Senin, 30 Maret 2020

Khulafa Rasyidun: Khalifah Abu Bakar ra

Sejak pertemuan terbatas di Saqifah Bani Saidah maka terpilih Abu Bakar menjadi orang yang memimpin Madinah yang dikenal dengan istilah Khulafa Rasyidun. Abu Bakar bernama asli Atiq bin Usman bin Amir bin Amr dari kabilah Bani Taym, yang termasuk golongan bangsawan Makkah. Abu Bakar memerintah dari tahun 632 sampai 634 Masehi sebagai khalifah yang pertama yang berkuasa atas negeri-negeri yang dihuni oleh umat Islam meliputi Jazirah Arab. Abu Bakar adalah pemimpin setelah Rasulullah Saw yang mengatur urusan pemerintahan, politik, dan kehidupan umat Islam. 
Tidak semua orang Islam saat itu menerima Abu Bakar sebagai pemimpin.  Sa’d bin Ubadah dan kelompoknya tidak berbaiat kepada Abu Bakar, juga keluarga Rasulullah saw tidak menerimanya. Begitu pun keluarga Bani Hasyim, Al-Zubair, Utbah bin Abu Lahab, Khalid bin Said bin Al-Ash, Al-Miqdad bin Umar, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr, Ammar bin Yasir, dan Al-Barra bin Azib tidak memberikan baiatnya kepada Abu Bakar.

Sepuluh hari setelah pemilihan khalifah, Sayidah Fathimah mendatangi Khalifah Abu Bakar untuk menagih Tanah Fadak yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw dan sahm dzil qurba (khumus) yang disebutkan dalam al-Quran. Khalifah Abu Bakar meminta saksi bahwa Rasulullah saw telah menghibahkan kebun Fadak itu kepada Sayidah Fathimah. Sayidah Fathimah pun membawa Ummu ‘Aiman, yang oleh Rasulullah saw disebut sebagai ibu beliau yang kedua sesudah ibu kandungnya, Aminah, dan membawa Ali bin Abi Thalib sebagai saksi yang kedua. Namun, Khalifah Abu Bakar menolak kesak­sian ini dengan mengatakan bahwa kesaksian hanya dianggap sah jika terdiri dari dua laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Jawaban tersebut membuat Sayidah Fathimah marah.

Di hadapan Khalifah Abu Bakar, kaum Muhajirin dan Anshar, Sayidah Fathimah berkata, “Saya mulai dengan memuji Allah Yang Patut Dipuji. Segala Puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya dan terhadap apa yang diberikan-Nya.”

Selesai menyampaikan protes, Sayidah Fathimah bertanya: “Apabila Anda mati, wahai Abu Bakar, siapakah yang akan menerima warisan Anda?”

“Anakku dan keluargaku,” jawab Khalifah Abu Bakar. Sayyidah Fathimah bertanya lagi: “Mengapa Anda mengambil warisan Rasul yang menjadi hak anak dan keluarga beliau?”

Khalifah Abu Bakar menjawab: “Saya tidak berbuat begitu, wahai putri Rasul.”

Sayidah Fathimah berkata, “Tetapi Anda mengambil Fadak, hak Rasul Allah yang telah beliau berikan kepada saya semasa beliau masih hidup. Apakah Anda dengan sengaja meninggalkan Kitab Allah dan membela­kanginya serta mengabaikan firman Allah yang mengatakan, ‘Sulaiman menerima warisan dari Daud’ dan ketika Allâh mengisahkan tentang Zakaria serta firman Allah, ‘Dan keluarga sedarah lebih berhak waris mewarisi menurut Kitab Allah’?

“Allah berwasiat, ‘Bahwa anak laki-lakimu mendapat warisan seperti dua anak perempuan’. Dan firman Allâh, ‘Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta bahwa ia membuat wasiat bagi kedua orangtua dan keluarganya dengan cara yang baik, itu adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.’ Apakah Allah mengkhususkan ayat-ayat tersebut kepada Anda dan mengecualikan ayah saya daripadanya? Apakah Anda lebih mengetahui ayat-ayat yang khusus dan umum lebih dari ayah saya dan anak pamannya (Ali bin Abi Thalib)? Apakah Anda menganggap bahwa ayah saya berlainan agama dengan saya sehingga saya tidak berhak menerima wari­san?” (Ali Syariati, 2008: 285-288).

Setelah itu, Sayidah Fathimah kembali ke rumah meninggalkan Khalifah Abu Bakar. Tidak lama kemudian Khalifah Abu Bakar menulis surat yang isinya menyerahkan Tanah Fadak kepada Sayidah Fathimah. Mendengar kabar Khalifah Abu Bakar akan menyerahkan Tanah Fadak, segera Umar bin Khaththab menemui Abu Bakar kemudian bertanya, “Apa itu?”

Khalifah Abu Bakar menjawab, “Surat yang kutulis untuk Fathimah untuk warisannya dari ayahnya.”

Umar bin Khaththab berkata, “Dengan apa Anda membiayai kaum Muslim yang berperang untukmu melawan orang-orang Arab seperti yang engkau saksikan?” Kemudian Umar mengambil surat itu dan merobeknya (Ali Syariati, 2008: 285-288).

