DI Tatar Sunda terdapat tokoh-tokoh yang terkenal. Saking hebatnya
ada yang sampai disakralkan. Di antara tokoh yang kerap hidup dalam memori
kolektif masyarakat Sunda adalah Bagenda Ali (bin Abi Thalib), Abdul Qadir
Jaelani, Prabu Siliwangi, dan Dipati Ukur.
Dua nama yang pertama dikenal pada kalangan masyarakat Islam Sunda.
Sedangkan dua nama yang terakhir populer pada kalangan masyarakat Sunda yang
memliki orientasi kebudayaan dan merindukan kejayaan Sunda.
Sosok Siliwangi, dikenal tokoh sakti dan raja Sunda yang hebat. Hingga
kini sosok legendaris Sunda itu misterius keberadaannya. Tidak ada makamnya. Ada
yang bilang ngahiang, tilem. Begitu pun Kerajaan Pajajaran, tidak
ada laratan berupa jejak bangunan. Padahal, secara historis lebih awal
berdiri dari Kesultanan Cirebon dan Banten. Kedua kerajaan ini memiliki
jejaknya yang sampai sekarang pun memiliki raja. Namun, untuk Pajajaran tidak
ada. Seakan-akan menjadi misteri yang hilang dari sejarah Sunda.
Dipati Ukur
Sementara Dipati Ukur, tokoh yang hidup setelah Kerajaan Pajajaran
dan berada dalam lingkup Kerajaan Sumedang Larang yang juga di bawah kekuasaan Kerajaan
Mataram di Jawa Tengah. Mataram mengubah seluruh Priangan (Sunda) menjadi kabupaten
sebagai daerah kekuasaan Mataram yang setiap wilayah dipimpin oleh bupati.
Perubahan tersebut terjadi pada sekira 1620 M. Untuk mengatur para bupati yang
berada di Tatar Sunda, ditunjuk seorang wedana bupati selaku wakil dari Sultan
Mataram. Kepada wedana bupati ini para bupati di Priangan tunduk dan patuh
sebagai ketaatan kepada Sultan Mataram.
Wedana bupati pertama yang diangkat oleh Sultan Mataram adalah Rangga
Gempol I (1620-1625 M.) yang bermukim di Sumedang. Yang kedua adalah Dipati
Ukur (1625-1629 M.) dari Tatar Ukur dan ketiga adalah Rangga Gempol II
(1641-1656 M.) yang disebut Rangga Gede. Rangga Gempol I maupun Rangga Gede
merupakan keturunan Kerajaan Sumedanglarang dari Prabu Geusan Ulun.
Sebagai bawahan Mataram, Rangga Gempol I diminta oleh Sultan Agung
untuk menaklukan Sampang, Madura. Ketika sampai di Mataram, Rangga Gempol
bersama pasukannya diminta menetap di Kampung Kasumedangan Desa Bembem,
Mataram. Atas suruhan Sultan Mataram, Rangga Gempol diracun dan ada yang
menyebutkan dihukum mati karena telah melakukan kesalahan yang membuat marah
Sultan Mataram.
Kemudian jabatan wedana bupati dipegang oleh Dipati Ukur. Sultan
Mataram memerintahkannya untuk memerangi penjajah Belanda di Batavia (Jakarta).
Namun, gagal dan mengalami kekalahan. Karena khawatir dihukum mati maka Dipati
Ukur bersama bupati-bupati dan tentaranya tidak menghadap Sultan Mataram malah
memperkuat dan membuat pertahanan sebagai bentuk perlawanan kepada kekuasaan
Mataram.
Meski disebut sakti dan ahli dalam kanuragan, Dipati Ukur dapat
dikalahkan dan dibawa ke Mataram kemudian dihukum mati bersama para pengikutnya.
