HAYY BIN YAQDZAN adalah nama seorang
manusia yang tinggal di Pulau Wak-wak. Ia disebutkan berasal dari tanah yang
menggumpal dan lama kelamaan membentuk makhluk dan diberi ruh oleh Tuhan.
Sehingga hidup dan menjalankan kehidupannya. Juga disebut Hayy lahir dari
seorang perempuan keluarga raja yang melakukan “hubungan” tanpa restu raja. Khawatir
diketahui buah hubungan itu, maka saat lahir diayunkan mengalir pada sungai
hingga tiba di pulau Wak-wak dan menjadi manusia pertama yang berada di pulau
tersebut.
Sudah fitrah manusia, lapar dan manusia
menyergap. Bayi yang kemudian disebut Hayy bin Yaqdzan oleh Ibnu Thufail
sebagai penulis novel, ditemukan seekor rusa betina yang kehilangan anaknya. Tangis
anak itu menyebabkan rusa mendekatkan bagian dadanya pada mulut Hayy.
Diminumlah air susu rusa. Hayy dibawa pada tempat dan dirawat oleh rusa sampai besar dan bisa bergerak, berjalan, serta melakukan aktivitas layaknya seekor
rusa. Hingga pada satu saat: rusa betina yang menjadi induk Hayy itu mati.
Hayy
menggerakkan, memanggil, dan mengamati induknya. Namun, tak bangun. Hayy
penasaran hingga melakukan riset sendiri. Menutup telinga, menutup mulut, menutup
mata, dan menutup hidung. Dari laku itu diketahui bahwa jika ada yang tertutupi
pada bagian tubuh maka tidak bisa berfungsi dengan baik.
Hayy melihat
bagian-bagian anggota tubuh rusa. Organ demi organ dilihat. Namun, tak ada yang
tertutupi. Hayy memerhatikan semua organ tubuh rusa. Hayy bandingkan dengan
rusa yang hidup. Pada bagian dada rusa yang hidup, bergerak-gerak. Sedangkan pada
rusa induknya yang mati tidak bergerak. Hayy berkesimpulan bahwa pada bagian
dada rusa induknya ada yang menghalangi. Hayy melakukan pembedahan. Dibedah
dada rusa dan dilihat bagian jantung. Tidak ada sesuatu yang menghalanginya. Dari
penyelidikan itu Hayy menyimpulkan “sesuatu” yang menyebabkan hidup telah pergi
dari rusa induknya. Apakah itu? Hayy bertanya-tanya. Mencari-cari apakah itu?
Tidak ditemukannya.
Hayy melihat seekor gagak membawa gagak
yang mati. Mencungkil tanah dengan paruhnya. Setelah cukup dalam dimasukan
gagak mati itu dalam tanah yang berlubang. Tanah ditimbunkan kembali dengan
paruh hingga tertutupi. Hayy pun menirunya. Dengan tangannya mengggali tanah.
Kemudian memasukan tubuh rusa yang mati. Ditimbun hingga tertutupi.
Sejak rusa induknya mati, Hayy menjadi
pengembara. Di pulau itu ia memerhatikan setiap tumbuhan, binatang,
batu-batuan, hewan air, dan memerhatikan api yang membakar pohon kering akibat
panas yang terik. Hayy coba memegang api. Tangannya tidak kuat. Segera ambil
kayu dan didekatkan pada api hingga terbakar. Kayu berapi itu dibawa pada gua. Dipertahankan
terus menyala dengan pasokan kayu-kayu dan rumput kering.
Seekor ikan ditemukan
dekat sungai. Hayy bawa kemudian masukan pada api dan terbakar dengan harum
yang menggoda perut. Hayy ambil bagian yang sudah dibakar itu dan dimakannya.
Terasa enak dan kemudian setiap lapar Hayy ambil ikan dan dibakarnya, tidak
lagi memakan buah-buahan dan rumput seperti rusa. Hayy melihat binatang memakan
binatang lainnya. Mengambil sisa yang dimakannya dan dimasukan pada api. Seperti
perlakukannya pada ikan, dimakannya daging binatang tersebut. Dan dari peristiwa itu
Hayy menemukan bahwa ada ikan dan binatang bisa dikonsumsi.
