Kemudin tahun 2019, di bulan suci Ramadhan sekira satu pekan sebelum Idul Fitri, saya menemukan terjemahannya dengan judul sama. Diterbitkan Ircisod Yogyakarta tahun 2018. Tebalnya 422 halaman. Lebih tebal dari buku edisi berbahasa Inggris. Saya beli buku terjemahnya dengan harga sekira delapan puluh ribu rupiah. Dibaca sampai tuntas. Buku tersebut termasuk telat saya baca karena banyak gangguan aktivitas. Biasanya kurang dari tiga hari sudah tuntas baca buku.
Secara isi buku After The Prophet ini menguraikan tentang sejarah yang dimulai dari setelah Rasulullah saw wafat sampai peristiwa tragis di Karbala. Dibagi dalam tiga bab: Muhammad, Ali, dan Husain. Menarik dan renyah narasi cerita yang disusunnya karena menggunakan model novel alias bercerita. Sehingga tidak muncul kesan ilmiah yang agak jlimet saat dibaca. Ini saya kira bagian dari perkembangan dalam historiografi (tadwin at-tarikh).
Uraian buku After The Prophet dibuka dengan peristiwa di
Karbala (Irak) berupa bom bunuh diri oleh kaum teroris di makam Imam Husain as
dan diakhiri juga dengan opini semangat Husain yang menginspirasi revolusi
Iran.
Pada bab Muhammad diceritakan
tentang peristiwa tertinggalnya Aisyah kemudian ke Madinah bersama pria muda
sehingga menjadi kemelut rumah tangga Nabi. Dari sini sosok Ali dibenci oleh
Aisyah karena telah memberikan saran agar cari istri lagi.
Ceritanya terus bergerak pada
sikap Nabi pada Khadijah dan putrinya. Kedekatan Nabi pada putrinya, Ali dan
anak-anaknya. Kecemburuan Aisyah ditampakkan dalam narasi yang menarik.
Kemudian bab ini berakhir dengan penguburan Nabi oleh Ali dan rebutan jabatan
khalifah di Saqifah antara Muhajirin dan Anshar. Dimenangkan oleh kaum
Muhajirin dengan baiat kepada Abubakar.
Masuk pada bab Ali.
Kronologis dari masa khalifah Abubakar, Umar bin Khatab, dan penyerangan kepada
Utsman bin Affan yang berujung wafat. Ali lantas diangkat oleh umat Islam
sebagai khalifah. Peristiwa berdarah dimulai saat Aisyah bersama pasukannya
melawan Khalifah Ali, Muawiyah dan pasukannya melawan Khalifah Ali, dan kaum
Khawarij ikut memerangi Khalifah Ali. Sampai tiba wafat Khalifah Ali akibat
bacokan pedang seorang Khawarij saat shalat subuh di bulan Ramadhan.
Cerita berlanjut dengan
kekuasaan Muawiyah yang mendirikan imperium Umayyah, menekan masyarakat Kufah
dan menugaskan seorang istri Imam Hasan agar meracuninya. Akhirnya Hasan putra
Ali wafat. Seiring dengan kematian Muawiyah, Yazid putranya ditetapkan menjadi
khalifah Umayyah. Seperti Muawiyah memerangi Ali dan meracun Hasan, Yazid pun
menyuruh pasukannya untuk bantai Imam Husain bersama 72 orang yang
menyertainya. Karbala tahun 680 M. banjir darah atas pembantaian pasukan
Umayyah yang berjumlah ribuan kepada kafilah Imam Husain. Saya kira ini bukan
perang, tetapi pemusnahan. Dan kejadian ini senantiasa tidak terlupakan dalam
ingatan kaum Muslim sepanjang zaman. Setiap 10 Muharam, di Karbala, orang-orang
Islam berjubel hadir dan mengenang peristiwa tragis yang menimpa keluarga Nabi
Muhammad saw.
Pada bab Husain ini alur
peristiwa dinarasikan kronologis sampai peristiwa kembalinya keluarga Imam
Husain ke Madinah. Dan pada bab ini Lesley Hazleton membubui narasi dengan
opini Ali Syariati dan menyebut revolusi Iran terinspirasi dari gerakan Husain
saat menentang kezaliman Bani Umayyah. Ya, memang sejarah bisa menjadi
pelajaran dan menggerakkan manusia untuk berubah dan mengubah.
Buku After the Prophet ini
secara historiografi bercorak naratif. Dengan gaya penuturan mirip novel. Tidak
kaku dan enak dibaca. Uraiannya mengalir. Dan saya mengira ini bukan karya
sejarah yang bersifat akademik. Mungkin bisa dikatakan narasi jurnalistik. Dan
memang Lesley ini memiliki keahlian jurnalistik dan latar pendidikan bidang
psikologi. Ditambah minat baca sejarah Islam klasik yang kuat, sehingga sumber
penulisan pun dirujuk dari Thabari, Ibnu Ishaq, Ibnu Saad, dan Al-Baladzuri.
Tentu juga bacaan karya ilmuwan kontemporer pun disajikan di akhir buku sebagai
rujukan.
Satu hal yang menurut saya
perlu dipertanyakan: mengapa Lesley Hazleton masih tertarik dengan rekonstruksi
sejarah politik yang berdarah-darah? Tidak ada kemajuan, kebaruan analisa, dan
sekadar perulangan saja dari orientalis abad 18-19 M. Beda dengan karyanya yang
berjudul The First Moslem,
sangat mencerahkan dengan narasi yang kuat dalam menyajikan serpihan sejarah
yang tidak kenal unsur politik. Namun, lebih pada peran dan kontribusi Sang
Nabi di Jazirah Arabia. Bagi
peminat sejarah, buku ini layak dibaca! *** (ahmad
sahidin)