Rabu, 10 Mei 2017

Syiah Imamiyah

Syiah Imamiyah populer juga disebut Syiah Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) atau pengikut Ahlulbait. Aliran ini percaya bahwa yang berhak memimpin dan menjadi otoritas dalam agama Islam setelah wafat Rasulullah saw adalah Imam dari keturunan Rasulullah saw (Ahlulbait) yang berjumlah dua belas orang.[1] 

Di antaranya Imam Ali bin Abu Thalib (w.661 M.), Hasan bin Ali (625–669 M.), Husain bin Ali (626–680 M.), Ali bin Husain atau Zainal Abidin (658–713 M.), Muhammad bin Ali (676–743 M.), Jafar bin Muhammad atau Ja'far Ash-Shadiq (703–765 M.), Musa bin Ja'far (745–799 M.), Ali bin Musa (765–818 M.), Muhammad bin Ali (810–835 M.), Ali bin Muhammad (827–868 M.), Hasan bin Ali (846–874 M.), dan Muhammad bin Hasan atau Al-Mahdi Al-Muntazhar yang mengalami kegaiban tahun 874 M. atau setelah wafatnya Imam ke-11. Para imam yang dua belas ini diyakini oleh pengikutnya sebagai orang yang terjaga dari dosa dan kesalahan (ma'sum) sehingga layak dijadikan uswatuh hasanah bagi umat Islam. 

Dalam fikih, mazhab Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fikih Sunni mazhab Imam Syafi`i. Fikih Imaimyah kadang disebut Fikih Jafari—merujuk kepada Imam Jafar Ash-Shadiq selaku guru dari para imam mazhab fikih Ahlussunnah yang empat. Imamiyah dan Syafiiyah sama-sama melakukan qunut dalam shalat. Kalau fikih Syafii menetapkan qunut pada rakaat kedua setelah rukuk dalam shalat subuh, sedangkan Imamiyah melakukannya setiap selesai membaca surat Al-Quran sebelum rukuk rakaat kedua dan ditetapkan pada semua shalat wajib.

Kemudian yang menbedakannya dengan fikih Syafii adalah posisi gerakan tangan saat berdiri dalam shalat tidak bersedekap, tetapi berada di samping selurus dengan badan. Posisi tangan ini sama dengan shalat dari mazhab fikih Maliki. Pengikut mazhab Imamiyah dalam shalat melakukan sujud di atas tanah yang sudah dikeringkan (turbah) atau tumbuhan yang tidak dijadikan sebagai pakaian dan makanan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Jafar Ash-Shadiq, “Tidak boleh sujud kecuali di atas bumi atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”[2]

Begitu juga tentang azan dan iqamah, dalam fikih Imamiyah dilakukan oleh seorang imam shalat. Mereka yang menjadi imam shalat diharuskan melakukan azan dan iqamah sebagai seruan untuk merapikan barisan makmum yang ikut berjamaah dengannya.

Selain menggunakan rujukan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, juga merujuk pada pendapat yang diriwayatkan para Imam Syiah.

Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara. Persoalan ibadah dan keagamaan harus didasarkan pada Al-Quran, hadis Rasulullah saw, dan Imam selaku penentu hukum. Atas dasar itulah pengikut Imamiyah menolak ijma’ kecuali ijma' bersama imam.

Dalam masalah ibadah sosial, Imamiyah tidak hanya membahas fikih zakat atau infak dan sedekah, tapi juga khumus (seperlima) yang harus dikeluarkan umat Islam. Dasar tentang khumus ini merujuk pada surat Al-Anfal ayat 41, “Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil.” 

Imamiyah tidak mengartikan harta rampasan sebagai harta yang diperoleh kaum Muslim dari harta orang-orang non-Muslim, tapi justru dimaknai lebih umum, yaitu harta rampasan perang, barang tambang, harta karun (al-kanz), ghaush (harta hasil penyelaman seperti mutiara, luk-luk dan marjan), pajak dari kafir dzimmi, dan harta yang bercampur antara halal dan haram (deposito bank).[3]

Fatwa dalam fikih Imamiyah diambil dari riwayat-riwayat Imam Jafar Ash-Shadiq dan puteranya, Imam Musa Al-Kazhim, yang dikenal sebagai Imam Syiah yang berhasil menyusun kitab fikih  Al-Halal wa Al-Haram dan Fikih ar-Righa karya Imam Ali Ar-Ridha (w. 203 H./ 818 M.). Fatwa tersebut dikumpulkan oleh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A'raj al-Qummi (w. 290 H.) dalam kitab Basya'ir ad-Darajat fi 'Ulum 'Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Fatwa fikih Imamiyah kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq Al-Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya Al-Kafi fi`ilm Ad-Din dan dilanjutkan oleh ulama-ulama Imamiyah setelahnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Syiah Imamiyah ini mengikuti Imam yang ditetapkan secara nash oleh Imam sebelumnya. Misalnya setelah Imam Musa Kazim dilanjutkan oleh Ali Ar-Rida berlanjut kepada Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan Askari, dan Muhammad bin Askari yang dikenal sebagai Al-Mahdi. Imam yang kedua belas ini gaib sehingga umat mengikuti petunjuk dari para ulama yang disebut Marja Taqlid. Sampai sekarang kaum Syiah patuh kepada Marja Taqlid di mana pun berada. []

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).






[1] Garis kepemimpinan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw, “Akan ada 12 khalifah sesudahku”. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih,  Abu Dawud dalam Sunan jilid 2, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad jilid 5,  Al-Hakim dalam Mustadrak  jilid 2. 
[2] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja`far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2004) h.146 dan 156-166.
[3] Ibid. h. 364.