Sejak pertemuan terbatas di Saqifah Bani Saidah maka
terpilih Abu Bakar menjadi orang yang memimpin Madinah yang dikenal dengan
istilah Khulafa Rasyidun. Abu Bakar bernama
asli Atiq bin Usman bin Amir bin Amr dari kabilah Bani Taym, yang termasuk
golongan bangsawan Makkah. Abu Bakar memerintah dari tahun 632 sampai 634 Masehi sebagai
khalifah yang pertama yang berkuasa atas negeri-negeri yang dihuni oleh umat
Islam meliputi Jazirah Arab. Abu Bakar adalah pemimpin setelah Rasulullah Saw
yang mengatur urusan pemerintahan, politik, dan kehidupan umat Islam.
Tidak semua orang Islam saat itu menerima Abu Bakar sebagai pemimpin. Sa’d bin Ubadah dan kelompoknya tidak berbaiat kepada Abu Bakar, juga keluarga Rasulullah saw tidak menerimanya. Begitu pun keluarga Bani Hasyim, Al-Zubair, Utbah bin Abu Lahab, Khalid bin Said bin Al-Ash, Al-Miqdad bin Umar, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr, Ammar bin Yasir, dan Al-Barra bin Azib tidak memberikan baiatnya kepada Abu Bakar.
Tidak semua orang Islam saat itu menerima Abu Bakar sebagai pemimpin. Sa’d bin Ubadah dan kelompoknya tidak berbaiat kepada Abu Bakar, juga keluarga Rasulullah saw tidak menerimanya. Begitu pun keluarga Bani Hasyim, Al-Zubair, Utbah bin Abu Lahab, Khalid bin Said bin Al-Ash, Al-Miqdad bin Umar, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr, Ammar bin Yasir, dan Al-Barra bin Azib tidak memberikan baiatnya kepada Abu Bakar.
Sepuluh hari setelah
pemilihan khalifah, Sayidah Fathimah mendatangi Khalifah Abu Bakar untuk menagih Tanah Fadak yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw dan sahm
dzil qurba (khumus) yang disebutkan dalam al-Quran. Khalifah Abu Bakar meminta saksi bahwa Rasulullah saw telah
menghibahkan kebun Fadak itu kepada Sayidah Fathimah. Sayidah Fathimah pun
membawa Ummu ‘Aiman, yang oleh Rasulullah saw disebut sebagai ibu beliau yang
kedua sesudah ibu kandungnya, Aminah, dan membawa Ali bin Abi Thalib sebagai
saksi yang kedua. Namun, Khalifah Abu Bakar menolak kesaksian
ini dengan mengatakan bahwa kesaksian hanya dianggap sah jika terdiri dari dua
laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Jawaban tersebut membuat Sayidah Fathimah marah.
Di
hadapan Khalifah Abu Bakar, kaum Muhajirin dan Anshar, Sayidah Fathimah
berkata, “Saya mulai dengan memuji Allah Yang Patut Dipuji. Segala Puji bagi
Allah atas segala nikmat-Nya dan terhadap apa yang diberikan-Nya.”
Selesai
menyampaikan protes, Sayidah Fathimah bertanya: “Apabila Anda mati, wahai Abu
Bakar, siapakah yang akan menerima warisan Anda?”
“Anakku
dan keluargaku,” jawab Khalifah Abu Bakar. Sayyidah Fathimah bertanya lagi:
“Mengapa Anda mengambil warisan Rasul yang menjadi hak anak dan keluarga
beliau?”
Khalifah
Abu Bakar menjawab: “Saya tidak berbuat begitu, wahai putri Rasul.”
Sayidah
Fathimah berkata, “Tetapi Anda mengambil Fadak, hak Rasul Allah yang telah
beliau berikan kepada saya semasa beliau masih hidup. Apakah Anda dengan
sengaja meninggalkan Kitab Allah dan membelakanginya serta mengabaikan firman
Allah yang mengatakan, ‘Sulaiman menerima warisan dari Daud’ dan ketika Allâh
mengisahkan tentang Zakaria serta firman Allah, ‘Dan keluarga sedarah lebih
berhak waris mewarisi menurut Kitab Allah’?
