Senin, 12 Juni 2017

Resensi buku Hayy bin Yaqdzan

HAYY BIN YAQDZAN adalah nama seorang manusia yang tinggal di Pulau Wak-wak. Ia disebutkan berasal dari tanah yang menggumpal dan lama kelamaan membentuk makhluk dan diberi ruh oleh Tuhan. Sehingga hidup dan menjalankan kehidupannya. Juga disebut Hayy lahir dari seorang perempuan keluarga raja yang melakukan “hubungan” tanpa restu raja. Khawatir diketahui buah hubungan itu, maka saat lahir diayunkan mengalir pada sungai hingga tiba di pulau Wak-wak dan menjadi manusia pertama yang berada di pulau tersebut.
Sudah fitrah manusia, lapar dan manusia menyergap. Bayi yang kemudian disebut Hayy bin Yaqdzan oleh Ibnu Thufail sebagai penulis novel, ditemukan seekor rusa betina yang kehilangan anaknya. Tangis anak itu menyebabkan rusa mendekatkan bagian dadanya pada mulut Hayy. Diminumlah air susu rusa. Hayy dibawa pada tempat dan dirawat oleh rusa sampai besar dan bisa bergerak, berjalan, serta melakukan aktivitas layaknya seekor rusa. Hingga pada satu saat: rusa betina yang menjadi induk Hayy itu mati. 

Hayy menggerakkan, memanggil, dan mengamati induknya. Namun, tak bangun. Hayy penasaran hingga melakukan riset sendiri. Menutup telinga, menutup mulut, menutup mata, dan menutup hidung. Dari laku itu diketahui bahwa jika ada yang tertutupi pada bagian tubuh maka tidak bisa berfungsi dengan baik. 

Hayy melihat bagian-bagian anggota tubuh rusa. Organ demi organ dilihat. Namun, tak ada yang tertutupi. Hayy memerhatikan semua organ tubuh rusa. Hayy bandingkan dengan rusa yang hidup. Pada bagian dada rusa yang hidup, bergerak-gerak. Sedangkan pada rusa induknya yang mati tidak bergerak. Hayy berkesimpulan bahwa pada bagian dada rusa induknya ada yang menghalangi. Hayy melakukan pembedahan. Dibedah dada rusa dan dilihat bagian jantung. Tidak ada sesuatu yang menghalanginya. Dari penyelidikan itu Hayy menyimpulkan “sesuatu” yang menyebabkan hidup telah pergi dari rusa induknya. Apakah itu? Hayy bertanya-tanya. Mencari-cari apakah itu? Tidak ditemukannya.

Hayy melihat seekor gagak membawa gagak yang mati. Mencungkil tanah dengan paruhnya. Setelah cukup dalam dimasukan gagak mati itu dalam tanah yang berlubang. Tanah ditimbunkan kembali dengan paruh hingga tertutupi. Hayy pun menirunya. Dengan tangannya mengggali tanah. Kemudian memasukan tubuh rusa yang mati. Ditimbun hingga tertutupi.

Sejak rusa induknya mati, Hayy menjadi pengembara. Di pulau itu ia memerhatikan setiap tumbuhan, binatang, batu-batuan, hewan air, dan memerhatikan api yang membakar pohon kering akibat panas yang terik. Hayy coba memegang api. Tangannya tidak kuat. Segera ambil kayu dan didekatkan pada api hingga terbakar. Kayu berapi itu dibawa pada gua. Dipertahankan terus menyala dengan pasokan kayu-kayu dan rumput kering. 

Seekor ikan ditemukan dekat sungai. Hayy bawa kemudian masukan pada api dan terbakar dengan harum yang menggoda perut. Hayy ambil bagian yang sudah dibakar itu dan dimakannya. Terasa enak dan kemudian setiap lapar Hayy ambil ikan dan dibakarnya, tidak lagi memakan buah-buahan dan rumput seperti rusa. Hayy melihat binatang memakan binatang lainnya. Mengambil sisa yang dimakannya dan dimasukan pada api. Seperti perlakukannya pada ikan, dimakannya daging binatang tersebut. Dan dari peristiwa itu Hayy menemukan bahwa ada ikan dan binatang bisa dikonsumsi. 

