Selasa, 31 Mei 2016

Filsafat itu Permainan Bahasa

Saya merasa lelah dan jenuh. Entah apa yang harus dicapai. Apabila karier dan kedudukan terhormat pasti tidak akan tergapai. Kemampuan akses terbatas. Tidak ada jaringan maupun kemampuan lobi. Apalagi untuk urusan finansial. Juga dalam ilmu, pasti jauh dibanding mereka yang lebih muda. Yang lebih rajin dalam belajar. Yang lebih memiliki kemampuan dalam akses. Lebih memiliki banyak waktu dalam belajar ketimbang diri saya yang kemampuannya sangat terbatas. Membaca buku tidak rajin. Diskusi hanya bagian pendengar. Menulis hanya sekadar mengulang. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Tampaknya jauh lebih mulia orang terdahulu dibanding orang seperti saya ini.

Belajar
Inginnya belajar seperti para guru. Seperti para dosen. Seperti kaum bijak cendikia. Namun, setelah saya telusuri dari sejarah, mereka pun terpuruk dalam dunia. Mereka kadang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusiawi. Kecerdasan dan kepintaran tidak mampu mengatasi persoalan diri. Terlilit dengan lapar,haus, dan hasrat. Terlingkupi dengan aneka ragam hidup yang lebih populer. Yang umum dan menjadi “kebenaran” umum. Kadang saya tidak sanggup untuk berkelak karena ada fakta yang nyata dan tampak.

Memang dikatakan dalam kitab suci bahwa yang mayoritas tidak berarti berada dalam kebenaran. Tetapi kebenaran bisa berada dalam mayoritas. Ini konteks lahiriah, bukan batiniah maupun falsafi. Sebab filsafat itu, kata Syariati, hanya permainan bahasa. Hanya yang mampu memainkan yang paham dan bersifat personal. Untuk kebanyakan orang, apalagi yang malas untuk bermain dengan kata-kata atau bahasa, terkadang tidak penting dan tidak diperlukan. Para Nabi dan Rasul a, mereka menggunakan bahasa kaum dan tidak besifat elitis atau melangit. Memang bisa ditemukan dari sejumlah kata-kata Nabi dan Rasul terdapat indikasi pada falsafi. Dibanding dengan bahasa kaum, lebih dominan dan terasa manfaatnya.

Susah saatnya untuk sadar. Saya harus paham dengan ini. Saya harus tahu diri. Serba tidak tergapai. Menuju kaum elitis dalam ranah falsafi tidak sampai pula. Masuk ranah kesucian dengan amaliah yang ketat dan ritual-ritual khusus tidak mampu pula. Masuk kaum umum dengan ibadah yang biasa pun tidak konsisten. Lantas, bagaimana ini diri? Ah...hanya kepada-Mu Ya Rabbi...

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad

(ahmad sahidin)