Rabu, 24 Mei 2017

Menjamu Allah

ALKISAH kaum Bani Israil berbicara kepada Nabi Musa, ”Wahai Musa, tolong sampaikan kepada Allah bahwa kami mengundang-Nya untuk menghadiri jamuan makan.”

Mendengar permintaan itu Nabi Musa menjawab dengan nada berang, ”Apakah kalian tidak tahu bahwa Allah tidak membutuhkan makan?” 

Meski sudah diberitahu, mereka tetap saja tak mau tahu bahwa Allah harus hadir dalam jamuan makan. Mereka mengira Allah itu sama dengan makhluk hidup lainnya: makan, minum, berkembang biak, dan lainnya.

Allah Yang Mahamengetahui menegur Nabi Musa, “Kenapa engakau tidak menyampaikan undangan mereka kepada-Ku? Katakan, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat sore.”

Nabi Musa pun menyampaikan kesediaan Allah yang akan menghadiri jamuan makan kaum Bani Israil. Mendengar itu mereka gembira dan bersegera menyiapkan pesta jamuan makan itu hingga berhari-hari.

Tibalah pada hari yang ditentukan, yaitu Jumat sore.  Makanan beserta meja hidangan lengkap dengan aneka macan makanan sudah tergelar rapi dengan aroma yang menggoda. Saat menunggu kehadiran tamu yang dinanti, datanglah seorang lelaki tua dalam keadaan lelah. Ia mendekat kepada Nabi Musa dan berkata, “Tuan, aku lapar sekali. Berilah aku makanan.”

“Sabarlah, jamuan makan ini untuk Allah. Sebentar lagi Ia akan datang. Bawalah air ke sini dengan wadah ini. Kamu juga harus ikut membantu,” jawab Nabi Musa sambil memberikan ember.

Lelaki tua itu segera membawa air. Setelah menyerahkan, lelaku tua itu coba sekali lagi meminta makanan kepada Nabi Musa. Namun, Nabi Musa dan umatnya tetap tak memberinya karena jamuan tersebut khusus untuk Allah. Tak terasa hari sudah menjelang malam. Sinar matahari di sebelah barat tenggelam menandai bergantinya sore ke malam. Karena yang ditunggu tak datang-datang, kaum Bani Israil mengecam dan meledek Nabi Musa yang dianggap telah membohonginya. Tak tahan dengan umpatan, Nabi Musa segara datang ke bukit Sinai untuk mempertanyakan tentang ketidakhadiran Allah dalam jamuan makan kaumnya.

“Ya Allah, mengapa Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan?” tanya Nabi Musa.

Allah menjawab, “Wahai Musa, Aku sudah datang. Aku menemui kamu langsung dan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau malah menyuruh-Ku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Engkau dan umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan.”

“Saya tidak melihat Engkau. Hanya ada seorang lelaki tua yang kelelahan dan meminta makanan,” sanggah Nabi Musa.

“Ketahuilah Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya engkau dan umatmu memuliakan dia, berarti memuliakan-Ku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Melayaninya berarti melayani-Ku. Alam semesta ini terlalu sempit untuk meliputi-Ku, hanya hati hamba-Ku lah yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi engkau dan umatmu menghormati hamba-Ku itu berarti menghormati Aku,” jawab Allah.

Demikianlah kisah Nabi Musa, yang banyak diceritakan para ulama sufi dan terdapat dalam kumpulan hadits qudsi. Kisah di atas merupakan pelajaran yang berharga bagi umat Islam tentang berbakti dan memuliakan sesama manusia. Setiap orang yang mengaku Muslim, apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya sangat wajib memperlakukan orang dengan baik tanpa memilih dan memilah atau memprioritaskan orang-orang yang terdekat atau keluarganya.

Mengenai hal ini, Allah Ta`ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yang menghinakan.” (QS An-Nisâ [4]: 36-37)

Jelas bahwa menjamu orang-orang dhuafa atau mereka yang membutuhkan bantuan merupakan bentuk jamuan kita kepada Allah. Sudah sering, bahkan dalam setiap kedipan mata dan tarikan nafas, Allah selalu menjamu kita dengan berbagai nikmat yang tiada bandingnya. Hidung kita bisa menghirup udara, mata berkedip, mulut bisa menguyah, lidah mengecap rasa, darah mengalir teratur ke sekujur tubuh,  dan lainnya tanpa harus membayar. Kita bisa menikmati seluruh fasilitas hidup sebagai makhluk manusia  secara gratis sejak lahir hingga beralih tempat ke kubur (wafat).

Semua itu datangnya berasal dari Allah sebagai bentuk kasih sayang dan kemurahan-Nya terhadap semua ciptaan-Nya. Karena itu, wajar bila dalam surat Ar-Rahman, Allah mengulang-ulang ayat  “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” –kalau tak salah hitung—hingga 31 kali. Pengulangan ayat tersebut bukanlah sekadar permainan bahasa agar tampak lebih menyerupai puisi, tapi penegasan bahwa seluruh umat manusia atau makhluk di alam semesta ini mendapatkan nikmat dari Allah dan kita tidak bisa mengingkari-Nya. Allah menjamu kita dengan berbagai nikmat dan kemudahan di dunia (dan mudah-mudahan di akhirat pula) maka seharusnya kita memiliki kesadaran untuk menjamu Allah dalam bentuk pengkhidmatan kepada semua manusia, berbagi dan peduli terhadap kaum dhuafa.

Selain itu, tentunya kita juga harus berusaha menjalankan amanah hidup dengan kejujuran dan penuh tanggungjawab, serta menjalankan aturan yang digariskan-Nya. Jika itu semua dijalani maka kita termasuk orang yang bersyukur dan menjamu Allah. []