“Allah
berwasiat, ‘Bahwa anak laki-lakimu mendapat warisan seperti dua anak
perempuan’. Dan firman Allâh, ‘Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang dari
kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta bahwa ia membuat wasiat bagi kedua
orangtua dan keluarganya dengan cara yang baik, itu adalah kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa.’ Apakah Allah mengkhususkan ayat-ayat tersebut
kepada Anda dan mengecualikan ayah saya daripadanya? Apakah Anda lebih
mengetahui ayat-ayat yang khusus dan umum lebih dari ayah saya dan anak
pamannya (Ali bin Abi Thalib)? Apakah Anda menganggap bahwa ayah saya berlainan
agama dengan saya sehingga saya tidak berhak menerima warisan?” (Ali
Syariati, 2008: 285-288).
Setelah
itu, Sayidah Fathimah kembali ke rumah meninggalkan Khalifah Abu
Bakar. Tidak lama kemudian Khalifah Abu Bakar menulis surat yang
isinya menyerahkan Tanah Fadak kepada Sayidah Fathimah. Mendengar kabar
Khalifah Abu Bakar akan menyerahkan Tanah Fadak, segera Umar bin Khaththab
menemui Abu Bakar kemudian bertanya, “Apa itu?”
Khalifah Abu
Bakar menjawab, “Surat yang kutulis untuk Fathimah untuk warisannya dari
ayahnya.”
Umar bin
Khaththab berkata, “Dengan apa Anda membiayai kaum Muslim yang berperang
untukmu melawan orang-orang Arab seperti yang engkau saksikan?” Kemudian Umar
mengambil surat itu dan merobeknya (Ali Syariati, 2008: 285-288).
Kemudian
sekelompok orang ditugaskan mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib dengan membawa
kayu bakar (Rasul Ja`farian, 2006: 12-13). Di rumah Ali, yang masih
berdekatan dengan lokasi makam Rasulullah saw, mereka meminta Sayidah Fathimah
dan keluarganya agar segera memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun para
penghuni rumah itu tidak keluar. Mereka mengancam akan membakar rumah dengan
kayu bakar kalau tidak segera keluar untuk berbaiat. Ali bin Abi Thalib segera
keluar dari rumah. Ketika keluar dari pintu, Ali langsung dibelenggu dengan
tali dan pedang yang mengarah ke lehernya. Sayyidah Fathimah pun segera keluar
untuk membela suaminya. Segera perlakuan yang kurang pantas menimpanya.
Akibatnya, kandungan Sayyidah Fathimah keguguran kemudian mengalami sakit
hingga mengembuskan nafas terakhir pada Selasa, 3 Jumadits Tsani 11 H. Putri
Rasulullah saw ini dikuburkan oleh suaminya pada malam hari di Baqi, Madinah
Al-Munawwarah.
Sejak
wafat istrinya, Ali bin Abi Thalib mengasingkan diri dan menekuni ilmu-ilmu
yang diterima dari Rasulullah saw. Ada yang mengatakan bahwa ia mengumpulkan
ayat-ayat al-Quran dalam sebuah mushaf sesuai dengan urutan
turunnya wahyu serta mengklasifikasi beberapa ayat yang amm (umum)
dan khashsh (khusus), mutlaq dan muqayyad, muhkamat dan mutasyabihat (Rasul
Ja`farian, 1991:106-112).
Ketika
Khalifah Abu Bakar berkuasa, Ali bin Abi Thalib memposisikan dirinya sebagai
penasihat sekaligus tempat bertanya kaum Muslim berkaitan dengan masalah agama.
