Minggu, 22 November 2020

Membaca (novel) Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan



Nama Tasaro GK dalam jagad kesusastraan Indonesia kontemporer sudah tidak asing lagi. Ia dikenal aktivis Forum Lingkar Pena (FLP). Setelah novel Galaksi Kinanthi,  selanjutnya Tasaro pada tahun 2010 melahirkan novel 
Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

Bukunya diterbitkan Bentang Pustaka, Yogyakarta. Peluncurannya pun tidak tanggung-tanggung menghadirkan sejarahwan Prof Azyumardi Azra yang memberikan apresiasi positif atas lahirnya Sirah Nabawiyah versi novel. 

Novel ini berisi dua cerita berbeda yang disatukan dalam satu masa (periode abad 7 masehi).  Yang pertama berkaitan dengan sejarah perjuangan Muhammad saw dan proses dakwah Islam di Makkah dan Madinah, Arab. Sedangkan kedua adalah menceritakan sosok Kashva yang mencari kebenaran tentang utusan terakhir Tuhan. Cerita pertama berdasarkan catatan sejarah Muhammad saw dan cerita kedua berdasarkan bacaan yang dihadirkan dalam bentuk imajinasi. Dua elemen dasar penulisana inilah yang menjadikan novel Tasaro berbeda dari novel-novel nabi yang beredar di masyarakat.

Membaca novel ini, bagi mereka yang bergelut dalam studi agama-agama atau perbandingan agama, muncul kesan pembenaran atas nubuwwah Muhammad bin Abdullah yang menjadi Nabi terakhir (versi Islam). Hal itu tampak dari beberapa kutipan Kitab Suci kuno yang di dalamnya mewartakan tentang munculnya sosok utusan Tuhan akhir zaman. Mungkin akan sangat bagus untuk dibahas kembali oleh mereka yang bergiat dalam wacana pluralisme dan studi agama-agama. Siapa tahu kutipan ayat-ayat yang dianggap penulis novel ini meramalkan hadirnya utusan Tuhan yang terakhir (Muhammad saw) tidak benar menurut para tokoh agama-agama yang kitab sucinya disebutkan dalam novel ini.

Melalui sosok Kashva, Tasaro bercerita dengan bahasa mengalir tentang perjalanan seorang pencari kebenaran yang menelusuri jejak utusan akhir zaman (Nabi Allah) dari satu kitab suci ke kitab suci lainnya. Keluar dari Persia untuk menemukan sosok utusan Tuhan yang dikabarkan dalam kitab suci agama Zoroaster, Hindu, Budha, Kristen, dan lainnya. Ia berkelana sampai ke India, Pegunungan Es, Tibet, dan Cina, hanya untuk menemukan sosok utusan Tuhan yang dikabarkan dalam berbagai Kitab Suci.

Kabar perihal adanya utusan Tuhan (terakhir) itu Kashva dapatkan dari seorang kawan jauh yang melakukan surat menyurat. Elyas namanya, berasal dari Syiria. Dialah yang mengabari Kashva perihal adanya utusan Tuhan di Tanah Arab yang disebutkan dalam berbagai Kitab Suci.

Anehnya, Kashva dalam pencariannya yang dikejar-kejar pasukan Khosrou (penguasa Persia) tidak langsung ke Makkah melalui Irak, Syiria, Yordan, dan Arab. Namun, malah memilih jalur tempuh lain yang secara logika malah menjauh. Tampaknya ambisi ruhaniah (spiritual) Kashva untuk mengonfirmasi kebenaran tentang adanya utusan terakhir Tuhan yang disebutkan dalam kitab-kitab suci. Akan tetapi, perjalanan Kashva dalam novel ini baru sampai Tibet. Berakhirkah di sana? Tidak! Kabarnya, perjalanan Kashva dilanjutkan dalam novel kedua yang sedang ditulis Tasaro.

Pada cerita Muhammad saw, Tasaro menceritakan sejarah lahirnya Islam di Tanah Arab dan reaksi hadirnya Muhammad saw di tangah masyarakat jahiliah. Bahasa yang digunakan Tasaro GK terasa menyentuh emosi sehingga adegan demi adegan dan babak demi babak terasa hidup.

Pada kisah Perang Uhud dan sosok tentara Muslimah pembela Nabi saw hadir dengan lugas, apik, dan menyentuh. Terasa pada adegan cabut mata panah dari wajah Muhammad saw seakan-akan pembaca melihat sendiri kejadiannya. Termasuk mukjizat memancarnya air dengan celupan anak panah pun dimunculkan oleh Tasaro GK. Cerita Muhammad saw dalam novel ini kemudian berakhir dengan ajakan masuk Islam melalui surat kepada Raja Persia (Dinasti Sassania), Kavadh.

Tasaro memang piawai dalam mengolah bahasa dan kata sehingga terasa hidup ketika membacanya. Namun Tasaro juga tidak luput dari kekurangan, khususnya lemah dalam melakukan seleksi sumber penulisan novelnya.