Peperangan antara Dipati Ukur dengan pasukan Mataram (yang sebetulnya para
tentara dari seluruh wilayah Priangan yang tidak mendukung Dipati Ukur)
berlangsung antara 1631-1633 M. Pascakekalahan Dipati Ukur, jabatan wedana
bupati diberikan kepada Rangga Gede karena telah turut membantu Mataram
menumpas gerakan Dipati Ukur.
Demikian sedikit informasi tentang sejarah kekuasaan di Priangan,
khususnya Dipati Ukur. Kembali pada masyarakat Sunda bahwa tokoh Dipati Ukur
memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Sunda. Meski oleh pihak Mataram
dianggap pemberontak, bagi sebagian masyarakat Sunda bisa disebut pahlawan yang
mencoba melepaskan kungkungan dari kekuasaan Jawa. Karena itu, namanya sampai
kini dijadikan jalan di Bandung.
Bagaimana sebenarnya sosok dan kontribusi Dipati Ukur dalam sejarah
Sunda? Cukup sulit untuk mengetahui kisahnya. Sebab belum ada catatan atau
karya sejarah dari sejarawan yang benar-benar diakui kebenaran ilmiahnya. Sebagian
besar informasi Dipati Ukur masih tersimpan dalam memori kolektif dan tradisi
lisan serta sekira abad 18 dan awal abad 19 M. mulai ada kesadaran dituliskan
oleh orang-orang Sunda, khususnya dari kalangan bangsawan, dan kalangan pegawai
atau pejabat Belanda. Catatan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai
naskah, yang dikaji oleh Edi Suhardi Ekadjati hingga menjadi desertasi doktoral
di Universitas Indonesia pada 1979, dengan judul Ceritera Dipati Ukur
–yang disingkat CDU.
Disertasi CDU ini diterbitkan menjadi buku, yang diterbitkan
Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1982, dengan judul Ceritera Dipati Ukur: Karya
Sastra Sejarah Sunda. Buku ini termasuk buku yang telah menunjukan hasil
kerja ilmiah dalam disiplin filologi.
Dalam pengantar, Edi menyatakan bahwa ketertarikannya pada filologi
ketika ada tawaran dari Konsorsium Sastra dan Filsafat Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan untuk mengikuti penataran filologi di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, pada 20 Juni hingga 10 Juli 1973, yang kemudian berlanjut dengan
penelitian filologi dan menjadi doktor filologi.
Menurut Edi, kajian sejarah kerajaan di Indonesia antara abad 16-17
M. sumbernya banyak terdapat pada naskah. Namun, naskah tidak bisa begitu serta
merta menjadi sumber sejarah. Naskah memerlukan kajian tersendiri yang disebut
studi filologi sebelum dijadikan sumber sejarah. Sejarawan belum bisa
menggunakan naskah yang belum diteliti filolog, bahkan perlu dikritik secara
internal dan eksternal. Jika sudah lolos maka bisa digunakan bahan penulisan
sejarah; yang sebelumnya diberi interpretasi kemudian baru dituliskan
(historiografi).
“Idealnya, pertama-pertama naskah itu dikerjakan oleh para filolog.
Hasil pekerjaan mereka, kemudian digunakan oleh para sejarawan. Tapi masalahnya
ialah masih sedikit sekali naskah yang telah digarap secara filologis,” tulis
Edi. Keadaan ini memungkinkan munculnya dua pilihan: sejarawan menunggu hasil
filolog sehingga menunda rekonstruksi sejarah karena masih belum tersedianya
bahan; atau sejarawan terjun langsung menjadi filolog dan hasilnya dijadikan
bahan atau sumber untuk rekonstruksi sejarah. Tampaknya (almarhum) Edi
memilih yang kedua—meski dalam bukunya lebih kentara kajian filologis ketimbang
historis.
Mengapa CDU Diteliti?
Tentu setiap karya ilmiah memiliki latar belakang dan tujuan dari
setiap kajian penelitian yang dilakukannya. Ada tiga alasan Edi melakukan
kajian atas naskah-naskah CDU. Pertama, alasan sastra bahwa sepanjang
abad 18-20 M. ceritera Dipati Ukur telah menarik perhatian orang-orang Priangan
dan non Priangan sehingga masuk dalam naskah sastra Sunda yang ditulis dalam
bentuk tembang, wawacan, dan babad.
