DALAM Ensiklopedia Islam, yang terbit pada
1995, entri Isra Miraj, disebutkan bahwa pada suatu malam di Makkah, Nabi
Muhammad saw bersama malaikat Jibril berangkat ke Baitul Makdis (Aqsa) di
Palestina. Lalu Nabi dan malaikat Jibril naik ke langit demi langit secara
bertahap melewati tujuh tahap.
Pada langit pertama bertemu dengan Nabi Adam, yang di sebelah kanannya terlihat makhluk-makhluk yang tersenyum (berseri-seri) dan sebelah kirinya ada makhluk-makhluk yang meringis kesakitan; di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya; di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf; di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris; di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun; di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa; di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim yang bersandar ke baitul makmur.
Pada langit pertama bertemu dengan Nabi Adam, yang di sebelah kanannya terlihat makhluk-makhluk yang tersenyum (berseri-seri) dan sebelah kirinya ada makhluk-makhluk yang meringis kesakitan; di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya; di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf; di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris; di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun; di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa; di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim yang bersandar ke baitul makmur.
Dari langit ketujuh itu Nabi Muhammad saw naik
ke sidratul muntaha (yaitu suatu pohon besar yang rindang dan dari pokoknya
mengalir empat sungai, dua di surga dan dua di luarnya) dan di tempat itu pula
Nabi Muhammad saw melihat wujud asli malaikat Jibril. Di tempat ini Nabi
Muhammad saw meninggalkan Jibril dan naik ke mustawa atau qursiy (hadirat)
Allah. Di sini Nabi Muhammad saw menerima perintah shalat lima kali sehari—itu
pun setelah mengkonsultasikannya dengan para Nabi di langit sebelumnya—dan turun
kembali ke bumi.
Di Mekkah, Rasulullah saw mengabari masyarakat
tentang perjalanan spiritual tersebut kepada masyarakat. Beberapa orang kafir
dan musyrik menganggap peristiwa Isra Mi1raj sebagai cerita khalayan yang
dibuat-buat. Hanya orang-orang Muslim awal, seperti Abu Bakar, Ali Bin Abu
Thalib, istri-istri Nabi saw dan beberapa sahabat yang dekat saja yang meyakini
sebagai kebenaran.
Peristiwa Isra Mi`raj yang terekam dalam surat
Al-Isra (17) ayat 1, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi
Muhammad saw) pada malam hari dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda
(keagungan) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”, ini bukan
peristiwa biasa. Hanya keyakinan atau keimanan yang bisa menjadi dasar
penerimaan pertiwa perjalanan spiritual tersebut. Inilah salah satu mukjizat
Nabi Muhammad saw. Sebuah tanda kemuliaan Nabi Muhammad saw di antara para Nabi
lainnya karena dapat bertemu dan menerima perintah langsung dari Allah. Memang
Nabi Musa bertemu dengan Allah di Gunung Sinai. Namun, ia tidak langsung. Tuhan
hanya berbentuk cahaya api yang menyala dan mendengar suara saja.
Dari peristiwa Isra Mi`raj itu, Rasulullah saw
menerima perintah shalat sebagai ibadah harian bagi umat Islam. Bila
direnungkan, mengapa shalat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw?
Sebab shalat merupakan ibadah yang menghubungkan diri (hamba, makhluk) dengan
Allah sebagai pencipta dan juga menampakkan kebersamaan dengan umat Islam
lainnya.
Mufassir Quraish Shihab menjelaskan bahwa
dalam ibadah shalat, kesadaran spiritual dan sosial disimbolkan dengan ucapan
takbir diawal dan berakhir dengan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
Artinya, setiap Muslim yang menegakkan shalat, baru akan bermakna shalatnya
jika berlanjut dengan sikap kepedulian sosial di masyarakat. Sebab memang dua
dimensi (ritual dan sosial) ini yang terkandung dalam ajaran (wahyu) yang
diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
Selain shalat, pelajaran yang dapat diambil
dari perjalanan Isra Mi'raj Nabi Muhammad saw adalah dakwah atau syi`ar Islam.
Meski diejek dan dianggap gila, seorang Muslim harus tetap istiqamah dalam
menjalankan dan menyebarkan agamanya itu. Selain itu, Isra Mi`raj juga menjadi
pembeda sekaligus penegas antara yang beriman dan tidak beriman, kafir. Seorang
Muslim pasti akan meyakini Isra Mi`raj sebagai kebenaran, meskipun peristiwanya
tidak rasional (masuk akal) karena ini menyangkut aspek akidah Islam (tauhid).
Bila seorang Muslim meragukan kebenaran Isra Mi`raj, maka pantas untuk
diragukan keimanan dan keislamannya. Bila hal itu terus ada dalam dirinya, maka
bisa digolongkan dengan orang-orang kafir.
Pelajaran lainnya, menurut Nashir Makarim
Syirazi bahwa peristiwa Isra Mi`raj merupakan bukti Nabi Muhammad saw itu
sosok luar biasa yang berhasil melakukan perjalanan ke luar angkasa dengan
bantuan teknologi Ilahi. Pesawat buraq yang digunakannya pun melebihi kecepatan
pesawat yang digunakan para astoronot Barat.
Menurut Nashir bahwa Nabi saw tidak melakukan Mi`raj dengan
bantuan manusia. Dalam menempuh perjalanannya, Nabi saw bersandar pada kekuatan
di balik alam nyata serta dengan menggunakan medium yang sangat sempurna dan
meyakinkan, yaitu kekuatan Ilahi. Karena itu, peristiwa Ira Mi`raj bukan
pertiswa biasa, tapi mu`jizat Allah yang menunjukkan pada makhluk ciptaan-Nya
betapa agung kekuaasaan Allah. Umat Islam harus mengakuinya sebagai tanda
keagungan Allah Rabbul `Alamin. Aspek tauhid inilah yang harus tertanam pada
seorang Muslim, mengimani, taat pada perintah-Nya, dan berupaya menjauhi
larangan-Nya. *** (Ahmad Sahidin)