Nama
Tasaro GK dalam jagad kesusastraan Indonesia kontemporer sudah tidak asing
lagi. Ia dikenal aktivis Forum Lingkar Pena (FLP). Setelah novel Galaksi
Kinanthi, selanjutnya Tasaro pada tahun 2010 melahirkan novel Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan.
Bukunya diterbitkan Bentang Pustaka, Yogyakarta. Peluncurannya pun tidak
tanggung-tanggung menghadirkan sejarahwan Prof Azyumardi Azra yang memberikan
apresiasi positif atas lahirnya Sirah Nabawiyah versi novel.
Novel
ini berisi dua cerita berbeda yang disatukan dalam satu masa (periode abad 7
masehi). Yang pertama berkaitan dengan sejarah perjuangan Muhammad saw dan
proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab. Sedangkan kedua adalah
menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang utusan terakhir Tuhan.
Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Muhammad saw dan cerita kedua
berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi. Dua elemen dasar
penulisana inilah yang menjadikan novel Tasaro berbeda dari novel-novel nabi
yang beredar di masyarakat.
Membaca
novel ini, bagi mereka yang bergelut dalam studi agama-agama atau perbandingan
agama, muncul kesan pembenaran atas nubuwwah Muhammad bin Abdullah yang menjadi
Nabi terakhir (versi Islam). Hal itu tampak dari beberapa kutipan Kitab Suci
kuno yang di dalamnya mewartakan tentang munculnya sosok utusan Tuhan akhir
zaman. Mungkin akan sangat bagus untuk dibahas kembali oleh mereka yang bergiat
dalam wacana pluralisme dan studi agama-agama. Siapa tahu kutipan ayat-ayat
yang dianggap penulis novel ini meramalkan hadirnya utusan Tuhan yang terakhir
(Muhammad saw) tidak benar menurut para tokoh agama-agama yang kitab sucinya
disebutkan dalam novel ini.
Melalui
sosok Kashva, Tasaro bercerita dengan bahasa mengalir tentang perjalanan
seorang pencari kebenaran yang menelusuri jejak utusan akhir zaman (Nabi Allah)
dari satu kitab suci ke kitab suci lainnya. Keluar dari Persia untuk menemukan
sosok utusan Tuhan yang dikabarkan dalam kitab suci agama Zoroaster, Hindu,
Budha, Kristen, dan lainnya. Ia berkelana sampai ke India, Pegunungan Es,
Tibet, dan Cina, hanya untuk menemukan sosok utusan Tuhan yang dikabarkan dalam
berbagai Kitab Suci.
Kabar
perihal adanya utusan Tuhan (terakhir) itu Kashva dapatkan dari seorang kawan
jauh yang melakukan surat menyurat. Elyas namanya, berasal dari Syiria. Dialah
yang mengabari Kashva perihal adanya utusan Tuhan di Tanah Arab yang disebutkan
dalam berbagai Kitab Suci.
Anehnya,
Kashva dalam pencariannya yang dikejar-kejar pasukan Khosrou (penguasa Persia)
tidak langsung ke Makkah melalui Irak, Syiria, Yordan, dan Arab. Namun, malah
memilih jalur tempuh lain yang secara logika malah menjauh. Tampaknya ambisi
ruhaniah (spiritual) Kashva untuk mengonfirmasi kebenaran tentang adanya utusan
terakhir Tuhan yang disebutkan dalam kitab-kitab suci. Akan tetapi, perjalanan
Kashva dalam novel ini baru sampai Tibet. Berakhirkah di sana? Tidak! Kabarnya,
perjalanan Kashva dilanjutkan dalam novel kedua yang sedang ditulis Tasaro.
Pada
cerita Muhammad saw, Tasaro menceritakan sejarah lahirnya Islam di Tanah Arab
dan reaksi hadirnya Muhammad saw di tangah masyarakat jahiliah. Bahasa yang
digunakan Tasaro GK terasa menyentuh emosi sehingga adegan demi adegan dan
babak demi babak terasa hidup.
Pada
kisah Perang Uhud dan sosok tentara Muslimah pembela Nabi saw hadir dengan
lugas, apik, dan menyentuh. Terasa pada adegan cabut mata panah dari wajah
Muhammad saw seakan-akan pembaca melihat sendiri kejadiannya. Termasuk mukjizat
memancarnya air dengan celupan anak panah pun dimunculkan oleh Tasaro GK.
Cerita Muhammad saw dalam novel ini kemudian berakhir dengan ajakan masuk Islam
melalui surat kepada Raja Persia (Dinasti Sassania), Kavadh.
Tasaro
memang piawai dalam mengolah bahasa dan kata sehingga terasa hidup ketika
membacanya. Namun Tasaro juga tidak luput dari kekurangan, khususnya lemah
dalam melakukan seleksi sumber penulisan novelnya.
Saya
menduga bahwa Tasaro sangat meyakini buku-buku sejarah Muhammad saw yang
beredar sudah melalui tahapan kajian sejarah dan menggangapnya sudah menjadi
kebenaran umum. Karena itu, Tasaro tidak menyeleksi sumber-sumber sejarah yang
valid dalam menuliskan kisah Muhammad pada novelnya. Saya menemukan fakta
sejarah Nabi Muhammad saw yang secara nilai bukannya menunjukkan kemuliaan dan
keagungan malah merendahkan.