Dari pengalaman dan
percobaan yang dilakukannya pada binatang dan tumbuhan, Hayy menemukan dan bisa
membedakan mana yang bisa dimakan dan tidak. Dari tumbuhan diketahui mana yang
bisa dimakan dan tidak. Mana yang jarang dan mana yang banyak. Serta mengetahui
pertumbuhan dari pohon-pohonan dan tumbuhan, dan perkembangan biak dari setiap binatang.
Setelah mengetahui gerak dan kehidupan
binatang, tumbuhan, tanah, air, udara, dan api. Hayy memerhatikan gerakan di
langit. Matahari, bulan, bintang, dan gelap pun dipelajari. Mengapa dan kenapa?
Dan siapa yang menggerakan semuanya. Itulah pertanyaan yang tak terjawab. Hayy
memikirkannya. Ia berdiam di gua memikirkannya. Ia menutup matanya dan coba membayangkan
“siapa” dibalik semua gerak semesta alam ini. Terus menerus ia mencari dan
dalam diri menetapkan ada “Sang Wujud” yang tidak diketahuinya.
Diceritakan seseorang dari pulau lain
bernama Salaman. Pergi ke pulau Wak-wak dan tinggal sendirian. Ia khususkan
dirinya untuk ibadah dan menyepi. Seperti pelaku tasawuf, benar-benar
mengasingkan diri dari keramaian. Dan, suatu ketika Hayy melihat Salaman. Hayy bandingkan
makhluk yang dilihatnya dengan binatang yang pernah dilihatnya. Tidak ada yang
sama. Lalu, bandingkan dengan dirinya ternyata ada kesamaan. Dari sosok Salaman
itu Hayy menyimpulkan bahwa dirinya sama dengannya.
Hayy menyergap Salaman. Kaget dan segera
Salaman pergi. Salaman baru sadar di pulau itu ternyata ada manusia. Segera bersembunyi.
Hayy pun membiarkannya. Hayy memperhatikan gerak dan laku dari Salaman dari
tempat tersembunyi. Hayy memperhatikan gerakan Salaman: berdiri, membungkukkan
badan, menjatuhkan dahi, duduk, jatuhkan dahi, dan berdiri lagi. Hayy juga
memperhatikan gerak mulut dan suara dari Salaman. Suara itu tidak ada
bandingannya dengan yang pernah ia lihat dan temukan di pulau tersebut.
Karena semakin penasaran, Hayy menangkap
Salaman dan dari mulutnya keluar suara seperti rusa dan binatang. Salaman sadar
bahwa yang menagkapnya itu manusia. Kemudian diajak untuk bicara dengan gerakan
tangan. Diberi makanan yang dijadikan bekal. Keduanya memakan. Salaman
mengajari Hayy bicara, berlaku lampah seperti manusia. Hingga kemudian bisa
bicara. Hayy dan Salaman menjadi dua manusia yang dekat dan saling berbagi
informasi. Hayy ceritakan semua pengalaman yang ditemukan dan dialaminya,
termasuk menanyakan sebab dari semua gerak semesta alam. Salaman mengajari
agama dan menyatakan sebab yang menggerakan itu Tuhan. Keduanya beribadah dalam
gua. Hingga tiba suatu saat Hayy ingin mengetahui kehidupan di luar pulau
Wak-wak. Dibawalah pada pulau tempat Salaman berasal.
Bertemulah dengan orang-orang dan Hayy
menyampaikan temuan-temuan yang didapatkannya di pulau Wak-wak. Hayy mengajak
orang-orang untuk percaya dan yakin ada kekuatan di semesta alam yang dahsyat;
yang kepadanya harus menyembah dengan cara-cara yang dilakukannya. Namun,
orang-orang tidak tertarik dengan cara Hayy. Karena tidak berhasil, maka Hayy
dan Salaman kembali pada pulau Wak-wak dan hidup hingga mati keduanya.
