Syiah Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin
Ali As-Sajjad. Zaid bin Ali ini pada tahun 121 H.
memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik, penguasa Dinasti Umayyah, dan terbunuh dalam peperangan di Kufah. Zaid bin Ali dianggap imam Syi’ah yang kelima
oleh para pengikut Syi`ah Zaidiyah.
Semasa hidupnya Zaid bin Ali dikabarkan menjalin hubungan dengan tokoh
Mu`tazilah ternama Washil bin Atha` dan sering melakukan kajian
bersama. Tidak heran bila pemahaman
keagamaan Syi`ah
Zaidiyah ini bercorak rasional karena terpengaruh pemikiran Mu`tazilah.
Menurut sebagian ulama Syi`ah, Zaid bin Ali pernah menulis sebuah buku yang
berjudul Al-Majmu’ Al-Kabir, yang terdiri dari dua bagian: al-Majmu’
fi al-Hadits dan al-Majmu’ fi al-Fikih. Buku ini disebarkan oleh
muridnya, Abu Khalid Amru bin Khalid al-Wasithi yang wafat pada abad ke-2 H.
Setelah Zaid bin Ali wafat, Yahya bin Zaid menggantikan posisi
ayahnya. Kemudian Yahya bin Zaid wafat dibunuh penguasa Dinasti Umayyah pada
125 H. Kepemimpinan Syiah Zaidiyah beralih kepada Muhammad bin Abdullah bin
Al-Hasan bin Ali yang dikenal dengan gelar An-Nafs az-Zakiyah yang muncul di
Madinah dan dibunuh oleh Isa bin Mahan. Selanjutnya, beralih kepada
saudaranya, Ibrahim bin Abdullah bin Al-Hasan di Bashrah, yang bernasib sama dibunuh atas
perintah Al-Manshur, penguasa Dinasti Abbasiyah.[1]
Kematian mereka membuat pengikut Syiah Zaidiyah mengalami masa ketiadaan
pemimpin. Pada masa ini muncul Nashir Uthrush, cucu saudara Zaid bin Ali, melakukan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan.
Ia dikejar-kejar dan melarikan diri ke Mazandaran.
Setelah 13 tahun berdakwah, ia berhasil mengislamkan penduduk Mazandaran
dan menjadikan mereka pengikut Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan pengikutnya
Nashir Uthrush berhasil menaklukkan Thabaristan dan menjadikannya sebagai pusat
Syi’ah Zaidiyah. Aliran Zaidiyah ini juga
disebarkan oleh Muhammad bin Ibrahim bin Thabathabai yang mengutus
orang-orangnya ke Hejaz, Mesir, Yaman, dan Bashrah.
Selanjutnya, mereka pada tahun 1322 H. melakukan pemberontakan hingga berhasil
menggulingkan kekuasaan orang-orang Turki dalam sebuah revolusi yang dipimpim
oleh Yahya bin Mansur bin Humaiduddin. Mereka kemudian mendirikan Dinasti Zaidiyah
di Yaman yang berlangsung sampai September 1962 M.
Zaidiyah meyakini bahwa setiap orang yang berasal dari garis keturunan
Fathimah Az-Zahra pasti seorang `alim, zahid, dermawan dan pemberani
serta bisa menjadi imam. Zaidiyah menilai bahwa semua pelaku dosa besar
tempatnya di neraka dan kekal. Dalam masalah fikih pengikut Syi`ah Zaidiyah merujuk mazhab Hanafiyah
(Sunni). Mereka berkeyakinan bahwa saat berwudhu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-Muslim, haram mengawini wanita ahlu
kitab, dan melarang pengikutnya melakukan nikah mut`ah.
Menurut mereka, dalam perang Siffin Ali
berada dalam posisi yang benar karena berupaya menciptakan masyarakat dalam
keadaan aman. Zaidiyah membolehkan pengikutnya untuk memberontak kepada
penguasa Muslim yang zalim dalam rangka menghilangkan kezalimannya dan melarang
pengikutnya agar tidak shalat di belakang imam yang berbuat dosa.[]
(Diambil dari buku karya Ahmad Sahidin,
Memahami Aliran-aliran Dalam Islam.
Bandung: Acarya Media Utama, 2012).