Kedua, alasan historis bahwa Dipati Ukur merupakan tokoh nyata dan
peristiwanya ditulis berdasarkan kesaksian-kesaksian orang Belanda sehingga
“adanya” dalam sejarah bisa membantu atau menambah keragaman sejarah kesundaan.
Apalagi sejumlah naskah yang ditulis dalam bentuk karya sastra Sunda dalam ilmu
sejarah termasuk historiografi tradisional sehingga CDU memiliki tempat untuk
dikaji dengan ilmu sejarah.
Ketiga, alasan kesundaan yang dalam masyarakat Sunda, khususnya Bandung,
Dipati Ukur merupakan pahlawan yang membela Tatar Sunda dan rela mengorbankan
dirinya untuk rakyatnya sehingga patut dikenang. Itulah sebabnya nama Dipati
Ukur menjadi nama jalan, bioskop, dan sekolah.
Tentu alasan di atas bisa dianggap sebagai upaya menggali warisan
leluhur Sunda untuk memperkaya dan penunjang pengembangan kebudayaan Indonesia.
Pendekatan dan Metode Penelitian
Sebagai karya ilmiah, yang digunakan Edi dalam penelitian
desertasinya menggunakan pendekatan ilmu sastra, filologi, dan sejarah. Objek
yang ditelitinya adalah naskah-naskah yang di dalamnya terdapat CDU. Pencarian
naskah dilakukan dengan meneliti data-data kepustakaan dan arsip-arsip sejarah.
Juga melakukan kerja lapangan mengunjungi lokasi-lokasi atau tradisi lisan yang
berkembang di masyarakat Sunda dan melakukan wawancara dengan orang-orang yang
dianggap mengetahui atau terkait dengan CDU.
Pencarian naskah yang dimulai 1974-1977 telah dilakukan hingga ke
negeri Belanda dan Inggris. Di Belanda meneliti di Universiteit Bibliotheek
Leiden, Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde Bibliotheek,
Rijksarchief Den Haag. Penelitian di Inggris dilakukan di British Museum dan Indian
Office Library. Sedangkan penelitian dalam negeri dilakukan di Museum Pusat
Jakarta, Arsip Nasional Jakarta, Tepas Kapujanggaan Yogyakarta, dan
Perpustakaan Kirtya Bandung.
Sementara penelitian lapangan untuk melihat peninggalan dan
dimungkinkan adanya tradisi lisan dari CDU dengan mengunjungi daerah-daerah
seperti Bandung, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Ciamis, Talaga, dan Banyumas.
Dari penelusuran kepustakaan ditemukan 23 naskah yang berkaitan
dengan CDU: 11 di Belanda, 2 di Inggris, 3 di Museum Pusat Jakarta, 1 di
Sumedang, 3 di Bandung, 1 Tasikmalaya, dan 3 di Garut.
Naskah-naskah yang ditemukan kemudian dibandingkan satu sama lain
untuk dilihat persamaan dan perbedaannya. Selain dari naskah, CDU didapatkan
dari penerbitan karya orang Belanda seperti Salomon, P. van Oort, K.F Holle, C.W.
Walbeehm, P. de Roo de la Faile, dan J. A. van der Chijs (diterjemahkan dalam
bahasa Sunda oleh Raden Karta Winata). Juga dari dalam negeri yang menerbitkan
seperti Handi Suhandi, Emuch Hermansoemantri, R.A.A Martanagara, M.K.
Hardjakoesoema, Rohendy Sumardinata, dan Supis. Ditemukan pula catatan dan
laporan tertulis dari orang-orang Belanda dalam bentuk surat-surat laporan
resmi kepada Gubernur Jenderal Belanda dan jurnal wakil Nakhoda Abraham.
