ALKISAH seorang Muslim
yang hidup setelah masa Khulafa Ar-Rasyidun. Ia pada masa itu dikenal ahli
ibadah yang tinggal di serambi masjid nabawi. Ia hampir tiap hari melakukan
itikaf, dzikir, shalat dan ibadah lainnya. Ia jarang ke luar karena
penglihatannya tidak normal alias buta.
Suatu hari datang kabar bahwa temannya
sakit keras. Kemudian ia menengoknya dengan diantarkan sahabatnya yang lain.
Ketika tiba temannya itu meminta ia untuk berdoa demi kesembuhannya. Karena
itulah setiap selesai shalat ia mendoakannya. Ajaibnya, beberapa hari setelah
kunjungan itu temannya sembuh.
Atas kesembuhan itulah ia dinilai sebagai wali yang dapat menyembuhkan orang
dengan doa. Karena alasan itu pula banyak orang yang meminta didoakan olehnya.
Tiap orang yang meminta doa kepadanya senantiasa terkabulkan. Sampailah suatu
hari seorang teman bicara kepadanya, “Fulan, doa-doamu itu sangat mujarab dan
benar-benar dikabulkan Allah. Tapi aku heran kenapa engkau tidak berdoa untuk
kesembuhan matamu sendiri.”
Ditanya seperti itu Fulan menjawab, “Tidak, aku tidak ingin melakukan sesuatu yang menguntungkan diriku sendiri. Aku merasa beruntung karena kecacatanku ini telah mendekatkan aku kepada Allah. Dan kemungkinan besar bila mataku normal pasti akan lebih banyak terjerumus dalam kemaksiatan dibandingkan ketaatan.”
Demikian kisah yang
cukup luar biasa. Sebab penderitaan yang ada pada kisah di atas menjadi salah
satu alat untuk memasrahkan diri kepada Allah. Sebuah cara pandang yang muncul
atas nurani yang jarang kita temukan di lingkungan masyarakat. Sebab di zaman
modern ini sangat jarang orang yang mau bersyukur dengan ketentuan yang
ditetapkan sebagai takdir Tuhan.
Banyak orang yang tidak
bisa menerima keberadaan dirinya yang serba kurang, atau yang berbeda jauh
dengan orang lain.Banyak orang normal, tapi lupa kepada Tuhan dan bahkan
cenderung tidak menghiraukan perintah dan larangan-Nya. Kita juga sering
melihat banyak orang Islam yang tidak mengikuti aturan-aturan Allah, tidak
berpuasa misalnya. Mereka sering menganggap bahwa dengan puasa dirinya sedang
diperas, dihambat dan diperdaya. Mereka tidak paham bahwa dengan puasa justru
kita dibersihkan dan disehatkan dari berbagai penyakit lahir maupun batin. Dengan
puasa kita dilatih jujur dan disiplin serta dilatih untuk peka terhadap sesama
saudara kita yang mustadhafin.
Maka dengan menjalankan
puasa secara sesungguhnya kita sedang dibina untuk menjadi manusia yang
bertakwa. Untuk menjadi manusia yang bertakwa tentunya dilakukan dengan proses
yang panjang. Ia diwajibkan berakhlak mulia, taat dan patuh terhadap perintah
dan larangan agama. Hal ini termasuk menjalankan puasa. Apabila seorang Muslim
menjalankannya dengan sebenar-benarnya maka ia disebut orang yang bersih sepeti
bayi yang baru dilahirkan. Inilah sebabnya puasa Ramadhan diakhiri dengan idul
fitri. Yakni perayaan atas kemenangan umat Islam yang berhasil mensucikan
dirinya dari hal yang nista dan kotoran-kotoran jiwa. Sejatinya kesucian itu
dipertahankan yang sekaligus menjadi “benteng” dari terpaan-terpaan negatif di
bulan-bulan lain. Sehingga wajar bila Rasulullah saw merasa sedih bila di akhir
hari-hari Ramadhan. Sebabnya adalah khawatir bila nanti jiwa yang bersih dan
suci itu terkontaminasi dengan hal-hal yang nista.
