Maturidiyah adalah aliran yang muncul sebagai
respons terhadap pemikiran dan pemahaman dari Mu`tazilah dan Asy`ariyah. Nama
Maturidiyah diambil dari pendirinya yang bernama Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi Al-Samarqandi dari Samarqand, yang wafat pada
333 H.
Abu Mansur dalam hidupnya tidak pernah lepas dari diskusi dan berdebat dengan
ulama-ulama penentang pahamnya. Dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip dasar
ajarannya, Maturidiyah menggunakan dalil aqli (rasio) dan dalil naqli
(Al-Quran dan Sunnah) sebagai sumbernya. Tidak heran kalau aliran ini dikenal sebagai mazhab
gabungan Mu`tazilah dan Asy`ariyah. Kalau
ia berdebat
dengan tokoh Mu`tazilah, ia menggunakan argumen-argumen Asy`ariyah. Sebaliknya,
ia menggunakan pendapat-pendapat yang rasional khas Mu`tazilah bila berdebat
dengan kalangan Asy`ariyah.
Selain piawai dalam debat, Abu Mansur dikenal sebagai penulis buku-buku
agama seperti “Kitab Al-Tauhid”, “Jadali”, “Ma`akhiz”, “Muqalaat”,
“Ra`du Ala Qawashat”, “Bayan Wahm Mu`tazilah”, dan “Ra`du Amanah Libaddu
Rawafaz”.[1]
Setelah wafat, ide-ide Abu Mansur dikembangkan oleh para pengikutnya. Salah
satunya adalah Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail Al-Hakim
Al-Samarqandi (w. 342 H.) dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa
Al-Bazdawi (w. 390 H.). Al-Bazdawi inilah yang membenarkan pemikiran-pemikiran
Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi, terutama tentang ta’wil.[2]
Aliran ini dikembangkan oleh Abul Mu`in An- Nasafi (438 -508 H.) dari
Baqilani dan Najm Ad-Dien bin Muhammad An-Nasafi (462 – 537 H.). An-Nasafi
lebih dikenal oleh pengikut Maturidiyah ketimbang pendirinya. An-Nasafi
berhasil menyebarkan aliran Maturidiyah ini hingga ke Madaris (Doubond, pada
1283 H.) dan Brelwies.
Mengenai pokok-pokok ajarannya, aliran Maturidiyah dalam membahas
sifat-sifat Allah dan tentang dosa besar sepakat dengan Asy’ariyah. Menurutnya,
Allah mengetahui bukan dengan zatnya, tetapi dengan pengetahuan-Nya. Al-Quran
adalah bersifat qadim dan bukan makhluk. Inilah kesamaannya dengan
Asy`ariyah.
Dalam pembahasan tentang perbuatan manusia, Maturidiyah berbeda pendapat
dengan Asy’ariyah. Pendapat Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah, bahwa
manusia yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Allah hanya
perantara pemberi ilmu dan yang menetapkan aturan main dalam kehidupan manusia.
Mengenai meyakini bahwa janji-janji baik dan ancaman-ancaman Allah pasti akan
terjadi di akhirat.
Setelah pendiri dan tokoh-tokohnya wafat, aliran Maturidiyah pecah ke dalam
beberapa golongan seperti Maturidiyah Al-Baqilani, Maturidiyah Al-Samarqandi,
dan Maturidiyah Al-Madarisi, dan lainnya.[]
(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin,
Memahami Aliran-aliran Dalam Islam.
Bandung: Acarya Media Utama, 2012).
[1] Lihat Abdul Hadi Awang,
Fahaman & Ideologi Umat Islam: Rujukan Lengkap Anutan dan Aliran
Pemikiran Masyarakat Islam Sejak Zaman Khalifah Islam Pertama
(Selangor-Malaysia: PTS Islamika, 2008). Hal. 42.
[2] Istilah ta`wil
biasanya berkaitan dengan tafsir majazi (simbolik) yang berkembang
dikalangan sufi, filsuf, dan mufasir Syi`ah.