ALKISAH kaum Bani Israil berbicara kepada Nabi
Musa, ”Wahai Musa, tolong sampaikan kepada Allah bahwa kami mengundang-Nya
untuk menghadiri jamuan makan.”
Mendengar permintaan itu Nabi Musa menjawab
dengan nada berang, ”Apakah kalian tidak tahu bahwa Allah tidak membutuhkan
makan?”
Meski sudah diberitahu, mereka tetap saja tak
mau tahu bahwa Allah harus hadir dalam jamuan makan. Mereka mengira Allah itu
sama dengan makhluk hidup lainnya: makan, minum, berkembang biak, dan lainnya.
Allah Yang Mahamengetahui menegur Nabi Musa, “Kenapa engakau tidak
menyampaikan undangan mereka kepada-Ku? Katakan, Aku akan datang pada pesta
mereka Jumat sore.”
Nabi Musa pun menyampaikan kesediaan Allah
yang akan menghadiri jamuan makan kaum Bani Israil. Mendengar itu mereka
gembira dan bersegera menyiapkan pesta jamuan makan itu hingga berhari-hari.
Tibalah pada hari yang ditentukan, yaitu Jumat
sore. Makanan beserta meja hidangan
lengkap dengan aneka macan makanan sudah tergelar rapi dengan aroma yang
menggoda. Saat menunggu kehadiran tamu yang dinanti, datanglah seorang lelaki tua dalam keadaan lelah. Ia mendekat kepada Nabi Musa dan
berkata, “Tuan, aku lapar sekali. Berilah aku makanan.”
“Sabarlah, jamuan makan ini untuk Allah.
Sebentar lagi Ia akan datang. Bawalah air ke sini dengan wadah ini. Kamu juga
harus ikut membantu,” jawab Nabi Musa sambil memberikan ember.
Lelaki tua itu segera membawa air. Setelah
menyerahkan, lelaku tua itu coba sekali lagi meminta makanan kepada Nabi Musa.
Namun, Nabi Musa dan umatnya tetap tak memberinya karena jamuan tersebut khusus
untuk Allah. Tak terasa hari sudah menjelang malam. Sinar matahari di sebelah
barat tenggelam menandai bergantinya sore ke malam. Karena yang ditunggu tak
datang-datang, kaum Bani Israil mengecam dan meledek Nabi Musa yang dianggap
telah membohonginya. Tak tahan dengan umpatan, Nabi Musa segara datang ke bukit
Sinai untuk mempertanyakan tentang ketidakhadiran Allah dalam jamuan makan
kaumnya.
“Ya
Allah, mengapa Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan?” tanya Nabi
Musa.
Allah menjawab, “Wahai Musa, Aku sudah datang.
Aku menemui kamu langsung dan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau
malah menyuruh-Ku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau
menyuruh-Ku pergi. Engkau dan umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan
penghormatan.”
“Saya tidak melihat Engkau. Hanya ada seorang
lelaki tua yang kelelahan dan meminta makanan,” sanggah Nabi Musa.
“Ketahuilah Aku bersama hamba-Ku itu.
Sekiranya engkau dan umatmu memuliakan dia, berarti memuliakan-Ku juga.
Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Melayaninya berarti
melayani-Ku. Alam semesta ini terlalu sempit untuk meliputi-Ku, hanya hati hamba-Ku
lah yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi engkau dan umatmu
menghormati hamba-Ku itu berarti menghormati Aku,” jawab Allah.
Demikianlah kisah Nabi Musa, yang banyak
diceritakan para ulama sufi dan terdapat dalam kumpulan hadits qudsi. Kisah di
atas merupakan pelajaran yang berharga bagi umat Islam tentang berbakti dan
memuliakan sesama manusia. Setiap orang yang mengaku Muslim, apa pun jenis
kelamin, usia, dan status sosialnya sangat wajib memperlakukan orang dengan
baik tanpa memilih dan memilah atau memprioritaskan orang-orang yang terdekat
atau keluarganya.
Mengenai hal ini, Allah Ta`ala berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang
yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang
kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan.”
(QS An-Nisâ [4]: 36-37)
Jelas bahwa menjamu orang-orang dhuafa atau
mereka yang membutuhkan bantuan merupakan bentuk jamuan kita kepada Allah.
Sudah sering, bahkan dalam setiap kedipan mata dan tarikan nafas, Allah selalu
menjamu kita dengan berbagai nikmat yang tiada bandingnya. Hidung kita bisa
menghirup udara, mata berkedip, mulut bisa menguyah, lidah mengecap rasa, darah
mengalir teratur ke sekujur tubuh, dan lainnya tanpa harus membayar. Kita bisa menikmati
seluruh fasilitas hidup sebagai makhluk manusia
secara gratis sejak lahir hingga beralih tempat ke kubur (wafat).
Semua itu datangnya berasal dari Allah sebagai
bentuk kasih sayang dan kemurahan-Nya terhadap semua ciptaan-Nya. Karena itu,
wajar bila dalam surat Ar-Rahman, Allah mengulang-ulang ayat “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?” –kalau tak salah hitung—hingga 31 kali. Pengulangan ayat
tersebut bukanlah sekadar permainan bahasa agar tampak lebih menyerupai puisi,
tapi penegasan bahwa seluruh umat manusia atau makhluk di alam semesta ini
mendapatkan nikmat dari Allah dan kita tidak bisa mengingkari-Nya. Allah
menjamu kita dengan berbagai nikmat dan kemudahan di dunia (dan mudah-mudahan
di akhirat pula) maka seharusnya kita memiliki kesadaran untuk menjamu Allah
dalam bentuk pengkhidmatan kepada semua manusia, berbagi dan peduli terhadap
kaum dhuafa.
Selain itu, tentunya kita juga harus berusaha
menjalankan amanah hidup dengan kejujuran dan penuh tanggungjawab, serta
menjalankan aturan yang digariskan-Nya. Jika itu semua dijalani maka kita
termasuk orang yang bersyukur dan menjamu Allah. []