Dari penelusuran tempat atau daerah, jejak-jejak berupa piagam, naskah,
tumpukan batu, benda keramat, benteng pertahanan, pemukiman (saat lari dari
kejaran pasukan Mataram), batu kerbau, pecahan keramik, keris, kujang, dan
lainnya yang disebutkan dalam naskah sebagai lokasi-lokasi keberadaan Dipati
Ukur. Di antaranya daerah Pabuntelan, Desa Tenjonagara, Pacet, Kabupaten
Bandung; Gunung Lumbung di Cililin, Pasir Ipis, Bandung Selatan; Cangkuang,
Garut; Tangerang; Karawang; Pelabuhan Ratu, Sukabumi; dan lainnya.
Tentang kuburan Dipati Ukur muncul beragam pendapat. Ada yang menyebutkan
di Astana Luhur Desa Bojongmanggu, Pameungpeuk; puncak Gunung Geulis, Desa
Manggahang dan Rancakole Ciparay; tepi Sungai Citarum, Desa Manggahang; Gunung
Sadu, Soreang; Kampung Cikatul, Desa Tenjonagara, Pacet; Astana Handap, Banjaran; Gunung Tikukur, Desa
Manggahang; Pasir Luhur, Ujung Berung; dan Karang, Tasikmalaya.
Pemilahan Sumber
Naskah dan penerbitan yang ditemukan kemudian dipilah dan disusun
berdasarkan asal usul pengarang, identitas tokoh yang ditonjolkan, serta unsur
persamaan dan perbedaan dalam setiap cerita Dipati Ukur dibagi menjadi delapan
versi: Galuh, Sukapura (Tasikmalaya), Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram,
dan Batavia.
Bahasa yang digunakan dalam naskah yang mengandung CDU adalah Sunda,
Jawa, dan Belanda. Sedangkan huruf yang digunakan adalah huruf Jawa, Jawa
Sunda, Pegon, dan Latin.
Cerita versi Galuh, Dipati Ukur
ditonjolkan sebagai tokoh pemberontak terhadap Mataram sehingga layak ditumpas.
Karena sakti sehingga sulit dikalahkan. Dipati Ukur hanya bisa dikalahkan oleh Bagus
Sutapura dari Kawasen, Galuh. Ia ditangkap bersama 10.000 orang rakyatnya dan
dihukum mati di Mataram. Beberapa pejabat daerah Priangan yang turut dalam
penangkapan oleh Sultan Mataram diangkat menjadi tumenggung dan Rangga Gempol yang
menjadi pelapor dari pemberontakan Dipati Ukur diangkat sebagai patih Mataram.
Cerita versi Sukapura disebutkan Dipati
Ukur sebagai pemberontak, berada pada pihak yang salah, dan tidak berani
bertanggung jawab. Sedangkan tokoh dari Mataram seperti Tumenggung Bahureksa
dan Sultan Mataram sebagai penguasa yang tindakannya postif dan berada dalam
kemenangan saat perang melawan Dipati Ukur. Disebutkan tiga bupati di Priangan
yang turut menumpas gerakan Dipati Ukur mengirimkan gadis untuk Sultan Mataram
sehingga mereka diangkat menjadi tumenggung.
Cerita versi Sumedang disebutkan
Dipati Ukur dihubungkan dengan peristiwa penaklukan Sampang yang gagal. Dipati
Ukur sebagai tokoh pemberontak Mataram dan Sultan Mataram sebagai tokoh yang
tegas dalam menghukum bawahannya yang bersalah. Pangeran Sumedang disebut bupati
setia pada Mataram yang diceritakan lebih banyak dari Dipati Ukur.
Cerita versi Bandung diterangkan
Dipati Ukur adalah keturunan Raja Pajajaran Sunda. Seorang yang patuh pada
perintah Sultan Mataram sehingga menyerang orang kulit putih ke Pulau Kelapa.