Dari pengalaman dan percobaan yang dilakukannya pada binatang dan tumbuhan, Hayy menemukan dan bisa membedakan mana yang bisa dimakan dan tidak. Dari tumbuhan diketahui mana yang bisa dimakan dan tidak. Mana yang jarang dan mana yang banyak. Serta mengetahui pertumbuhan dari pohon-pohonan dan tumbuhan, dan perkembangan biak dari setiap binatang.

Setelah mengetahui gerak dan kehidupan binatang, tumbuhan, tanah, air, udara, dan api. Hayy memerhatikan gerakan di langit. Matahari, bulan, bintang, dan gelap pun dipelajari. Mengapa dan kenapa? Dan siapa yang menggerakan semuanya. Itulah pertanyaan yang tak terjawab. Hayy memikirkannya. Ia berdiam di gua memikirkannya. Ia menutup matanya dan coba membayangkan “siapa” dibalik semua gerak semesta alam ini. Terus menerus ia mencari dan dalam diri menetapkan ada “Sang Wujud” yang tidak diketahuinya.

Diceritakan seseorang dari pulau lain bernama Salaman. Pergi ke pulau Wak-wak dan tinggal sendirian. Ia khususkan dirinya untuk ibadah dan menyepi. Seperti pelaku tasawuf, benar-benar mengasingkan diri dari keramaian. Dan, suatu ketika Hayy melihat Salaman. Hayy bandingkan makhluk yang dilihatnya dengan binatang yang pernah dilihatnya. Tidak ada yang sama. Lalu, bandingkan dengan dirinya ternyata ada kesamaan. Dari sosok Salaman itu Hayy menyimpulkan bahwa dirinya sama dengannya.

Hayy menyergap Salaman. Kaget dan segera Salaman pergi. Salaman baru sadar di pulau itu ternyata ada manusia. Segera bersembunyi. Hayy pun membiarkannya. Hayy memperhatikan gerak dan laku dari Salaman dari tempat tersembunyi. Hayy memperhatikan gerakan Salaman: berdiri, membungkukkan badan, menjatuhkan dahi, duduk, jatuhkan dahi, dan berdiri lagi. Hayy juga memperhatikan gerak mulut dan suara dari Salaman. Suara itu tidak ada bandingannya dengan yang pernah ia lihat dan temukan di pulau tersebut.

Karena semakin penasaran, Hayy menangkap Salaman dan dari mulutnya keluar suara seperti rusa dan binatang. Salaman sadar bahwa yang menagkapnya itu manusia. Kemudian diajak untuk bicara dengan gerakan tangan. Diberi makanan yang dijadikan bekal. Keduanya memakan. Salaman mengajari Hayy bicara, berlaku lampah seperti manusia. Hingga kemudian bisa bicara. Hayy dan Salaman menjadi dua manusia yang dekat dan saling berbagi informasi. Hayy ceritakan semua pengalaman yang ditemukan dan dialaminya, termasuk menanyakan sebab dari semua gerak semesta alam. Salaman mengajari agama dan menyatakan sebab yang menggerakan itu Tuhan. Keduanya beribadah dalam gua. Hingga tiba suatu saat Hayy ingin mengetahui kehidupan di luar pulau Wak-wak. Dibawalah pada pulau tempat Salaman berasal.

Bertemulah dengan orang-orang dan Hayy menyampaikan temuan-temuan yang didapatkannya di pulau Wak-wak. Hayy mengajak orang-orang untuk percaya dan yakin ada kekuatan di semesta alam yang dahsyat; yang kepadanya harus menyembah dengan cara-cara yang dilakukannya. Namun, orang-orang tidak tertarik dengan cara Hayy. Karena tidak berhasil, maka Hayy dan Salaman kembali pada pulau Wak-wak dan hidup hingga mati keduanya.

