Sabtu, 13 Mei 2017

Syiah Ismailiyah

Syiah Ismailiyah populer disebut aliran Tujuh Imam. Mereka meyakini Ismail bin Ja`far Ash-Shadiq selaku pelanjut kepemimpinan Islam Syiah (setelah Imam Ja’far Shadiq). Ismail diyakini sebagai Imam Ketujuh.

Awal terbentuknya adalah karena adanya perbedaan penetapan pelanjut Imam Ja’far ash-Shadiq. Ismail adalah putra pertama dari Imam Jafar Shadiq. Sebagaimana dalam tradisi Arab bahwa yang melanjutkan adalah putra tertua. Sehingga Ismail diyakini sebagai Imam ketujuh. Sedangkan kaum Syiah Imamiyah tidak meyakininya. Kaum Ismailiyah meyakini washi setelah Nabi berjumlah tujuh, silih berganti dari masa ke masa. Mereka meyakini Imam harus adil dan memimpin perlawanan atas kezaliman serta memegang otoritas pemerintahan.

Pada 148 H./765 M. di kota Kufah sebagian pengikut Syi`ah memisahkan diri untuk melakukan perlawanan terhadap Dinasti Abbasiyah yang berlaku zalim. Mereka meyakini bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan bisa terwujud bila berada di bawah kepemimpinan Ismail bin Ja’far—anak laki-laki tertua Imam Ja’far Ash-Shadiq. Gerakan perjuangan Ismailiyah ini bernama As-Da’wah Al-Hadiyah dan diikuti orang-orang Syi`ah Iran, Irak, Syiria, Yaman, Bahrain, dan Afrika Utara.

Perjuangan kaum Ismailiyah terwujud dengan berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara berlangsung selama 125 tahun (362-487 H.). Periode ini dikenal sebagai masa keemasan Syi`ah Ismailiyah. Pada masa ini mereka menulis dan membenahi ajaran-ajarannya yang sebelumnya disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Saat khalifah Al-Mu’izzu billah memerintah, ia dibantu perdana menteri Jauhar bin Abdilah menyerang Mesir dan memindahkan pusat pemerintahan Dinasti Fathimiyah ke kota Kairo serta membangun Universitas Islam Al-Azhar pada 359 H.

Setelah Al-Mu’izzu billah wafat, digantikan oleh anaknya Al-Azizu billah. Ia banyak melakukan kerjasama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta toleran terhadap perbedaan yang ada di masyarakat. Bahkan, saat perayaan asyura ia mengundang para tokoh mazhab Islam non-Syi`ah dan agama non-Islam. Kemudian beralih secara berturut-turut kepada Abu Ali Manshur (Al-Hakim billah), Abul Hasan Ali (Az-Zhahir li Izazidinilah), dan Abu Tanin (Al-Mustanshir billah).

Wafatnya Al-Mustanshir pada 487 H./1094 M. melahirkan perselisihan dalam menentukan khalifah di antara kedua anaknya, Nizar dan Musta’la. Perselisihan ini menyebabkan pecahnya Dinasti Fathimiyah menjadi dua: Nizariyah dan Musta’lawiyah.

Golongan Musta’lawiyah meneruskan Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara. Namun, seiring gencarnya serangan dari kerajaan-kerajaan Islam yang bermazhab Ahlu Sunnah, golongan Musta’lawiyah terpecah-pecah dan tidak memiliki kekuatan. Sebagian dari mereka hijrah dan menetap di Yaman. Sambil menanti kehadiran imam yang gaib (Imam Ketujuh), mereka menggulirkan kepemimpinan Da’i Muthlaq (penyeru mutlak) selaku wakil imam. Perlahan-lahan ajaran pecahan dari Ismailiyah ini menyebar ke India dengan nama Buhrah dan banyak menghasilkan karya-karya intelektual berupa tasawuf dan filsafat.

Sementara golongan Nizariyah memiliki pengikut di Khuzestan, Khurasan, Ma bina An-Nahrain, Rei, dan Naishabur. Da’i Muthlaq golongan Nizariyah adalah Abu Hatim Ar-Razi dan Nasafi. Sama seperti Musta’lawiyah, para ulama Nizariyah juga mengembangkan kajian ilmu-ilmu rasional dengan melakukan telaah atas pemikiran Neo-Platonisme. Ulama yang terkenal dalam kajian ini adalah Abu Ya’qub Sijistani, Hamid Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lainnya.[1] 

Keberadaan Dinasti Nizariyah tidak  bertahan lama karena mendapat serangan dari bangsa Mongol pada 654 H./1256 M. Setelah runtuhnya Dinasti Nizariyah, orang-orang Syi`ah Ismailiyah melakukan eksodus ke India dan Afghanistan. Di India mereka dikenal dengan sebutan Khojah dan menetap di daerah Kerman, Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lainnya.

Kaum Syi`ah Ismailiyah meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum untuk orang-orang awam yang belum berhasil mencapai tahap spiritual yang tinggi; dan sisi batiniah hukum Islam hanya diketahui oleh mereka yang tahap spiritualnya di atas orang-orang awam.

