DICERITAKAN Raden Said terusir dari Tuban. Ia
kemudian tinggal di hutan Jatiwangi. Karena rasa pedulinya rakyat miskin masih
melekat, ia tetap menjadi perampok dan hasilnya dibagikan pada masyarakat yang
miskin. Sampailah suatu ketika ada seorang kakek tua renta berjalan dengan
tongkat yang gagangya terbuat dari emas. Saat itu juga Raden Said mengawasinya
dan kemudian direbut hingga sang pemiliknya terjantuh dan menangis. Melihat itu
Raden Said merasa kasihan dan berniat mengembalikan tongkatnya itu.
“Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Anak muda, bukan tongkat yang kutangisi, tapi
rumput yang tercabut ini yang membuatku menangis.”
“Hanya rumput tercabut saja kau menangis.”
“Anak muda, yang kutangisi bukan rumputnya.
Akan tetapi perbuatanku yang mencabut rumput ini tanpa suatu keperluan apapun.
Andaikan rumput ini untuk binatang ternak, itu tak apa-apa. Tapi untuk suatu
kesia-siaan berarti aku telah berbuat dosa. Dan kau anak muda, kenapa dan
mengapa merebut tongkatku?”
“Kek, aku adalah perampok yang membagi-bagikan
harta curianku kepada mereka yang miskin.”
“Bagus benar perbuatanmu itu, nak. Hanya
caramu itu yang tidak baik dan tercela. Coba kau pikirkan perkataanku ini,
seandainya bajumu kau cuci dengan air kencing apakah akan bersih dan wangi?”
“Tidak! malahan bau dan kotor.”
“Begitu pun perbuatan baikmu itu tidak akan
bernilaikan baik, malah sebuah kesia-siaan. Nak, alangkah baiknya kau membantu
mereka itu dengan cara baik pula.”
Mendengar kata-kata itu Raden Said tertegun
dan tubuhnya bergetar. Wajahnya pun merah karena malu. Raden Said tertunduk
diam dan sadar atas kelakuannya itu. Karena itulah ia meminta sang kakek tua
itu untuk menjadi gurunya. Mulanya sang kakek menolaknya. Tetapi karena terus
memaksa dan siap menerima segala persyaratannya, maka sang kakek pun
menerimanya. Kemudian sang kakek itu berjalan ke arah kali hutan Jatiwangi dan
menancapkan tongkatnya ditepiannya. Raden Said diperintahkan untuk menunggu
tongkatnya sampai sang kakek itu kembali. Setelah sekian lama, akhirnya sang
kakek itu datang dan membawa Raden Said pergi untuk diajari berbagai ilmu.
Itulah hikayat (atau lebih tepatnya dongeng
rakyat/folkfore) yang saya dapatkan dari orang tua yang berziarah ke makam para
wali. Menurut mereka bahwa dari cerita itulah nama Sunan Kalijaga melekat pada
Raden Said. Hikayat ini, katanya, mengandung makna budaya yang perlu
ditafsirkan. Saya sendiri tidak mengerti apa hikmah yang terkandung di
dalamnya. Jujur saja, saya bukan antropolog atau agamawan yang mahir dalam
tafsir-menafsir untuk teks-teks suci agama. Saya hanya seorang “awam” yang
menerima kabar bahwa ternyata di masa lalu masalah kemiskinan tidak berakhir.
Terutama eksploitasi dari pihak mustakbarin terhadap harta milik masyarakat
yang menjadikannya mustadhafin. Sehingga munculnya Raden Said menjadi simbol
protes dari masyarakat yang gerah dan
resah atas kondisi saat itu.
Oleh karena itu, saya ingin menarik pesan dari
cerita rakyat itu dari sisi amanat. Menurut saya, persoalan ini dimunculkan
dengan simbol “tongkat” yang harus ditunggu dan dijaga keutuhannya. Secara
psikologis memang tampak bahwa dengan menunggu tongkat itu, berarti si penunggu
sedang dilatih rasa kesabarannya. Ini yang memaksa nalar (reason) saya untuk
memaknai “tongkat” sebagai pegangan sekaligus petunjuk yang bisa menuntun
seseorang yang lemah dan tidak tahu “jalan” yang sesungguhnya. Mungkin tongkat
tersebut bisa diidentikan dengan “agama” yang harus dijaga dan dipelihara serta
dijalankan ketika berbagai aliran kepercayaan masyarakat (yang disimbolkan
dengan kali atau sungai) di masa itu sedang mendominasi.
Pesan tentang amanat inilah yang saya kira
berkaitan dengan konsep fitriyah (kesucian) dalam Islam--yang sinonim dengan
konsep sacral pada agama-agama lain. Yakni, “sesuatu” yang dibawa dan
dititipkan dari Yang Mahasuci ketika manusia dilahirkan ke dunia ini, yaitu
“nilai-nilai” ilahiyah wa insaniyah yang harus diterapkan dan dijalankan manusia
agar hidup dan kehidupan penuh dengan kedamaian dan keselamatan.
Berkaitan dengan hal tersebuit, Allah
berfirman, “sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung. mereka semua enggan untuk memikul amanat itu karena khawatir
akan mengkhianatinya. lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72).
Amanah
Murtadha Muthahhari menafsirkan amanah sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada ayat tersebut
Allah percaya bahwa manusia sanggup memikul amanat karena ia telah diberikan
alat berupa potensi-potensi dan kesiapan untuk menerima segala yang ada dan
melekat pada dirinya (taklifi).
Dari penjelasan Muthahhari teresebut jelaslah
manusia merupakan khalifah yang harus hidup berdasarkan pada peran dan tugas
serta siap mempertanggung jawabkannya. Pendeknya, segala sesuatu yang kita
terima, baik itu pekerjaan, keluarga, harta, jabatan, dan bahkan
anggota-anggota badan lahiriah dan aspek-aspek pikiran, jiwa dan perasaan pun
adalah amanat yang perlu dijaga dan dipelihara.
Namun, manusia sering tidak menyadari sehingga
Allah menyebutnya amat zalim dan bodoh. Buktinya kita tidak pernah merasa malu
ketika berbohong dan khianat, menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan
pribadi, menyalahgunakan wewenang atas nama jabatan, menyembunyikan
sandang-pangan-papan dan segala kebutuhan masyarakat dan biaya pendidikan yang
naik melonjak; atau singkatnya semua perbuatan, tindakan, intruksi dan
aktivitas yang mendorong pada ketidakadilan, kesengsaraan dan kehancuran bangsa
merupakan tidak amanah, zalim dan bodoh.
Rasulullah saw melalui Ali bin Abi Thalib
memberikan tiga ciri dzalim. Pertama, menggagahi orang bawahannya dengan
kekerasan; kedua, orang yang berada di atas hidup dengan kedurhakaan; dan
ketiga, orang-orang melahir-munculkan adanya kerusakan-kerusakan moral dan penidasan yang dilakukan secara
terang-terangan. Bahkan menurut Rasulullah yang tidak amanah dan dzalim itu termasuk
kategori munafik. Karena orang seperti ini biasanya jika bicara selalu bohong,
bila berjanji selalu ingkar (mungkir) dan khianat jika dipercaya. Dan kita
sebagai Muslim patut bertanya: apakah kita termasuk amanah? Ataukah tergolong dzalim dan munafik?
[]