Jumat, 05 Mei 2017

Bahaya Hasad

DIKISAHKAN seorang bangsawan kaya membeli budak belian di sebuah pasar. Budak itu dipelihara, dimanjakan seperti pada anaknya. Singkatnya, budak itu tidak diperlakukan sebagaimana budak-budak yang lain. Sebulan lamanya budak itu diperlakukan  secara baik-baik oleh bangsawan kaya itu. si budak itu heran atas perlakuan bangsawan terhadapnya.

Suatu malam bangsawan itu berkata padanya, ”Kamu tahu kenapa aku memanjakanmu?”

Budak itu menggelengkan kepala. Bangsawan itu melanjutkan, ”Itu karena aku menyimpan tugas penting untukmu. Berjanjilah untuk melaksanakannya”.

”Baik. Saya berjanji akan melaksanakannya,” jawab si budak itu. Budak itu itu kemudian diajaknya ke atap rumah tetangga sebelahnya. Bangsawan itu mengeluarkan pisau dan sekantung uang emas. Kemudian berkata, ”Potonglah leheku, dan bawalah uang ini ke tempat yang jauh.”

”Mengapa aku harus berbuat seperti itu,” tanyanya penuh heran. Kemudian bangsawan  itu menjawab, ”Tetanggaku ini saingan bisnisku. Usahanya maj, keluarga dan anak-anaknya bahagia. Aku tak suka melihat kesuksesannya. Apabila ditemukan aku tewas di atap rumahnya, aparat hukum akan mencurigainya dan pasti dijebloskan ke penjara. Aku sangat bahagia bila sainganku masuk penjara”.

Si budak itu pun langsung melaksanakan perintah tuannya itu. Dan benarlah aparat hukum pun menjebloskan saingannya itu ke penjara.

Itulah cerita yang terdapat dalam buku Manusia Sempurna karya Ayatullah Murtadha Muthahhari. Sebuah karya tulis yang menegaskan bahwa betapa bahayanya bila seseorang punya penyakit hasad.

Apa itu hasad? Hasad adalah rasa dengki atau kebencian terhadap nikmat yang  dimiliki orang lain. Juga bisa diartikan, kita tidak menghendaki orang lain bisa menikmati kebahagiaan dan kesuksesan, baik itu berupa kekayaan, kecantikan, kesuksesan, kehormatan, dan lain sebagainya.

Biasanya, orang yang mengidap penyakit hasad tak bisa menerima keberadaan orang lain. Ia selalu ingin mengalahkan orang lain; tidak senang orang lain bahagia; mencari-cari kesalahan orang; merasa bahagia bila orang lain menderita, dan sebagainya.

Contoh nyata dari hasad adalah jika tetangga kita punya barang baru dan kita merasa ”panas” hingga menyainginya dengan membeli barang yang sama. Jika kita termasuk orang pintar atau cerdas dan kemudian merasa benci kepada orang yang melebihi kita dalam keilmuan dan kecerdasan, maka ini termasuk hasad juga. Yakni keengganan untuk sederajat dan tak mau mendapatkan nikmat yang sama. Puncak yang membayakan penyakit hasad ini adalah mencelakai orang lain dengan berbagai cara—seperti cerita di awal.

Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, hasad akan mendatangkan tekanan psikologis yang berdampak pada fifik. Orangnya tidak akan merasa tenang. Ia selalu was-was dan menganggap apapun yang tidak sesusai dengan keinginannya selalu dinilai tidak adil. Kemisikinan misalnya. Bila ia tak menerima ketentuan ini, ujung-ujungnya menyalahkan takdir Allah. Orang seperti ini bisa dikategorikan kafir—karena takmenerima ketentuan yang ditetapkan Allah. Inilah yang disampaikan Nabi Muhammad Rasulullah saw yang diterima Imam Ali Ibn Abi Thalib karamallahu wajhah, bersabda, ”Hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan kekufuran dan hampir-hampir hasad itu menyalahkan takdir.”

Kerugian bagi orang yang mengidap hasad ini, selain akan mengalami frustasi, juga akan mendatangkan fitnah dan menghancurkan amal ibadahnya. Rasulullah saw bersabda, ”Hasad memakan habis kebaikan seperti api memakan habis kayu bakar”.  Inilah buruknya hasad. 

Selain melarang hasad, Nabi Muhammad saw sendiri menganjurkan untuk ghibthah. Dalam hadits yang terdapat dalam kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali, Rasulullah saw menyatakan ada dua ghibthah yang dianjurkan. Ghibthah yang pertama adalah, bila kita melihat orang lain mengisi waktunya dengan ibadah, lalu kita ingin seperti dia. Kedua, bila kita tertarik untuk mencontoh orang kaya yang mengeluarkan hartanya untuk kepentingan umat dan kita ingin menirunya. Inilah yang dianjurkan Rasulullah saw.


Karena itu, sepatutnya kita menghindarinya agar tak hinggap dalam diri kita. Untuk bisa terhindar darinya, Imam Al-Ghazali memberikan petuahnya bahwa kita harus memperdalam ilmu dan memperbanyak amal serta berbuat baik kepada orang yang hasad pada kita. Tentu perbuatannya itu harus dilandasi keikhlasan dan tak mengharapkan balasan dari orang. Ini memang sulit. Tapi harus dilakukan agar terhindar dari hasad. Seperti kata Imam Al-Ghazali, barangsiapa yang tak tahan pahitnya obat, ia tak akan menikmati nikmatnya sehat. []