Minggu, 18 Juni 2017

Kembali dan Taubat

DALAM bahasa Arab ada beberapa kata untuk menunjukan kata kembali. Pertama adalah ‘id atau ‘aud, berasal dari "‘ada-ya'ûdu-'îdan-wa-'audan", yang artinya kembali. Kata `Id biasanya berdampingan Fitri, artinya suci. Jadi, Idul fitri artinya kembali kepada fitrah. Namun ada yang mengatakan Fitri berasal dari kata Futhûr sehingga Idul Fitri bisa bermakna kembali lagi kepada kegiatan seperti biasa.

Kedua adalah rujû' dari kata "raja'a-yarji'u-rujû'an", yang artinya kembali lagi, yang biasanya digunakan khusus untuk orang yang bercerai. Dalam Quran, kata Ruju' ini maknanya kembali kepada Allah. Contohnya ayat "innalillahi wa inna ilaihi raji'un—kita semua kepunyaan Allah dan hanya kepada Dia kita semua kembali". Orang yang kembali disebut "raji" dan tempat kembalinya disebut "marji'", seperti yang terdapat dalam ayat "ilayya marji'ukum-Kepada Akulah kembali semua" (QS.Ali-Imran [ 3] : 55).

Ketiga adalah Taubat. Kata ini biasanya digunakan untuk orang yang telah berbuat dosa, yang kemudian sadar atau kembali pada jalan yang benar. Taubat berasal dari kata "Tâba- Yatûbu-Taubatan". Orang yang kembali disebut Tâib dan yang kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut Tawwâb. Dalam Quran surat al-Baqarah [2] ayat 222 ada kalimat, "Innallãha yuhibbu tawwãbina wa yuhibul mutathahhirin-sesungguhnya Allah mencintai orang yang banyak bertaubat dan memelihara kesucian dirinya".

Dalam kitab Manãjilus Sãirin, disebutkan bahwa manusia dalam menempuh perjalanan kepada Allah diawali dengan maqam (stasiun) yaqzhah atau kesadaran. Yakni seorang manusia yang menyadari dirinya atas semua dosa dan kekurangan amal, sehingga bergerak melakukan aktivitas yang baik, bertaubat, dan memperbanyak amal.

Kesadaran untuk kembali pada "yang suci dan jalan Ilahi" inilah biasanya disebut Idul Fitri, kembali pada kesucian. Setiap manusia memang memiliki potensi "kesucian" yaitu keinginan untuk kembali kepada Allah. Hasrat kembali pada Yang Mahasuci ini selalu ada jauh dalam hati. Seperti "pelita" atau "cahaya" Ilahi yang menyala dalam hati yang dalam Quran disebut ‘misykat'. "Allahu nûrus samãwati wal ardh, matsalu nûrihi kamiskah, fîha misbah-perumpamaan cahaya Allah itu seperti misykat. Yang di dalamnya ada pelita " (QS.An-Nur (24):35). Misykat dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik. Mungkin seperti kubah Masjid yang seringkali bercahaya karena ada lampu yang memijar.

Begitu pun dengan diri manusia. Kaum Muslimin selama satu bulan ditempa dalam madrasah ruhani, yaitu shaum ramadhan, akan menampakan dirinya sebagai manusia bertakwa yang suci. Maka tak salah bila di akhir Ramadhan semua umat Islam merayakan prestasi yang didapatnya itu dengan shalat Idul Fitri, halal bi halal (bermaaf-maafan), silaturahmi ke saudara jauh (mudik), dan menyempurnakan amal ibadahnya dengan shaum sunnah 6 hari.

Mereka yang meraih fitrah, diri yang suci setelah menjalankan ibadah shaum Ramadhan, selayaknya bersyukur pada Allah dan berupaya mempertahankan kualitas ibadah seperti di bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan biasanya shalat di Masjid, di luar Ramadhan pun harus dilakukan. Kalau di bulan Ramadhan bisa tilawah Quran sampai khatam, kenapa tidak di bulan pun khatam hingga beberapa kali. Intinya, setelah Ramadhan bagi Umat Islam bukan suasana "balas dendam" untuk memanjakan nafsu badani. Juga bukan untuk menjadikan diri sebagai makhluk yang konsumerisme, berlebih-lebihan dalam segala hal.

Bukankah Ramadhan hanya satu bulan dalam setahun? Artinya, Ramadhan itu ibarat perisai yang melindungi dari segala serangan tombak dan anak panah selama setahun, sampai tiba kembali bulan Ramadhan. Kalau diri ini sudah memiliki perisai, kenapa tidak digunakan untuk menangkis hal-hal yang dapat menjerumuskan dalam kemaksiatan dan dosa dalam kehidupan sehari-hari.

Kesucian diri harus dipelihara dengan aktivitas-aktivias maslahat dan ibadah-ibadah fardhu dan sunah. Yang tak boleh dilupakan di hari Idul Fitri, kita tetap memperhatikan tetangga dan saudara-saudara kita yang tak mampu. Sisihkanlah rezeki kita sebagian untuk kebutuhan hidup mereka. Ajaklah mereka untuk bersama-sama menikmati indahnya suasana lebaran dan merasakan lezatnya makanan. Idul Fitri bukan hanya beli baju baru, menyediakan makanan lezat, menampakkan kemewahan, atau menambah koleksi dan aksesoris yang wah, tapi sebuah nilai untuk kembali pada "kesucian" Ilahi. Tentu saja, nilai tersebut harus kita jadikan landasan dalam semua aktivitas kehidupan sehari-hari. [ahmad sahidin]