Jumat, 19 Mei 2017

Maturidiyah dan Ajarannya

Maturidiyah adalah aliran yang muncul sebagai respons terhadap pemikiran dan pemahaman dari Mu`tazilah dan Asy`ariyah. Nama Maturidiyah diambil dari pendirinya yang bernama Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi Al-Samarqandi dari Samarqand, yang wafat pada 333 H.

Abu Mansur dalam hidupnya tidak pernah lepas dari diskusi dan berdebat dengan ulama-ulama penentang pahamnya. Dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip dasar ajarannya, Maturidiyah menggunakan dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Quran dan Sunnah) sebagai sumbernya. Tidak heran kalau aliran ini dikenal sebagai mazhab gabungan Mu`tazilah dan Asy`ariyah. Kalau ia berdebat dengan tokoh Mu`tazilah, ia menggunakan argumen-argumen Asy`ariyah. Sebaliknya, ia menggunakan pendapat-pendapat yang rasional khas Mu`tazilah bila berdebat dengan kalangan Asy`ariyah.

Selain piawai dalam debat, Abu Mansur dikenal sebagai penulis buku-buku agama seperti “Kitab Al-Tauhid”, “Jadali”, “Ma`akhiz”, “Muqalaat”, “Ra`du Ala Qawashat”, “Bayan Wahm Mu`tazilah”, dan “Ra`du Amanah Libaddu Rawafaz”.[1]

Setelah wafat, ide-ide Abu Mansur dikembangkan oleh para pengikutnya. Salah satunya adalah Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail Al-Hakim Al-Samarqandi (w. 342 H.) dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa bin Isa Al-Bazdawi (w. 390 H.). Al-Bazdawi inilah yang membenarkan pemikiran-pemikiran Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi, terutama tentang ta’wil.[2]

Aliran ini dikembangkan oleh Abul Mu`in An- Nasafi (438 -508 H.) dari Baqilani dan Najm Ad-Dien bin Muhammad An-Nasafi (462 – 537 H.). An-Nasafi lebih dikenal oleh pengikut Maturidiyah ketimbang pendirinya. An-Nasafi berhasil menyebarkan aliran Maturidiyah ini hingga ke Madaris (Doubond, pada 1283 H.) dan Brelwies.

Mengenai pokok-pokok ajarannya, aliran Maturidiyah dalam membahas sifat-sifat Allah dan tentang dosa besar sepakat dengan Asy’ariyah. Menurutnya, Allah mengetahui bukan dengan zatnya, tetapi dengan pengetahuan-Nya. Al-Quran adalah bersifat qadim dan bukan makhluk. Inilah kesamaannya dengan Asy`ariyah.

Dalam pembahasan tentang perbuatan manusia, Maturidiyah berbeda pendapat dengan Asy’ariyah. Pendapat Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah, bahwa manusia yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Allah hanya perantara pemberi ilmu dan yang menetapkan aturan main dalam kehidupan manusia. Mengenai meyakini bahwa janji-janji baik dan ancaman-ancaman Allah pasti akan terjadi di akhirat.

Setelah pendiri dan tokoh-tokohnya wafat, aliran Maturidiyah pecah ke dalam beberapa golongan seperti Maturidiyah Al-Baqilani, Maturidiyah Al-Samarqandi, dan Maturidiyah Al-Madarisi, dan lainnya.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).




[1] Lihat Abdul Hadi Awang, Fahaman & Ideologi Umat Islam: Rujukan Lengkap Anutan dan Aliran Pemikiran Masyarakat Islam Sejak Zaman Khalifah Islam Pertama (Selangor-Malaysia: PTS Islamika, 2008). Hal. 42.
[2] Istilah ta`wil biasanya berkaitan dengan tafsir majazi (simbolik) yang berkembang dikalangan sufi, filsuf, dan mufasir Syi`ah.