang dilakukannya. Ada tiga alasan Edi melakukan kajian atas naskah-naskah CDU. Pertama, alasan sastra bahwa sepanjang abad 18-20 M. ceritera Dipati Ukur telah menarik perhatian orang-orang Priangan dan non Priangan sehingga masuk dalam naskah sastra Sunda yang ditulis dalam bentuk tembang, wawacan, dan babad.

Kedua, alasan historis bahwa Dipati Ukur merupakan tokoh nyata dan peristiwanya ditulis berdasarkan kesaksian-kesaksian orang Belanda sehingga “adanya” dalam sejarah bisa membantu atau menambah keragaman sejarah kesundaan. Apalagi sejumlah naskah yang ditulis dalam bentuk karya sastra Sunda dalam ilmu sejarah termasuk historiografi tradisional sehingga CDU memiliki tempat untuk dikaji dengan ilmu sejarah.

Ketiga, alasan kesundaan yang dalam masyarakat Sunda, khususnya Bandung, Dipati Ukur merupakan pahlawan yang membela Tatar Sunda dan rela mengorbankan dirinya untuk rakyatnya sehingga patut dikenang. Itulah sebabnya nama Dipati Ukur menjadi nama jalan, bioskop, dan sekolah.

Tentu alasan di atas bisa dianggap sebagai upaya menggali warisan leluhur Sunda untuk memperkaya dan penunjang pengembangan kebudayaan Indonesia.

Pendekatan dan Metode Penelitian
Sebagai karya ilmiah, yang digunakan Edi dalam penelitian desertasinya menggunakan pendekatan ilmu sastra, filologi, dan sejarah. Objek yang ditelitinya adalah naskah-naskah yang di dalamnya terdapat CDU. Pencarian naskah dilakukan dengan meneliti data-data kepustakaan dan arsip-arsip sejarah. Juga melakukan kerja lapangan mengunjungi lokasi-lokasi atau tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Sunda dan melakukan wawancara dengan orang-orang yang dianggap mengetahui atau terkait dengan CDU.

Pencarian naskah yang dimulai 1974-1977 telah dilakukan hingga ke negeri Belanda dan Inggris. Di Belanda meneliti di Universiteit Bibliotheek Leiden, Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde Bibliotheek, Rijksarchief Den Haag. Penelitian di Inggris dilakukan di British Museum dan Indian Office Library. Sedangkan penelitian dalam negeri dilakukan di Museum Pusat Jakarta, Arsip Nasional Jakarta, Tepas Kapujanggaan Yogyakarta, dan Perpustakaan Kirtya Bandung.

Sementara penelitian lapangan untuk melihat peninggalan dan dimungkinkan adanya tradisi lisan dari CDU dengan mengunjungi daerah-daerah seperti Bandung, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Ciamis, Talaga, dan Banyumas.

Dari penelusuran kepustakaan ditemukan 23 naskah yang berkaitan dengan CDU: 11 di Belanda, 2 di Inggris, 3 di Museum Pusat Jakarta, 1 di Sumedang, 3 di Bandung, 1 Tasikmalaya, dan 3 di Garut.  

Naskah-naskah yang ditemukan kemudian dibandingkan satu sama lain untuk dilihat persamaan dan perbedaannya. Selain dari naskah, CDU didapatkan dari penerbitan karya orang Belanda seperti Salomon, P. van Oort, K.F Holle, C.W. Walbeehm, P. de Roo de la Faile, dan J. A. van der Chijs (diterjemahkan dalam bahasa Sunda oleh Raden Karta Winata). Juga dari dalam negeri yang menerbitkan seperti Handi Suhandi, Emuch Hermansoemantri, R.A.A Martanagara, M.K. Hardjakoesoema, Rohendy Sumardinata, dan Supis. Ditemukan pula catatan dan laporan tertulis dari orang-orang Belanda dalam bentuk surat-surat laporan resmi kepada Gubernur Jenderal Belanda dan jurnal wakil Nakhoda Abraham.