Apa yang saya dapatkan?
Sayang ceritanya berakhir di kematian keduanya tanpa ada detail kejadian dan kronologi hidup selama di pulau terpencil itu. Mungkin Ibnu Thufail sengaja tidak memberikan detail karena kehidupan manusia sama saja. Ibnu Thufail, selaku penulis Muslim yang hidup di Andalusia, dengan novelnya: Hayy bin Yaqdzan telah memberikan sumbangan dalam “pendidikan” pencarian ilmu dan spiritual melalui novelnya. Ibnu Thufail ini dari biografi adalah guru dari Ibnu Rusyd, filsuf Andalusia, yang banyak memiliki kontribusi dalam filsafat dan ilmu-ilmu agama. Keduanya hidup pada abad 14-15 Masehi.  

Sekadar catatan saja tentang novel Hayy bin Yaqdzan. Saya membacanya dari terjemahan yang diterbitkan Navila. Nah, apa yang saya dapatkan darinya?

Pertama, dari alur perjalanan novel itu bisa dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan bisa melalui pengalaman: berupa pengamatan inderawi dan merenungkan semua yang diamatinya. Hasil dari pengamatan yang puncaknya sampai menemukan adanya “sang” sebab utama dari semesta ini, maka manusia bisa sampai pada spiritualitas tanpa bimbingan agama. Apa yang ditemukan melalui “pengalaman” bisa sesuai dengan yang diajarkan agama. Pertemuan Salaman dengan Hayya hingga terjadi bertukar informasi menunjukkan bahwa riset sains dengan agama tidak bertolak belakang. Malahan saling menguatkan satu sama lain.

Kedua, novel karya Ibnu Thufail telah menginspirasi cerita-cerita yang berkembang dalam jagad sastra tentang manusia tarzan dan sebuah gambaran tentang kehidupan manusia awal saat penciptaan dan menjalani kehidupannya di bumi.

Ketiga, ini yang saya kira perlu dikaji dan buka manuskrip aslinya dari Ibnu Thufail bahwa “riset” emperik dari Hayy bin Yaqdzan terpenggal belum sampai pada menemukan asal muasal dirinya. Ini saya kira akan jauh lebih penting karena diawal cerita saja sudah menyebutkan dua asal usul adanya Hayy. Harusnya kedua hal itu diselesaikan dalam bentuk narasi pula. Memang sekilas dengan mengikuti dan berlaku hidup serta membenarkan yang diajarkan oleh Salaman bisa diketahui bahwa Hayy bin Yaqdzan menyakini segalanya diciptakan dan bukan muncul dengan sendirinya. Tentu itu bagian dari teori agama tentang adanya Sang Pencipta: Tuhan.  

Ibnu Thufail melalui novelnya telah mengajarkan pada manusia, secara tidak langsung, untuk menjadi seorang penempuh ”sufi” dan hidup membujang. Namun, patut dipertanyakan: bukankah selama di Pulau Wak-wak, Hayy melihat kembang biak binatang? Mengapa tidak ada alur untuk coba kembang biak dirinya sendiri? Mengapa harus dibenarkan dengan agama? Bukankah dengan lepas saja dari sosok Salaman dan tidak dipertemukan pun, saya yakin penulisnya Ibnu Thufail bisa sampai pada adanya “Sebab” dari semesta ini: Tuhan, dengan tanpa penjelasan agama?

Saya mengira bahwa aspek teologi menjadi kunci dari novel karya Ibnu Thufail. Ingin rasanya membaca karya novel dari Ibnu Sina dan Suhrawardi, yang kabarnya sama menggunakan tokoh dengan nama yang dipakai oleh Ibnu Thufail yang sama-sama—konon—tentang pencarian manusia pada kebenaran. Pasti akan ada bedanya. Adakah yang punya dan mau share naskahnya? *** (ahmad sahidin)