DIKISAHKAN seorang bangsawan kaya membeli
budak belian di sebuah pasar. Budak itu dipelihara, dimanjakan seperti pada
anaknya. Singkatnya, budak itu tidak diperlakukan sebagaimana budak-budak yang
lain. Sebulan lamanya budak itu diperlakukan
secara baik-baik oleh bangsawan kaya itu. si budak itu heran atas
perlakuan bangsawan terhadapnya.
Suatu malam bangsawan itu berkata padanya,
”Kamu tahu kenapa aku memanjakanmu?”
Budak itu menggelengkan kepala. Bangsawan itu
melanjutkan, ”Itu karena aku menyimpan tugas penting untukmu. Berjanjilah untuk
melaksanakannya”.
”Baik. Saya berjanji akan melaksanakannya,”
jawab si budak itu. Budak itu itu kemudian diajaknya ke atap rumah tetangga
sebelahnya. Bangsawan itu mengeluarkan pisau dan sekantung uang emas. Kemudian
berkata, ”Potonglah leheku, dan bawalah uang ini ke tempat yang jauh.”
”Mengapa aku harus berbuat seperti itu,”
tanyanya penuh heran. Kemudian bangsawan
itu menjawab, ”Tetanggaku ini saingan bisnisku. Usahanya maj, keluarga
dan anak-anaknya bahagia. Aku tak suka melihat kesuksesannya. Apabila ditemukan
aku tewas di atap rumahnya, aparat hukum akan mencurigainya dan pasti
dijebloskan ke penjara. Aku sangat bahagia bila sainganku masuk penjara”.
Si budak itu pun langsung melaksanakan
perintah tuannya itu. Dan benarlah aparat hukum pun menjebloskan saingannya itu
ke penjara.
Itulah
cerita yang terdapat dalam buku Manusia Sempurna karya
Ayatullah Murtadha Muthahhari. Sebuah karya tulis yang menegaskan bahwa betapa
bahayanya bila seseorang punya penyakit hasad.
Apa itu hasad? Hasad adalah rasa dengki atau
kebencian terhadap nikmat yang dimiliki
orang lain. Juga bisa diartikan, kita tidak menghendaki orang lain bisa
menikmati kebahagiaan dan kesuksesan, baik itu berupa kekayaan, kecantikan,
kesuksesan, kehormatan, dan lain sebagainya.
Biasanya, orang yang mengidap penyakit hasad
tak bisa menerima keberadaan orang lain. Ia selalu ingin mengalahkan orang
lain; tidak senang orang lain bahagia; mencari-cari kesalahan orang; merasa
bahagia bila orang lain menderita, dan sebagainya.
Contoh nyata dari hasad adalah jika tetangga
kita punya barang baru dan kita merasa ”panas” hingga menyainginya dengan
membeli barang yang sama. Jika kita termasuk orang pintar atau cerdas dan
kemudian merasa benci kepada orang yang melebihi kita dalam keilmuan dan
kecerdasan, maka ini termasuk hasad juga. Yakni keengganan untuk sederajat dan
tak mau mendapatkan nikmat yang sama. Puncak yang membayakan penyakit hasad ini
adalah mencelakai orang lain dengan berbagai cara—seperti cerita di awal.
Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, hasad
akan mendatangkan tekanan psikologis yang berdampak pada fifik. Orangnya tidak
akan merasa tenang. Ia selalu was-was dan menganggap apapun yang tidak sesusai
dengan keinginannya selalu dinilai tidak adil. Kemisikinan misalnya. Bila ia
tak menerima ketentuan ini, ujung-ujungnya menyalahkan takdir Allah. Orang
seperti ini bisa dikategorikan kafir—karena takmenerima ketentuan yang
ditetapkan Allah. Inilah yang disampaikan Nabi Muhammad Rasulullah saw yang
diterima Imam Ali Ibn Abi Thalib karamallahu wajhah, bersabda, ”Hampir-hampir
kemiskinan itu menjadikan kekufuran dan hampir-hampir hasad itu menyalahkan
takdir.”
Kerugian bagi orang yang mengidap hasad ini,
selain akan mengalami frustasi, juga akan mendatangkan fitnah dan menghancurkan
amal ibadahnya. Rasulullah saw bersabda, ”Hasad memakan habis kebaikan seperti
api memakan habis kayu bakar”. Inilah
buruknya hasad.
Selain melarang hasad, Nabi Muhammad saw
sendiri menganjurkan untuk ghibthah. Dalam hadits yang terdapat dalam kitab
Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali, Rasulullah saw menyatakan ada dua
ghibthah yang dianjurkan. Ghibthah yang pertama adalah, bila kita melihat orang
lain mengisi waktunya dengan ibadah, lalu kita ingin seperti dia. Kedua, bila
kita tertarik untuk mencontoh orang kaya yang mengeluarkan hartanya untuk
kepentingan umat dan kita ingin menirunya. Inilah yang dianjurkan Rasulullah
saw.
Karena itu, sepatutnya kita menghindarinya
agar tak hinggap dalam diri kita. Untuk bisa terhindar darinya, Imam Al-Ghazali
memberikan petuahnya bahwa kita harus memperdalam ilmu dan memperbanyak amal
serta berbuat baik kepada orang yang hasad pada kita. Tentu perbuatannya itu
harus dilandasi keikhlasan dan tak mengharapkan balasan dari orang. Ini memang
sulit. Tapi harus dilakukan agar terhindar dari hasad. Seperti kata Imam
Al-Ghazali, barangsiapa yang tak tahan pahitnya obat, ia tak akan menikmati
nikmatnya sehat. []