Selasa, 16 Mei 2017

Qadariyah dan Ajarannya

Paham kepasrahan (fatalis) yang diusung Jabariyah ditentang kalangan Qadariyah. Aliran teologi yang dikenal rasional dan mendukung kebebasan manusia ini dipelopori seorang ulama Irak yang bernama Ma`bad Al-Juhani dan Ghilan Ad-Dimasyqi dari Syam.

Ma`bad Al-Juhani suatu hari bertanya pada gurunya, Hasan Al-Basri, mengenai penguasa Dinasti Umayyah yang sedang memerintah. “Sampai sejauhmana kebenaran tindakan Dinasti Umayyah itu dalam anggapan mereka atas qadha dan qadar?” tanyanya. Gurunya menjawab, “Mereka itu musuh-musuh Allah dan para pembohong.”[1]

Ma`bad juga ikut melakukan pemberontakan bersama Ibnu Asy'ats kepada penguasa Dinasti Umayyah. Ia kemudian menjadi buronan dan tertangkap serta kemudian dibunuh oleh Al-Hajjaj, pejabat Dinasti Umayyah. Sedangkan temannya, Ghilan dijatuhi hukuman potong kedua tangan dan kaki serta disalib atas perintah Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah. Keduanya dibunuh karena menentang paham Jabariyah yang telah menjadi mazhab resmi Dinasti Umayyah.

Qadariyah meyakini bahwa manusia bebas menentukan kehendak dan perbuatannya, termasuk menentukan arah hidupnya. Karena itu, segala perbuatan yang baik atau buruk merupakan resiko atas perbuatannya sendiri. Begitu juga surga dan neraka, masuk dan tidaknya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Apabila beramal baik, saleh, dan takwa, pasti masuk surga. Sedangkan neraka diperuntukan bagi yang maksiat dan tidak beramal baik atau tidak taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mempercayai adanya qadha karena semua kejadian itu bersifat baru dan tidak diketahui Allah sebelumnya. Allah hanya mengetahui setelah adanya kejadian atau tindakan makhluk-Nya.

Menurut pendapat Al-Auzai, orang pertama yang membicarakan masalah takdir, qadha, dan qadar dengan berlebihan adalah penduduk Irak bernama Susan, seorang Nasrani yang masuk Islam dan masuk Kristen lagi. Ma`bad mempelajari darinya dan Ghilan yang mempopulerkannya dengan merujuk Al-Quran.[2]Ayat-ayat yang dijadikan sebagai dalilnya adalah ''Siapa yang menginginkan (beriman) berimanlah, siapa yang ingin (kafir) kafirlah'' (QS Al-Kahfi [18] : 29); ''Kami tidak menganiaya manusia sedikit pun. Tetapi manusia lah yang menganiaya diri mereka sendiri'' (QS Yunus [10]: 44); “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya(QS Al-Mudatsir [74]: 38); Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya (QS Fushshilat [41] : 46); Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS Al-Insan [76]: 3); “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar-Ra`du [13] : 11); dan lainnya.

Menurut Ibnu Hajar yang dinukil dari Al-Qurthubi, aliran Qadariyah ini telah hilang karena pengikutnya terus-menerus diburu oleh penguasa Dinasti Umayyah. Namun model pemikirannya yang rasional muncul dalam aliran Mu`tazilah.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).




[1] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Takdirnya  (Jakarta: Basrie Press, 1991) h.34-35.