Saya menduga bahwa Tasaro sangat meyakini buku-buku sejarah Muhammad saw yang beredar sudah melalui tahapan kajian sejarah dan menggangapnya sudah menjadi kebenaran umum. Karena itu, Tasaro tidak menyeleksi sumber-sumber sejarah yang valid dalam menuliskan kisah Muhammad pada novelnya. Saya menemukan fakta sejarah Nabi Muhammad saw yang secara nilai bukannya menunjukkan kemuliaan dan keagungan malah merendahkan.

Hal ini tampak pada bagian 14, Perempuan Suci: Mekkah, 610 Masehi, diceritakan Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan, ketakutan, dan tidak mengetahui perihal kenabiannya. Padahal dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, adh-Dhuha [93]: 6-11, dan al-Insyirah [94]: 1-3, bahwa yang mendapatkan petunjuk (wahyu) jiwanya akan merasakan tenang, tenteram, gembira, dan dadanya lega. Orang yang mendapat wahyu seperti Muhammad bin Abdullah seharusnya digambarkan bahagia karena merasakan ketenteraman luarbiasa. Bukan sebaliknya.

Kemudian pada bagian 15, Kesaksian Waraqah. Disebutkan bahwa Khadijah mendatangi Waraqah, seorang ahli kitab yang juga masih ada hubungan saudara dengan Khadijah, untuk menanyakan kejadian yang dialami suaminya di Gua Hira.Waraqah membenarkan bahwa yang datang itu malaikat yang diutus Allah untuk memberi wahyu.

Dari kisah tersebut jelas sebuah keanehan yang tidak dapat diterima dengan nalar bahwa seorang calon Nabi tidak tahu kalau dirinya akan mendapat wahyu sehingga harus diyakinkan oleh tokoh Nasrani. Betulkah kisah ini? Dari riwayat tersebut tampaknya ada sebuah pesan yang menyelusup bahwa Islam dan nabinya, Muhammad saw, ditemukan melalui ajaran Kristen. Padahal, kalau melihat rentang masa diangkatnya Nabi Isa as ke langit hingga munculnya Muhammad saw selaku Nabi terakhir sangat jauh.

Prof.Dr.’Adil Thaha Yunus dalam kitab Hayah Al-Anbiya: Baina Haqa’iq At-Tarikh wa Al-Mukhtasyafat Al-Atsariyyah Al-Jadidah (Kairo-Mesir:Maktabah Quran, 1990) menyebutkan bahwa jarak antara kelahiran Nabi Isa as dan kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah 571 tahun. Mungkinkah selama empat abad lamanya ajaran Nabi Isa as masih murni? Kalau selama hidup Nabi Isa as saja masih terjadi penyimpangan ajaran Allah, apalagi ketika sesudah wafatnya pasti sudah jauh dari benar. Dengan demikian, riwayat tersebut perlu dikaji kembali secara metodologi sejarah. Selama belum terbukti validitas sumbernya, wajib untuk tidak dipercaya. 

Kisah lainnya yang perlu dikaji adalah kasus hilangnya kalung Aisyah (11, Kalung Aisyah) yang menyambung dengan isu Nabi hendak menceraikan Aisyah (12.Desas Desus) karena dianggap ’selingkuh’ dengan pemuda Shafwan bin Al-Mu’attal. Pada kisah ini Tasaro cukup lihai dengan menghilangkan konsultasi Rasulullah saw kepada Usamah bin Zaid dan 'Ali bin Abi Thalib tentang kasus tersebut. Padahal, dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar bahwa Usamah menyatakan desas-desus tersebut bohong. Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Wahai Rasul! Masih banyak perempuan dan engkau bisa mendapatkan gantinya!...”

Apabila kita lihat dengan akal sehat bahwa sangat tidak mungkin seorang Nabi yang senantiasa berada dalam naungan Allah dan mendapatkan pencerahan Ilahiah berkonsultasi dengan seorang Usamah yang ketika itu belum berumur 17 tahun dan belum berpengalaman dalam urusan rumah tangga. Sedangkan meminta pendapat Ali, suami putri Rasulullah saw, dapat dinilai wajar karena sudah berkeluarga dan termasuk pintu ilmu Rasulullah saw. Tidak aneh kalau kisah ini pula yang mengompori Aisyah bin Abu Bakar untuk menentang kepemimpinan Ali bin Abu Thalib hingga terjadi Perang Jamal. Mungkin, Aisyah masih merasa sakit hati atas komentar Ali yang disampaikan kepada Rasulullah saw.

Beberapa kisah itu yang membuat saya makin yakin bahwa ada masalah dalam takhrijul hadits (seleksi hadis) dan tadwinul hadits (penyusunan hadis) sehingga lolos dan dianggap sebagai kebenaran. Lantas bagaimana kita sebagai umat Islam menyikapinya? Tentunya harus berani melakukan kajian kritis atas semua riwayat atau sumber penulisan Sirah Nabawiyah. Mampukah? Ah ini mah urusan ahli hadis. Kita mah tinggal baca saja hasil riset mereka. Juga dalam urusan beragama, saya mah ikut saja kepada ahlinya. *** (ahmad sahidin)