Hal
ini tampak pada bagian 14, Perempuan Suci: Mekkah, 610 Masehi, diceritakan
Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw dengan cara yang mengerikan,
didekap dengan keras sampai kepayahan, ketakutan, dan tidak mengetahui perihal
kenabiannya. Padahal dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, adh-Dhuha
[93]: 6-11, dan al-Insyirah [94]: 1-3, bahwa yang mendapatkan petunjuk (wahyu)
jiwanya akan merasakan tenang, tenteram, gembira, dan dadanya lega. Orang yang
mendapat wahyu seperti Muhammad bin Abdullah seharusnya digambarkan bahagia
karena merasakan ketenteraman luarbiasa. Bukan sebaliknya.
Kemudian
pada bagian 15, Kesaksian Waraqah. Disebutkan bahwa Khadijah mendatangi
Waraqah, seorang ahli kitab yang juga masih ada hubungan saudara dengan
Khadijah, untuk menanyakan kejadian yang dialami suaminya di Gua Hira.Waraqah
membenarkan bahwa yang datang itu malaikat yang diutus Allah untuk memberi
wahyu.
Dari
kisah tersebut jelas sebuah keanehan yang tidak dapat diterima dengan nalar
bahwa seorang calon Nabi tidak tahu kalau dirinya akan mendapat wahyu sehingga
harus diyakinkan oleh tokoh Nasrani. Betulkah kisah ini? Dari riwayat tersebut
tampaknya ada sebuah pesan yang menyelusup bahwa Islam dan nabinya, Muhammad
saw, ditemukan melalui ajaran Kristen. Padahal, kalau melihat rentang masa
diangkatnya Nabi Isa as ke langit hingga munculnya Muhammad saw selaku Nabi
terakhir sangat jauh.
Prof.Dr.’Adil
Thaha Yunus dalam kitab Hayah Al-Anbiya: Baina Haqa’iq At-Tarikh wa
Al-Mukhtasyafat Al-Atsariyyah Al-Jadidah (Kairo-Mesir:Maktabah Quran, 1990)
menyebutkan bahwa jarak antara kelahiran Nabi Isa as dan kelahiran Nabi
Muhammad Saw adalah 571 tahun. Mungkinkah selama empat abad lamanya ajaran Nabi
Isa as masih murni? Kalau selama hidup Nabi Isa as saja masih terjadi
penyimpangan ajaran Allah, apalagi ketika sesudah wafatnya pasti sudah jauh
dari benar. Dengan demikian, riwayat tersebut perlu dikaji kembali secara
metodologi sejarah. Selama belum terbukti validitas sumbernya, wajib untuk
tidak dipercaya.
Kisah
lainnya yang perlu dikaji adalah kasus hilangnya kalung Aisyah (11, Kalung
Aisyah) yang menyambung dengan isu Nabi hendak menceraikan Aisyah (12.Desas
Desus) karena dianggap ’selingkuh’ dengan pemuda Shafwan bin Al-Mu’attal. Pada
kisah ini Tasaro cukup lihai dengan menghilangkan konsultasi Rasulullah saw
kepada Usamah bin Zaid dan 'Ali bin Abi Thalib tentang kasus tersebut. Padahal,
dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar
bahwa Usamah menyatakan desas-desus tersebut bohong. Sedangkan Ali bin Abi
Thalib mengatakan, "Wahai Rasul! Masih banyak perempuan dan engkau bisa
mendapatkan gantinya!...”
Apabila
kita lihat dengan akal sehat bahwa sangat tidak mungkin seorang Nabi yang
senantiasa berada dalam naungan Allah dan mendapatkan pencerahan Ilahiah
berkonsultasi dengan seorang Usamah yang ketika itu belum berumur 17 tahun dan
belum berpengalaman dalam urusan rumah tangga. Sedangkan meminta pendapat Ali, suami putri Rasulullah saw, dapat dinilai wajar karena sudah
berkeluarga dan termasuk pintu ilmu Rasulullah saw. Tidak aneh kalau kisah ini
pula yang mengompori Aisyah bin Abu Bakar untuk menentang kepemimpinan Ali bin
Abu Thalib hingga terjadi Perang Jamal. Mungkin, Aisyah masih merasa sakit hati atas
komentar Ali yang disampaikan kepada Rasulullah saw.
Beberapa
kisah itu yang membuat saya makin yakin bahwa ada masalah dalam takhrijul
hadits (seleksi hadis) dan tadwinul hadits (penyusunan hadis) sehingga lolos
dan dianggap sebagai kebenaran. Lantas bagaimana kita sebagai umat Islam
menyikapinya? Tentunya harus berani melakukan kajian kritis atas semua riwayat
atau sumber penulisan Sirah Nabawiyah. Mampukah? Ah ini mah urusan ahli hadis. Kita mah tinggal baca saja hasil riset mereka. Juga dalam urusan beragama, saya mah ikut saja kepada ahlinya. *** (ahmad sahidin)