Apa
yang saya dapatkan?
Sayang ceritanya berakhir di kematian
keduanya tanpa ada detail kejadian dan kronologi hidup selama di pulau
terpencil itu. Mungkin Ibnu Thufail sengaja tidak memberikan detail karena
kehidupan manusia sama saja. Ibnu Thufail, selaku penulis Muslim yang hidup di
Andalusia, dengan novelnya: Hayy bin
Yaqdzan telah memberikan sumbangan dalam “pendidikan” pencarian ilmu dan
spiritual melalui novelnya. Ibnu Thufail ini dari biografi adalah guru dari
Ibnu Rusyd, filsuf Andalusia, yang banyak memiliki kontribusi dalam filsafat
dan ilmu-ilmu agama. Keduanya hidup pada abad 14-15 Masehi.
Sekadar catatan saja tentang novel Hayy bin Yaqdzan. Saya membacanya dari
terjemahan yang diterbitkan Navila. Nah, apa yang saya dapatkan darinya?
Pertama, dari alur perjalanan novel itu
bisa dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan bisa melalui
pengalaman: berupa pengamatan inderawi dan merenungkan semua yang diamatinya. Hasil
dari pengamatan yang puncaknya sampai menemukan adanya “sang” sebab utama dari
semesta ini, maka manusia bisa sampai pada spiritualitas tanpa bimbingan agama.
Apa yang ditemukan melalui “pengalaman” bisa sesuai dengan yang diajarkan
agama. Pertemuan Salaman dengan Hayya hingga terjadi bertukar informasi
menunjukkan bahwa riset sains dengan agama tidak bertolak belakang. Malahan saling
menguatkan satu sama lain.
Kedua, novel karya Ibnu Thufail telah
menginspirasi cerita-cerita yang berkembang dalam jagad sastra tentang manusia
tarzan dan sebuah gambaran tentang kehidupan manusia awal saat penciptaan dan
menjalani kehidupannya di bumi.
Ketiga, ini yang saya kira perlu dikaji
dan buka manuskrip aslinya dari Ibnu Thufail bahwa “riset” emperik dari Hayy
bin Yaqdzan terpenggal belum sampai pada menemukan asal muasal dirinya. Ini
saya kira akan jauh lebih penting karena diawal cerita saja sudah menyebutkan
dua asal usul adanya Hayy. Harusnya kedua hal itu diselesaikan dalam bentuk
narasi pula. Memang sekilas dengan mengikuti dan berlaku hidup serta
membenarkan yang diajarkan oleh Salaman bisa diketahui bahwa Hayy bin Yaqdzan
menyakini segalanya diciptakan dan bukan muncul dengan sendirinya. Tentu itu
bagian dari teori agama tentang adanya Sang Pencipta: Tuhan.
Ibnu Thufail melalui novelnya telah
mengajarkan pada manusia, secara tidak langsung, untuk menjadi seorang penempuh
”sufi” dan hidup membujang. Namun, patut dipertanyakan: bukankah selama di Pulau
Wak-wak, Hayy melihat kembang biak binatang? Mengapa tidak ada alur untuk coba
kembang biak dirinya sendiri? Mengapa harus dibenarkan dengan agama? Bukankah dengan
lepas saja dari sosok Salaman dan tidak dipertemukan pun, saya yakin penulisnya
Ibnu Thufail bisa sampai pada adanya “Sebab” dari semesta ini: Tuhan, dengan
tanpa penjelasan agama?
Saya mengira bahwa aspek teologi menjadi
kunci dari novel karya Ibnu Thufail. Ingin rasanya membaca karya novel dari
Ibnu Sina dan Suhrawardi, yang kabarnya sama menggunakan tokoh dengan nama yang
dipakai oleh Ibnu Thufail yang sama-sama—konon—tentang pencarian manusia pada
kebenaran. Pasti akan ada bedanya. Adakah yang punya dan mau share naskahnya? *** (ahmad sahidin)