Oleh karena itu, seorang
Muslim dikatakan buruk bila hari ini lebih jelek dari kemarin. Dikatakan rugi
jika kelak di pascaRamadhannya itu tidak meningkatkan kualitas hidup atau
menurun dalam ibadahnya. Mereka inilah yang disebut tidak berhasil dan tidak
berprestasi dalam puasa Ramadhannya. Ini yang dalam hadits dikatakan, banyak di
antara orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus, dan banyak
orang yang shalat malam (namun) yang didapatkannya itu hanya terjaga dari tidur
(belaka) (HR Ahmad dan Hakim).
Bagaimana caranya supaya
puasa kita mencapainya? Dalam literatur tasawuf, terutama al-Ghazali dan
al-Qusyairi menyarankan berpuasa dalam tataran hakikat. Akan tetapi, tahapan
hakikat ini tidak bisa begitu saja diraih, tapi harus bertahap dari fase
syariat, tarekat, dan hakikat. Pada fase syariat ini seorang Muslim harus paham
dalil-dalil syari` dan hukum batal dan sahnya puasa. Kemudian, ia diharuskan
untuk meningkatkan ke tingkat selanjutnya, yaitu tarekat. Selain puasa secara lahiriah
(syariat) juga harus mempuasakan aspek batinnya. Seperti puasa mencela, memaki,
bohong, bertengkar, atau tidak berimajinasi maupun berpikir tentang yang porno
dan hal-hal nista atau yang dapat membuat rusaknya nilai puasa, serta tidak
meninggalkan ibadah-ibadah wajib dan sunah yang rutin dikerjakan.
Jadi, pada fase tarekat,
seorang Muslim dituntut untuk lebih kreatif dan produktif dengan meningkatkan
amalan-amalan lainnya. Apabila seorang Muslim tersebut tetap istiqamah dalam
kedua fase tersebut maka ia sedang menuju tangga hakikat. Karena itu, seseorang
yang sedang menuju fase hakikat harus mampu merasakan dengan kesadaran penuh
bahwa dengan puasa ia sebenarnya sedang berhubungan dengan Allah Swt sehingga
apa pun yang dikerjakan dan dilakukan, baik ketika berpuasa maupun saat di luar
ibadah puasa, senantiasa merasa dijaga dan diawasi Allah. Inilah yang dimaksud
berada dalam tataran hakikat.
Pendeknya, puasa secara
syariat adalah khidmatullah. Secara tarekat adalah qurbatullah. Secara hakikat
ialah penggabungan diri dengan Allah (wushlatullah). Mereka yang bisa bergabung
dengan Allah adalah mereka yang suci dan kembali pada fitrah Ilahi. Orang yang
termasuk kategori tersebut layak disebut muttaqin (orang bertaqwa). Bukankah
tujuan puasa Ramadhan agar manusia menjadi bertaqwa? Karena itu, puasa Ramadhan
bukan hanya menjalankan syariat, tetapi juga untuk mengembalikan kita pada
fitrah, kesucian. Bagi mereka yang mensucikan diri (tazkiyatun nafs) adalah
yang pantas untuk sampai pada idul fitri.
Menjalankan aturan Allah
dengan penuh keikhlasan akan meninggikan kita menuju menjadi manusia yang
sempurna. Yakni manusia yang tidak lagi bergantung kepada sesuatu yang
lain—baik itu materi maupun jabatan sosial—karena segala keperluaannya telah
dipenuhi dan dijamin Allah Yang Mahasempurna. Allah Swt berfirman, ”Dia telah
memberikan kepadamu segala keperluan dari apa-apa yang kamu mohonkan. Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah maka tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya
manusia itu sangat zalim dan ingkar.” (QS Ibrahim: 34). [ahmad sahidin]