Hal ini tampak dalam salah satu surat yang ditujukan kepada penguasa, Ali bin
Abi Thalib menulis:
“…Aku
tetap berpangku tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang
meninggalkan Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk
menghapuskan agama Muhammad saw. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan
pemeluknya, akan kusaksikan terjadinya perpecahan dan kehancuran. Bagiku hal
itu merupakan bencana yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kekuasaan.
Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain hanyalah suatu kenikmatan
sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah ada pada kalian
akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya awan.
Oleh karena itu, aku bangkit menghadapi kejadian itu, sampai semua kebatilan
tersingkir musnah dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…”
(H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, 1981: Bab VI).
Demi
mempertahankan persatuan umat, Ali bin Abi Thalib bersama Thalhah, Zubair, dan
Abdullah bin Ma`sud menjaga Madinah karena Khalifah Abu Bakar beserta pasukan
memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat ke pusat pemerintahan dan
menindak pengikut nabi-nabi palsu yang menetap di Dhi-Hassi, Dhul-Qissa, Daba,
dan Abraque (Syed Mahmudunnasir, 1994: 163-164).
Selama
berkuasa, Khalifah Abu Bakar menghentikan pemberian khums kepada
kerabat (keluarga) Rasulullah saw dan membakar Fuja`ah
Al-Silmi hidup-hidup yang bertentangan dengan sunah Nabi saw;
tidak menghukum Khalid bin Walid yang membunuh Malik bin Nuwairah dan
kabilahnya hanya karena tidak mengirimkan zakatnya; melarang orang menulis dan meriwayatkan sunah Nabi
saw serta membakar lima ratus kumpulan hadits; dan mengatakan saham jiddah (nenek) tidak
ada di dalam al-Quran dan hadits Rasulullah saw.
Syed Mahmudunnasir mencatat beberapa kebijakan Khalifah Abu Bakar yang dinilai sebagai kontribusi
terhadap Islam adalah memerangi orang-orang murtad yang dipelopori suku
Ghatafan, melawan nabi-nabi palsu di Jazirah Arab dan Yaman, dan meluaskan
syiar Islam ke wilayah kekaisaran Bizantium (Romawi) dan Sasanid (Persia) (1994: 161-170).
Sebelum meninggal, Khalifah Abu Bakar yang sedang sakit
keras akibat diracun musuhnya mengangkat Umar bin Khaththab menjadi
penggantinya melalui wasiat. Khalifah Abu Bakar meminta Utsman bin
Affan untuk menulis surat wasiat yang isinya menunjuk Umar bin Khaththab
sebagai pemimpin Madinah.
Setelah diumumkan, Khalifah Abu Bakar bertanya kepada
pengawalnya, Muaiqab Ar-Rusi, tentang pengangkatan Umar.
Muaiqab menjawab, “Ada yang setuju dan ada
yang tidak.” Khalifah Abu Bakar bertanya lagi, “Mana yang lebih banyak?” Muaiqab menjawab, “Yang tidak setuju.”
Kemudian Abu Bakar berkata, “Kebenaran pada awalnya
selalu memperlihatkan sisi pahitnya, meski akhirnya yang jadi pemenang.”
Thalhah mengajukan keberatan atas dipilihnya Umar karena
ia dikenal mudah menggunakan kekerasan ketimbang kearifan. Meski banyak yang tidak setuju, Khalifah Abu Bakar tetap memutuskan Umar bin Khaththab sebagai
penggantinya. Apalagi keputusan Khalifah Abu Bakar itu dikuatkan oleh
Ka’ab Al-Akhbar bahwa Umar merupakan seorang khalifah yang namanya
termaktub dalam kitab-kitab suci terdahulu.
Tidak lama setelah itu, Khalifah Abu Bakar meninggal dunia dalam usia 63 tahun pada Senin,
23 Agustus 634 Masehi dan shalat jenazahnya dipimpin
oleh Umar bin Khaththab. Abu Bakar dikuburkan di samping makam Rasulullah
saw. ***
(Sumber buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad
Sahidin. Penerbit Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)