Dari penelusuran tempat atau daerah, jejak-jejak berupa piagam, naskah, tumpukan batu, benda keramat, benteng pertahanan, pemukiman (saat lari dari kejaran pasukan Mataram), batu kerbau, pecahan keramik, keris, kujang, dan lainnya yang disebutkan dalam naskah sebagai lokasi-lokasi keberadaan Dipati Ukur. Di antaranya daerah Pabuntelan, Desa Tenjonagara, Pacet, Kabupaten Bandung; Gunung Lumbung di Cililin, Pasir Ipis, Bandung Selatan; Cangkuang, Garut; Tangerang; Karawang; Pelabuhan Ratu, Sukabumi; dan lainnya.

Tentang kuburan Dipati Ukur muncul beragam pendapat. Ada yang menyebutkan di Astana Luhur Desa Bojongmanggu, Pameungpeuk; puncak Gunung Geulis, Desa Manggahang dan Rancakole Ciparay; tepi Sungai Citarum, Desa Manggahang; Gunung Sadu, Soreang; Kampung Cikatul, Desa Tenjonagara, Pacet;  Astana Handap, Banjaran; Gunung Tikukur, Desa Manggahang; Pasir Luhur, Ujung Berung; dan Karang, Tasikmalaya.
  
Pemilahan Sumber
Naskah dan penerbitan yang ditemukan kemudian dipilah dan disusun berdasarkan asal usul pengarang, identitas tokoh yang ditonjolkan, serta unsur persamaan dan perbedaan dalam setiap cerita Dipati Ukur dibagi menjadi delapan versi: Galuh, Sukapura (Tasikmalaya), Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram, dan Batavia.

Bahasa yang digunakan dalam naskah yang mengandung CDU adalah Sunda, Jawa, dan Belanda. Sedangkan huruf yang digunakan adalah huruf Jawa, Jawa Sunda, Pegon, dan Latin.

Cerita versi Galuh, Dipati Ukur ditonjolkan sebagai tokoh pemberontak terhadap Mataram sehingga layak ditumpas. Karena sakti sehingga sulit dikalahkan. Dipati Ukur hanya bisa dikalahkan oleh Bagus Sutapura dari Kawasen, Galuh. Ia ditangkap bersama 10.000 orang rakyatnya dan dihukum mati di Mataram. Beberapa pejabat daerah Priangan yang turut dalam penangkapan oleh Sultan Mataram diangkat menjadi tumenggung dan Rangga Gempol yang menjadi pelapor dari pemberontakan Dipati Ukur diangkat sebagai patih Mataram.

Cerita versi Sukapura disebutkan Dipati Ukur sebagai pemberontak, berada pada pihak yang salah, dan tidak berani bertanggung jawab. Sedangkan tokoh dari Mataram seperti Tumenggung Bahureksa dan Sultan Mataram sebagai penguasa yang tindakannya postif dan berada dalam kemenangan saat perang melawan Dipati Ukur. Disebutkan tiga bupati di Priangan yang turut menumpas gerakan Dipati Ukur mengirimkan gadis untuk Sultan Mataram sehingga mereka diangkat menjadi tumenggung.

Cerita versi Sumedang disebutkan Dipati Ukur dihubungkan dengan peristiwa penaklukan Sampang yang gagal. Dipati Ukur sebagai tokoh pemberontak Mataram dan Sultan Mataram sebagai tokoh yang tegas dalam menghukum bawahannya yang bersalah. Pangeran Sumedang disebut bupati setia pada Mataram yang diceritakan lebih banyak dari Dipati Ukur.

Cerita versi Bandung diterangkan Dipati Ukur adalah keturunan Raja Pajajaran Sunda. Seorang yang patuh pada perintah Sultan Mataram sehingga menyerang orang kulit putih ke Pulau Kelapa. Dalam perjalanan, Dipati Ukur mendapat informasi bahwa utusan Mataram yang tinggal di Ukur melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada istrinya. Dipati Ukur kembali ke Ukur dan langsung menghukum mati utusan Mataram tersebut. Karena gagal menyerang dan utusan dibunuh maka Dipati Ukur dianggap membangkang kemudian diperangi pasukan Mataram.