Dalam perjalanan, Dipati Ukur mendapat informasi bahwa utusan Mataram yang
tinggal di Ukur melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada istrinya. Dipati
Ukur kembali ke Ukur dan langsung menghukum mati utusan Mataram tersebut.
Karena gagal menyerang dan utusan dibunuh maka Dipati Ukur dianggap membangkang
kemudian diperangi pasukan Mataram.
Dalam versi Bandung ini ada dua versi. Pertama, rakyat Ukur
mengalami kekalahan sehingga Dipati Ukur mengganti pakaian kebesaran dan
menyamar menjadi rakyat biasa. Pakaian kebesaran dipakai seorang panakawan sehingga
ditangkap Dipati Ukur palsu dan dibawa ke Mataram. Dipati Ukur palsu ini
direndam dalam air selama tujuh hari, ditusuk dengan berbagai senjata, dan
dimasukan dalam kandang macan. Namun, Dipati Ukur palsu itu tetap hidup. Karena
kebal dengan senjata sehingga ia dibebaskan dan diambil oleh Sultan Cirebon
menjadi prajurit. Tokoh ini dalam buku Dipati Ukur bernama Raden
Wangsanata.
Sedangkan Dipati Ukur yang asli lolos dari kepungan pasukan Mataram
kemudian berangkat ke Makkah dan bermukim. Setelah aman, kembali ke Bandung dan
menetap hingga wafat yang dikuburkan di Gunung Geulis. Versi kedua, Dipati
Ukur dan rakyat Ukur tidak terkalahkan dan bertahan di Gunung Lumbung. Pihak
Mataram menggunakan siasat dengan diberi obat oleh pedagang sehingga tertidur.
Ketika itulah Dipati Ukur dibawa ke Mataram dan dijatuhi hukuman mati. Pengisahan
tokoh Dipati Ukur lebih luas dan tokoh lain hanya menjadi pelengkap keseluruhan
cerita.
Cerita versi Talaga sama dengan
versi Bandung. Tokoh Dipati Ukur dalam naskah Mangle Arum bernama
Adipati Wangsanata atau Adipati Ukur Wangsanata. Cerita tidak berakhir dengan
kematian Dipati Ukur, tetapi berakhir dengan keberangkatannya ke Makkah.
Cerita versi Banten menyebutkan
penyerangan Mataram ke Jakarta, pemberontakan Dipati Ukur, menjalin hubungan
baik dengan Banten, dan Susunan Mataram digambarkan tokoh penguasa. Juga
disebutkan orang Sumedang tidak setia kepada Dipati Ukur.
Cerita versi Mataram menyebutkannya
secara singkat. Dalam Babad Sengkala, Babad Nithitik, dan Babad Tanah
Jawi bahwa pasukan Mataram berangkat untuk memerangi Dipati Ukur
yang memberontak. Mataram menang dan Dipati Ukur ditawan kemudian dijatuhi
hukuman mati.
Cerita versi Batavia disebutkan
pasukan Ukur dari Sumedang dan Mataram menyerang Batavia. Kedua pasukan itu
tidak menyerang secara bersamaan sehingga bisa dikalahkan. Kekalahan itu membuat
pasukan Ukur takut dengan hukuman Sultan Mataram sehingga berhubungan dengan
Banten. Kemudian rakyat Ukur dan Sumedang dianggap memberontak pada Mataram
sehingga diperanginya dan tawanan pun dihukum mati.
Mengapa beragam versi?
Naskah yang disebutkan di atas tidak lahir karena kesadaran manusia
untuk menyimpan pengetahuan atau informasi sejarah untuk dibaca generasi di
masa depan. Edi menyebutkan bahwa setiap kalangan bangsawan atau kepala daerah
membutuhkan legitimasi sejarah, baik dari leluhur atau kedudukan dalam
masyarakat. Leluhur yang kuat, baik, dan sakti akan berpengaruh dalam
kedudukannya dan membawa kekuatan pada keturunannya. Setiap kali naskah itu
dibuat dan terjadi pergantian kekuasaan maka orang yang berkepentingan menuliskan
cerita baru dengan menambahkan pada cerita lama. Kemudian dibuat naskah atau
semacam buku pegangan sebagai peneguh dan pengokoh kedudukannya.