Kemudian sekelompok orang ditugaskan mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib dengan membawa kayu bakar (Rasul Ja`farian,  2006: 12-13).  Di rumah Ali, yang masih berdekatan dengan lokasi makam Rasulullah saw, mereka meminta Sayidah Fathimah dan keluarganya agar segera memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun para penghuni rumah itu tidak keluar. Mereka mengancam akan membakar rumah dengan kayu bakar kalau tidak segera keluar untuk berbaiat. Ali bin Abi Thalib segera keluar dari rumah. Ketika keluar dari pintu, Ali langsung dibelenggu dengan tali dan pedang yang mengarah ke lehernya. Sayyidah Fathimah pun segera keluar untuk membela suaminya. Segera perlakuan yang kurang pantas menimpanya. Akibatnya, kandungan Sayyidah Fathimah keguguran kemudian mengalami sakit hingga mengembuskan nafas terakhir pada Selasa, 3 Jumadits Tsani 11 H. Putri Rasulullah saw ini dikuburkan oleh suaminya pada malam hari di Baqi, Madinah Al-Munawwarah.

Sejak wafat istrinya, Ali bin Abi Thalib mengasingkan diri dan menekuni ilmu-ilmu yang diterima dari Rasulullah saw. Ada yang mengatakan bahwa ia mengumpulkan ayat-ayat al-Quran dalam sebuah mushaf sesuai dengan urutan turunnya wahyu serta mengklasifikasi beberapa ayat yang amm (umum) dan khashsh (khusus), mutlaq dan muqayyadmuhkamat dan mutasyabihat (Rasul Ja`farian, 1991:106-112).

Ketika Khalifah Abu Bakar berkuasa, Ali bin Abi Thalib memposisikan dirinya sebagai penasihat sekaligus tempat bertanya kaum Muslim berkaitan dengan masalah agama. Hal ini tampak dalam salah satu surat yang ditujukan kepada penguasa, Ali bin Abi Thalib menulis:

“…Aku tetap berpangku tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang meninggalkan Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk menghapuskan agama Muhammad saw. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan pemeluknya, akan kusaksikan terjadinya perpecahan dan kehancuran. Bagiku hal itu merupakan bencana yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kekuasaan. Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain hanyalah suatu kenikmatan sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah ada pada kalian akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya awan. Oleh karena itu, aku bangkit menghadapi kejadian itu, sampai semua kebatilan tersingkir musnah dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…” (H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, 1981: Bab VI).

Demi mempertahankan persatuan umat, Ali bin Abi Thalib bersama Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Ma`sud menjaga Madinah karena Khalifah Abu Bakar beserta pasukan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat ke pusat pemerintahan dan menindak pengikut nabi-nabi palsu yang menetap di Dhi-Hassi, Dhul-Qissa, Daba, dan Abraque (Syed Mahmudunnasir, 1994: 163-164).  

Selama berkuasa, Khalifah Abu Bakar menghentikan pemberian khums kepada kerabat (keluarga) Rasulullah saw dan membakar Fuja`ah Al-Silmi  hidup-hidup yang bertentangan dengan sunah Nabi saw; tidak menghukum Khalid bin Walid yang membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya hanya karena tidak mengirimkan zakatnya; melarang orang menulis dan meriwayatkan sunah Nabi saw serta membakar lima ratus kumpulan hadits; dan mengatakan saham jiddah (nenek) tidak ada di dalam al-Quran dan hadits Rasulullah saw.

Syed Mahmudunnasir mencatat beberapa kebijakan Khalifah Abu Bakar yang dinilai sebagai kontribusi terhadap Islam adalah memerangi orang-orang murtad yang dipelopori suku Ghatafan, melawan nabi-nabi palsu di Jazirah Arab dan Yaman, dan meluaskan syiar Islam ke wilayah kekaisaran Bizantium (Romawi) dan Sasanid (Persia) (1994161-170).

Sebelum meninggal, Khalifah Abu Bakar yang sedang sakit keras akibat diracun musuhnya mengangkat Umar bin Khaththab menjadi penggantinya melalui wasiat. Khalifah Abu Bakar meminta Utsman bin Affan untuk menulis surat wasiat yang isinya menunjuk Umar bin Khaththab sebagai pemimpin Madinah.

Setelah diumumkan, Khalifah Abu Bakar bertanya kepada pengawalnya, Muaiqab Ar-Rusi, tentang pengangkatan Umar.

Muaiqab menjawab, “Ada yang setuju dan ada yang tidak.” Khalifah Abu Bakar bertanya lagi, “Mana yang lebih banyak?” Muaiqab menjawab, “Yang tidak setuju.”

Kemudian Abu Bakar berkata, “Kebenaran pada awalnya selalu memperlihatkan sisi pahitnya, meski akhirnya yang jadi pemenang.”

Thalhah mengajukan keberatan atas dipilihnya Umar karena ia dikenal mudah menggunakan kekerasan ketimbang kearifan. Meski banyak yang tidak setuju, Khalifah Abu Bakar tetap memutuskan Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Apalagi keputusan Khalifah Abu Bakar itu dikuatkan oleh Ka’ab Al-Akhbar  bahwa Umar merupakan seorang khalifah yang namanya termaktub dalam kitab-kitab suci terdahulu. 

Tidak lama setelah itu, Khalifah Abu Bakar meninggal dunia dalam usia 63 tahun pada Senin, 23 Agustus 634 Masehi dan shalat jenazahnya dipimpin oleh Umar bin Khaththab. Abu Bakar dikuburkan di samping makam Rasulullah saw. *** 

(Sumber buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)