Dalam versi Bandung ini ada dua versi. Pertama, rakyat Ukur mengalami kekalahan sehingga Dipati Ukur mengganti pakaian kebesaran dan menyamar menjadi rakyat biasa. Pakaian kebesaran dipakai seorang panakawan sehingga ditangkap Dipati Ukur palsu dan dibawa ke Mataram. Dipati Ukur palsu ini direndam dalam air selama tujuh hari, ditusuk dengan berbagai senjata, dan dimasukan dalam kandang macan. Namun, Dipati Ukur palsu itu tetap hidup. Karena kebal dengan senjata sehingga ia dibebaskan dan diambil oleh Sultan Cirebon menjadi prajurit. Tokoh ini dalam buku Dipati Ukur bernama Raden Wangsanata.

Sedangkan Dipati Ukur yang asli lolos dari kepungan pasukan Mataram kemudian berangkat ke Makkah dan bermukim. Setelah aman, kembali ke Bandung dan menetap hingga wafat yang dikuburkan di Gunung Geulis. Versi kedua, Dipati Ukur dan rakyat Ukur tidak terkalahkan dan bertahan di Gunung Lumbung. Pihak Mataram menggunakan siasat dengan diberi obat oleh pedagang sehingga tertidur. Ketika itulah Dipati Ukur dibawa ke Mataram dan dijatuhi hukuman mati. Pengisahan tokoh Dipati Ukur lebih luas dan tokoh lain hanya menjadi pelengkap keseluruhan cerita.

Cerita versi Talaga sama dengan versi Bandung. Tokoh Dipati Ukur dalam naskah Mangle Arum bernama Adipati Wangsanata atau Adipati Ukur Wangsanata. Cerita tidak berakhir dengan kematian Dipati Ukur, tetapi berakhir dengan keberangkatannya ke Makkah.

Cerita versi Banten menyebutkan penyerangan Mataram ke Jakarta, pemberontakan Dipati Ukur, menjalin hubungan baik dengan Banten, dan Susunan Mataram digambarkan tokoh penguasa. Juga disebutkan orang Sumedang tidak setia kepada Dipati Ukur.

Cerita versi Mataram menyebutkannya secara singkat. Dalam Babad Sengkala, Babad Nithitik, dan Babad Tanah Jawi bahwa pasukan Mataram berangkat untuk memerangi Dipati Ukur yang memberontak. Mataram menang dan Dipati Ukur ditawan kemudian dijatuhi hukuman mati.

Cerita versi Batavia disebutkan pasukan Ukur dari Sumedang dan Mataram menyerang Batavia. Kedua pasukan itu tidak menyerang secara bersamaan sehingga bisa dikalahkan. Kekalahan itu membuat pasukan Ukur takut dengan hukuman Sultan Mataram sehingga berhubungan dengan Banten. Kemudian rakyat Ukur dan Sumedang dianggap memberontak pada Mataram sehingga diperanginya dan tawanan pun dihukum mati.  

Mengapa beragam versi?
Naskah yang disebutkan di atas tidak lahir karena kesadaran manusia untuk menyimpan pengetahuan atau informasi sejarah untuk dibaca generasi di masa depan. Edi menyebutkan bahwa setiap kalangan bangsawan atau kepala daerah membutuhkan legitimasi sejarah, baik dari leluhur atau kedudukan dalam masyarakat. Leluhur yang kuat, baik, dan sakti akan berpengaruh dalam kedudukannya dan membawa kekuatan pada keturunannya. Setiap kali naskah itu dibuat dan terjadi pergantian kekuasaan maka orang yang berkepentingan menuliskan cerita baru dengan menambahkan pada cerita lama. Kemudian dibuat naskah atau semacam buku pegangan sebagai peneguh dan pengokoh kedudukannya.