Tidak heran jika naskah banyak ditemukan pada kerajaan-kerajaan
atau kalangan bangsawan dan orang-orang yang leluhurnya pernah menjadi pemegang
kekuasaan. Naskah dipelihara oleh ahli warisnya secara turun temurun. Bahkan, disimpan
dalam peti resmi (kandaga) kabupaten atau kerajaan.
Di Yogyakarta dan Surakarta, naskah (yang di dalamnya berupa
silsilah raja dan keturunan kerajaan) bukan sekadar menunjukkan legitimasi
politik, juga berhubungan dengan kegiatan sakral dan kekuatan gaib.
Sejumlah naskah di Ciamis, Garut, Majalaya, Pabuntelan, dan lainnya
hingga sekarang masih dikeramatkan sehingga tidak sembarang orang bisa
mengaksesnya. Ada waktu-waktu khusus dan upacara tertentu yang harus dilakukan
jika hendak membuka naskah tersebut.
Bisa dipahami kalau kemudian muncul naskah-naskah dan penerbitan
cerita Dipati Ukur dalam beragam versi. Tentu di dalamnya mengandung muatan
politik dan upaya-upaya menguatkan kedudukan pemegang kekuasaan, sesuai dengan
tempat beradanya naskah.
Edi menyebutkan CDU versi Galuh, versi Sumedang, versi Talaga, versi
Banten, dan versi Mataram, berfungsi untuk mempertinggi derajat dan kebesaran
penguasa setempat. Kemudian versi Galuh, versi Sukapura, dan versi Sumedang,
memiliki untuk mensahkan tokoh-tokoh setempat dan keturunan mereka sebagai
kepala daerah setempat. Juga sebagai pengakuan kekuasaan Belanda dari penguasa
pribumi yang tercantum dalam versi Galuh, Sukapura, dan Batavia. Bahkan untuk
membela nama baik tokoh Dipati Ukur dan pedoman perjuangan orang Sunda
dibuatlah penerbitan cerita dalam bentuk oleh Daya Sunda.
Dilihat dari fungsi tersebut tidak heran kalau ada sejarawan yang
menolak naskah digunakan sebagai sumber sejarah. Apalagi naskah CDU dianggap
karya sejarah. Meski sejumlah naskah klasik seperti babad, tambo, wawacan, dan
lainnya disebut historiografi tradisional, tetapi tetap bukan sebuah karya
sejarah melainkan sastra sejarah. Karena itu, sejumlah naskah yang berisikan
cerita Dipati Ukur—sebagaimana dinyatkan oleh Edi—bahwa pada tingkat tertentu
CDU-CDU itu dapat dijadikan sebagai sumber sejarah (dengan catatan diuji
berdasarkan kritik historis) dan dilanjutkan dengan kajian sejarah.
Sekadar catatan bahwa buku Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda ini masuk kategori karya filologi. Dalam buku ini, Prof Edi Suhardi Ekadjati
telah menunjukan cara dan langkah pengerjaan dalam pengolahan naskah dengan baik. Hanya
saja dalam buku ini, saya tidak menemukan konteks historis dari cerita Dipati
Ukur sehingga terasa kering.
Untuk orang yang sudah mengenal tokoh tersebut tidak akan menjadi
soal, tetapi bagi yang awam dengan sejarah kekuasaan Sunda akan kebingungan. Bahkan, pada bagian pendahuluan atau latar
belakang tidak disebutkan siapa tokoh yang bernama Dipati Ukur. Dan, saya kira ini
memang nanti menjadi lahan garapan para sejarawan yang memiliki minat dalam
kajian tokoh dan kekuasaan Sunda. ***
Bandung, 21 September 2014