Menurut kaum Ismailiyah, hujjah Allah terbagi dalam dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Yang pertama adalah Rasulullah saw dan yang kedua adalah imam dari Ahlubait sebagai pewaris dan pelanjutnya (washi). Jumlah washi yang diturunkan Allah berjumlah tujuh orang. Ketika seorang Nabi Allah diutus ke sebuah daerah, ia akan memiliki syariat dan wilayahJika Nabi itu meninggal dunia, Allah menghadirkan tujuh washi yang datang silih berganti untuk meneruskan ajaran yang dibawa Nabi-Nya itu. Ketujuh washi itu memiliki kedudukan yang sama, yaitu ke-washi-an kecuali washi terakhir yang memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, ke-washi-an dan wilayah. Setelah washi ketujuh meninggal dunia, maka akan muncul pelanjutnya yang berjumlah tujuh orang.

Aliran Ismailiyah ini berkeyakinan bahwa Nabi Adam as diturunkan ke bumi dengan mengemban tugas kenabian dan wilayah. Setelah Nabi Adam as wafat, Allah menurunkan tujuh orang washi, yaitu Nabi Nuh as yang memiliki kenabian, ke-washi-an dan wilayah. Nabi Ibrahim as merupakan washi ketujuh Nabi Nuh as, Nabi Musa as adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim as, Nabi Isa as adalah washi ketujuh Nabi Musa as, dan Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah saw dengan garis kepemimpinan dimulai dari Ali bin Abu Thalib, Husain bin Ali, Ali bin Husain As-Sajjad, Muhammad bin Ali Al-Baqir, Ja`far bin Muhammad Ash-Shadiq, Ismail bin Ja`far, dan Muhammad bin Ismail. Setelah Muhammad bin Ismail meninggal dunia, muncul tujuh orang washi dan apabila mereka wafat muncul lagi tujuh orang washi. Washi pertama Syi`ah Ismailiyah ini adalah khalifah Dinasti Fathimiyah di Mesir, Ubaidillah Al-Mahdi (w. 934 M.).

Kontribusi kaum Syi`ah Ismailiyah dalam khazanah peradaban Islam tampak dari berdirinya organisasi intelektual yang bernama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci) pada abad ke-4 H./10 M. di Bashrah.[2] 

Ulama dan cendekiawan yang beraliran Syi`ah Ismailiyah bergabung dan melakukan penelitian serta mengembangkan khazanah kebudayaan Islam melalui karya-karya sastra, filsafat, teologi, dan tasawuf. Tokoh terkemuka Ikhwan al-Shafa adalah Ahmad bin Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad bin Nashr Al-Busti (Al-Muqaddasi), Zaid bin Rifa’ah, dan Abu Al-Hasan Ali bin Harun Al-Zanjany.

Ikhwan al-Shafa berdiri karena pada masa itu syariat Islam telah dinodai dengan berbagai macam kejahiliyahan dan dilumuri kesesatan sehingga perlu dibersihkan dengan melakukan kajian yang menyeluruh. Dari kajiannya itu menghasilkan sebuah ensiklopedi yang diberi nama Rasa’il Ikhwan al-Shafa.[3]

Dalam Rasail Ikhwan al-Shafa ini memuat pembahasan teologi yang menggunakan metafora angka-angka dan bilangan. Menurut kelompok Ikhwan al-Shafa, pengetahuan tentang angka (bilangan) bisa membawa seseorang pada pengakuan tentang keesaan Allah dengan metafora angka satu. Apabila angka satu rusak, rusaklah semua angka. Angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan; angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu terlebih dahulu dari angka dua lainnya. Allah merupakan Yang Maha Esa dan lebih dahulu dari yang lainnya; dan  seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang satu, meliputi seluruh bilangan. Demikian juga pengetahuan (ilmu) Allah terhadap segala yang ada dan tiada.

Arthur Saadev dan Taufiq Salum, dua peneliti kitab Rasail Ikhwan al-Shafa, menemukan sebuah pesan perdamaian bagi umat Islam agar tidak memusuhi ilmu atau memboikot buku jenis apa pun, juga tidak dogmatis dalam bermazhab.[4] Semangat non-sekterian yang diusungnya itu menjadi pendorong lahirnya karya-karya intelektual Muslim setelah Ikhwan al-Shafa, terutama pemikiran yang bercorak teosofi Islam.[]

(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin, Memahami Aliran-aliran Dalam Islam. Bandung: Acarya Media Utama, 2012).



[1] Pada 1930 telah ditemukan 250 manuskrip karya para ulama Syi`ah Ismailiyah di Gournou Badakhshan.
[2] Kadang menamakan dirinya dengan ”Khulan al-Wafa”, “Ahl al-Adl”, dan “Abna’ al-Hamd”.
[3] Dalam wikipedia disebutkan bahwa isinya terdiri dari 14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal, dan logika; 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran; 10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam; dan 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, mejik dan azimat.
[4] Lihat Arthur Saadev dan Taufiq Salum, Al-Falsafah al`-Arabiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Darul Farâbi, 2000). Hal. 126.