DALAM bahasa Arab ada beberapa kata untuk
menunjukan kata kembali. Pertama adalah ‘id atau ‘aud, berasal dari
"‘ada-ya'ûdu-'îdan-wa-'audan", yang artinya kembali. Kata `Id
biasanya berdampingan Fitri, artinya suci. Jadi, Idul fitri artinya kembali
kepada fitrah. Namun ada yang mengatakan Fitri berasal dari kata Futhûr
sehingga Idul Fitri bisa bermakna kembali lagi kepada kegiatan seperti biasa.
Kedua adalah rujû' dari kata
"raja'a-yarji'u-rujû'an", yang artinya kembali lagi, yang biasanya
digunakan khusus untuk orang yang bercerai. Dalam Quran, kata Ruju' ini
maknanya kembali kepada Allah. Contohnya ayat "innalillahi wa inna ilaihi
raji'un—kita semua kepunyaan Allah dan hanya kepada Dia kita semua
kembali". Orang yang kembali disebut "raji" dan tempat
kembalinya disebut "marji'", seperti yang terdapat dalam ayat
"ilayya marji'ukum-Kepada Akulah kembali semua" (QS.Ali-Imran [ 3] :
55).
Ketiga adalah Taubat. Kata ini biasanya
digunakan untuk orang yang telah berbuat dosa, yang kemudian sadar atau kembali
pada jalan yang benar. Taubat berasal dari kata "Tâba-
Yatûbu-Taubatan". Orang yang kembali disebut Tâib dan yang kembalinya
berulang-ulang dan terus-menerus disebut Tawwâb. Dalam Quran surat al-Baqarah
[2] ayat 222 ada kalimat, "Innallãha yuhibbu tawwãbina wa yuhibul mutathahhirin-sesungguhnya
Allah mencintai orang yang banyak bertaubat dan memelihara kesucian
dirinya".
Dalam kitab Manãjilus Sãirin, disebutkan bahwa
manusia dalam menempuh perjalanan kepada Allah diawali dengan maqam (stasiun)
yaqzhah atau kesadaran. Yakni seorang manusia yang menyadari dirinya atas semua
dosa dan kekurangan amal, sehingga bergerak melakukan aktivitas yang baik,
bertaubat, dan memperbanyak amal.
Kesadaran untuk kembali pada "yang suci
dan jalan Ilahi" inilah biasanya disebut Idul Fitri, kembali pada
kesucian. Setiap manusia memang memiliki potensi "kesucian" yaitu
keinginan untuk kembali kepada Allah. Hasrat kembali pada Yang Mahasuci ini
selalu ada jauh dalam hati. Seperti "pelita" atau "cahaya"
Ilahi yang menyala dalam hati yang dalam Quran disebut ‘misykat'. "Allahu
nûrus samãwati wal ardh, matsalu nûrihi kamiskah, fîha misbah-perumpamaan
cahaya Allah itu seperti misykat. Yang di dalamnya ada pelita " (QS.An-Nur
(24):35). Misykat dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik.
Mungkin seperti kubah Masjid yang seringkali bercahaya karena ada lampu yang
memijar.
Begitu pun dengan diri manusia. Kaum Muslimin
selama satu bulan ditempa dalam madrasah ruhani, yaitu shaum ramadhan, akan
menampakan dirinya sebagai manusia bertakwa yang suci. Maka tak salah bila di
akhir Ramadhan semua umat Islam merayakan prestasi yang didapatnya itu dengan
shalat Idul Fitri, halal bi halal (bermaaf-maafan), silaturahmi ke saudara jauh
(mudik), dan menyempurnakan amal ibadahnya dengan shaum sunnah 6 hari.
Mereka yang meraih fitrah, diri yang suci
setelah menjalankan ibadah shaum Ramadhan, selayaknya bersyukur pada Allah dan
berupaya mempertahankan kualitas ibadah seperti di bulan Ramadhan. Kalau
Ramadhan biasanya shalat di Masjid, di luar Ramadhan pun harus dilakukan. Kalau
di bulan Ramadhan bisa tilawah Quran sampai khatam, kenapa tidak di bulan pun
khatam hingga beberapa kali. Intinya, setelah Ramadhan bagi Umat Islam bukan suasana
"balas dendam" untuk memanjakan nafsu badani. Juga bukan untuk
menjadikan diri sebagai makhluk yang konsumerisme, berlebih-lebihan dalam
segala hal.
Bukankah Ramadhan hanya satu bulan dalam
setahun? Artinya, Ramadhan itu ibarat perisai yang melindungi dari segala
serangan tombak dan anak panah selama setahun, sampai tiba kembali bulan
Ramadhan. Kalau diri ini sudah memiliki perisai, kenapa tidak digunakan untuk
menangkis hal-hal yang dapat menjerumuskan dalam kemaksiatan dan dosa dalam
kehidupan sehari-hari.