Paham kepasrahan (fatalis) yang diusung Jabariyah ditentang kalangan
Qadariyah. Aliran teologi yang dikenal rasional dan mendukung kebebasan manusia
ini dipelopori seorang ulama Irak yang bernama Ma`bad Al-Juhani dan Ghilan
Ad-Dimasyqi dari Syam.
Ma`bad Al-Juhani suatu hari bertanya pada gurunya, Hasan Al-Basri, mengenai
penguasa Dinasti Umayyah yang sedang memerintah. “Sampai sejauhmana kebenaran
tindakan Dinasti Umayyah itu dalam anggapan mereka atas qadha dan qadar?”
tanyanya. Gurunya menjawab, “Mereka itu musuh-musuh Allah dan para pembohong.”[1]
Ma`bad juga ikut melakukan pemberontakan bersama Ibnu Asy'ats kepada
penguasa Dinasti Umayyah. Ia kemudian menjadi buronan dan tertangkap serta
kemudian dibunuh oleh Al-Hajjaj, pejabat Dinasti Umayyah. Sedangkan temannya,
Ghilan dijatuhi hukuman potong kedua tangan dan kaki serta disalib atas
perintah Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah. Keduanya dibunuh
karena menentang paham Jabariyah yang telah menjadi mazhab resmi Dinasti
Umayyah.
Qadariyah meyakini bahwa manusia bebas menentukan kehendak dan
perbuatannya, termasuk menentukan arah hidupnya. Karena itu, segala perbuatan
yang baik atau buruk merupakan resiko atas perbuatannya sendiri. Begitu juga
surga dan neraka, masuk dan tidaknya ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Apabila beramal baik, saleh, dan takwa, pasti masuk surga. Sedangkan neraka
diperuntukan bagi yang maksiat dan tidak beramal baik atau tidak taat pada
aturan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mempercayai adanya qadha karena
semua kejadian itu bersifat baru dan tidak diketahui Allah sebelumnya. Allah hanya
mengetahui setelah adanya kejadian atau tindakan makhluk-Nya.
Menurut pendapat Al-Auzai, orang pertama yang membicarakan masalah takdir, qadha,
dan qadar dengan berlebihan adalah penduduk Irak bernama Susan, seorang
Nasrani yang masuk Islam dan masuk Kristen lagi. Ma`bad mempelajari darinya dan
Ghilan yang mempopulerkannya dengan merujuk Al-Quran.[2]Ayat-ayat yang dijadikan
sebagai dalilnya adalah ''Siapa yang menginginkan (beriman) berimanlah,
siapa yang ingin (kafir) kafirlah'' (QS Al-Kahfi [18] : 29); ''Kami
tidak menganiaya manusia sedikit pun. Tetapi manusia lah yang menganiaya diri
mereka sendiri'' (QS Yunus [10]: 44); “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS
Al-Mudatsir [74]: 38); “Barang siapa yang mengerjakan amal
yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa mengerjakan
perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah
Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (QS Fushshilat [41] : 46); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS Al-Insan [76]: 3); “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra`du [13] : 11); dan lainnya.
Menurut Ibnu Hajar yang dinukil dari Al-Qurthubi, aliran Qadariyah ini
telah hilang karena pengikutnya terus-menerus diburu oleh penguasa Dinasti
Umayyah. Namun model pemikirannya yang rasional muncul dalam aliran Mu`tazilah.[]
(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin,
Memahami Aliran-aliran Dalam Islam.
Bandung: Acarya Media Utama, 2012).