Syiah Imamiyah populer juga disebut Syiah Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) atau pengikut Ahlulbait.
Aliran ini percaya bahwa yang berhak memimpin dan menjadi otoritas dalam agama Islam setelah wafat
Rasulullah saw adalah Imam dari keturunan Rasulullah saw (Ahlulbait) yang berjumlah dua
belas orang.[1]
Di antaranya Imam Ali bin Abu Thalib (w.661 M.), Hasan bin Ali (625–669 M.), Husain bin Ali (626–680 M.), Ali bin Husain atau Zainal Abidin (658–713 M.), Muhammad bin Ali (676–743 M.), Jafar bin Muhammad atau Ja'far Ash-Shadiq (703–765 M.), Musa bin Ja'far (745–799 M.), Ali bin Musa (765–818 M.), Muhammad bin Ali (810–835 M.), Ali bin Muhammad (827–868 M.), Hasan bin Ali (846–874 M.), dan Muhammad bin Hasan atau Al-Mahdi Al-Muntazhar yang mengalami kegaiban tahun 874 M. atau setelah wafatnya Imam ke-11. Para imam yang dua belas ini diyakini oleh pengikutnya sebagai orang yang terjaga dari dosa dan kesalahan (ma'sum) sehingga layak dijadikan uswatuh hasanah bagi umat Islam.
Di antaranya Imam Ali bin Abu Thalib (w.661 M.), Hasan bin Ali (625–669 M.), Husain bin Ali (626–680 M.), Ali bin Husain atau Zainal Abidin (658–713 M.), Muhammad bin Ali (676–743 M.), Jafar bin Muhammad atau Ja'far Ash-Shadiq (703–765 M.), Musa bin Ja'far (745–799 M.), Ali bin Musa (765–818 M.), Muhammad bin Ali (810–835 M.), Ali bin Muhammad (827–868 M.), Hasan bin Ali (846–874 M.), dan Muhammad bin Hasan atau Al-Mahdi Al-Muntazhar yang mengalami kegaiban tahun 874 M. atau setelah wafatnya Imam ke-11. Para imam yang dua belas ini diyakini oleh pengikutnya sebagai orang yang terjaga dari dosa dan kesalahan (ma'sum) sehingga layak dijadikan uswatuh hasanah bagi umat Islam.
Dalam fikih, mazhab Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fikih Sunni mazhab Imam Syafi`i.
Fikih Imaimyah kadang disebut Fikih Jafari—merujuk kepada Imam Jafar Ash-Shadiq
selaku guru dari para imam mazhab fikih Ahlussunnah yang empat. Imamiyah dan
Syafiiyah sama-sama melakukan qunut dalam shalat. Kalau fikih Syafii
menetapkan qunut pada rakaat kedua setelah rukuk dalam shalat subuh,
sedangkan Imamiyah melakukannya setiap selesai membaca surat Al-Quran sebelum
rukuk rakaat kedua dan ditetapkan pada semua shalat wajib.
Kemudian yang menbedakannya
dengan fikih Syafii adalah posisi gerakan tangan saat berdiri dalam shalat tidak
bersedekap, tetapi berada di samping selurus
dengan badan. Posisi tangan ini sama dengan shalat dari mazhab fikih Maliki. Pengikut mazhab Imamiyah dalam shalat melakukan sujud
di atas tanah yang sudah dikeringkan (turbah) atau tumbuhan yang tidak
dijadikan sebagai pakaian dan makanan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam
Jafar Ash-Shadiq, “Tidak boleh sujud kecuali di atas bumi atau yang tumbuh di
bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”[2]
Begitu juga tentang azan dan iqamah, dalam
fikih Imamiyah dilakukan oleh seorang imam shalat. Mereka yang menjadi imam shalat
diharuskan melakukan azan dan iqamah sebagai seruan untuk merapikan
barisan makmum yang ikut berjamaah dengannya.
Selain menggunakan rujukan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, juga merujuk pada pendapat yang diriwayatkan para Imam Syiah.
Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai dalil dalam
menetapkan hukum syara. Persoalan ibadah dan keagamaan harus
didasarkan pada Al-Quran, hadis
Rasulullah saw, dan Imam selaku penentu hukum. Atas dasar itulah pengikut Imamiyah menolak ijma’ kecuali ijma' bersama imam.
Dalam masalah ibadah sosial, Imamiyah tidak hanya membahas fikih zakat atau
infak dan sedekah, tapi juga khumus (seperlima) yang harus dikeluarkan
umat Islam. Dasar tentang khumus ini merujuk pada surat Al-Anfal ayat
41, “Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan
perang maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil.”
Imamiyah tidak mengartikan harta rampasan sebagai
harta yang diperoleh kaum Muslim dari harta orang-orang non-Muslim, tapi justru dimaknai lebih umum, yaitu harta rampasan perang, barang
tambang, harta karun (al-kanz), ghaush (harta hasil penyelaman
seperti mutiara, luk-luk dan marjan), pajak dari kafir dzimmi, dan harta
yang bercampur antara halal dan haram (deposito bank).[3]
Fatwa dalam fikih Imamiyah diambil dari riwayat-riwayat
Imam Jafar
Ash-Shadiq dan puteranya, Imam Musa Al-Kazhim, yang dikenal sebagai Imam Syiah
yang berhasil menyusun kitab fikih Al-Halal
wa Al-Haram dan Fikih ar-Righa karya Imam Ali Ar-Ridha (w. 203 H./
818 M.). Fatwa tersebut dikumpulkan oleh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin
Farwaij as-Saffar al-A'raj al-Qummi (w. 290 H.) dalam kitab Basya'ir
ad-Darajat fi 'Ulum 'Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Fatwa fikih
Imamiyah kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya'qub bin
Ishaq Al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya Al-Kafi fi`ilm Ad-Din dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama Imamiyah setelahnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kaum Syiah Imamiyah ini mengikuti Imam yang ditetapkan secara nash
oleh Imam sebelumnya. Misalnya setelah Imam Musa Kazim dilanjutkan oleh Ali Ar-Rida
berlanjut kepada Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad bin
Askari yang dikenal sebagai Al-Mahdi. Imam yang kedua belas ini gaib sehingga umat
mengikuti petunjuk dari para ulama yang disebut Marja Taqlid. Sampai sekarang
kaum Syiah patuh kepada Marja Taqlid di mana pun berada. []
(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin,
Memahami Aliran-aliran Dalam Islam.
Bandung: Acarya Media Utama, 2012).
[1] Garis kepemimpinan ini
didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Akan ada 12 khalifah sesudahku”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih, Abu Dawud dalam Sunan jilid 2, Ahmad
bin Hanbal dalam Musnad jilid 5, Al-Hakim dalam Mustadrak jilid 2.
[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja`far Shadiq (Jakarta:
Lentera, 2004) h.146 dan 156-166.
[3] Ibid. h. 364.