Tidak heran jika naskah banyak ditemukan pada kerajaan-kerajaan atau kalangan bangsawan dan orang-orang yang leluhurnya pernah menjadi pemegang kekuasaan. Naskah dipelihara oleh ahli warisnya secara turun temurun. Bahkan, disimpan dalam peti resmi (kandaga) kabupaten atau kerajaan.

Di Yogyakarta dan Surakarta, naskah (yang di dalamnya berupa silsilah raja dan keturunan kerajaan) bukan sekadar menunjukkan legitimasi politik, juga berhubungan dengan kegiatan sakral dan kekuatan gaib.   

Sejumlah naskah di Ciamis, Garut, Majalaya, Pabuntelan, dan lainnya hingga sekarang masih dikeramatkan sehingga tidak sembarang orang bisa mengaksesnya. Ada waktu-waktu khusus dan upacara tertentu yang harus dilakukan jika hendak membuka naskah tersebut.

Bisa dipahami kalau kemudian muncul naskah-naskah dan penerbitan cerita Dipati Ukur dalam beragam versi. Tentu di dalamnya mengandung muatan politik dan upaya-upaya menguatkan kedudukan pemegang kekuasaan, sesuai dengan tempat beradanya naskah.

Edi menyebutkan CDU versi Galuh, versi Sumedang, versi Talaga, versi Banten, dan versi Mataram, berfungsi untuk mempertinggi derajat dan kebesaran penguasa setempat. Kemudian versi Galuh, versi Sukapura, dan versi Sumedang, memiliki untuk mensahkan tokoh-tokoh setempat dan keturunan mereka sebagai kepala daerah setempat. Juga sebagai pengakuan kekuasaan Belanda dari penguasa pribumi yang tercantum dalam versi Galuh, Sukapura, dan Batavia. Bahkan untuk membela nama baik tokoh Dipati Ukur dan pedoman perjuangan orang Sunda dibuatlah penerbitan cerita dalam bentuk oleh Daya Sunda.

Dilihat dari fungsi tersebut tidak heran kalau ada sejarawan yang menolak naskah digunakan sebagai sumber sejarah. Apalagi naskah CDU dianggap karya sejarah. Meski sejumlah naskah klasik seperti babad, tambo, wawacan, dan lainnya disebut historiografi tradisional, tetapi tetap bukan sebuah karya sejarah melainkan sastra sejarah. Karena itu, sejumlah naskah yang berisikan cerita Dipati Ukur—sebagaimana dinyatkan oleh Edi—bahwa pada tingkat tertentu CDU-CDU itu dapat dijadikan sebagai sumber sejarah (dengan catatan diuji berdasarkan kritik historis) dan dilanjutkan dengan kajian sejarah.  

Sekadar catatan bahwa buku Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda ini masuk kategori karya filologi. Dalam buku ini, Prof Edi Suhardi Ekadjati telah menunjukan cara dan langkah pengerjaan dalam pengolahan naskah dengan baik. Hanya saja dalam buku ini, saya tidak menemukan konteks historis dari cerita Dipati Ukur sehingga terasa kering.

Untuk orang yang sudah mengenal tokoh tersebut tidak akan menjadi soal, tetapi bagi yang awam dengan sejarah kekuasaan Sunda akan kebingungan.  Bahkan, pada bagian pendahuluan atau latar belakang tidak disebutkan siapa tokoh yang bernama Dipati Ukur. Dan, saya kira ini memang nanti menjadi lahan garapan para sejarawan yang memiliki minat dalam kajian tokoh dan kekuasaan Sunda. ***

Bandung, 21 September 2014

Review buku untuk tugas Matakuliah Filologi dan Arsip Sejarah dengan dosen pengampu:  Dr.Dedi Supriadi, M.Hum dan Dr.Asep Ahmad Hidayat, M.Ag. Ditulis oleh AHMAD SAHIDIN,  seorang Mahasiswa Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung; angkatan tahun 2014.