Selasa, 28 Juni 2016

Foucault, Khomeini, dan Revolusi Islam


 Michel Foucault dan Imam Khomeini. Dua sosok yang berbeda. Yang satu dari Perancis dan satu lagi dari Iran. Yang satu adalah filsuf dan ilmuwan. Yang satu lagi seorang ulama dan sufi. Dua orang yang berbeda, yang dipisahkan negara dan berbeda agama.


Tentang Foucault, saya mengetahuinya ketika kuliah filsafat sejarah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Saya membaca buku-bukunya, khususnya berkaitan dengan relasi kuasa, kebenaran, sejarah, dan kegilaan. Ia mengkritik filsafat modernisme. 
Kemudian orang-orang mengenalnya sebagai dekonstruksionis yang membuktikan kelemahan dari modernisme hingga melahirkan posmodernisme. Foucault menilai bahwa demokrasi, kapitalisme, dan imperialisme yang merupakan produk filsafat (modernisme) yang tidak menyelesaikan problem kemanusiaan malah menambah masalah.

Salah satu teori yang masih saya ingat dari Foucault: kekuasaan menjadi penentu kebenaran. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sekadar politik. Namun, budaya dan tradisi yang mendominasi juga bagian dari kekuasaan. Mayoritas juga bagian dari kekuasaan. Biasanya segala bentuk kekuasaan tersebut menjadi penentu dari kebenaran yang ada di masyarakat. Jika ada yang sedikit beda dengan mayoritas atau yang dominan maka akan dinilai tak benar, bahkan dinyatakan sesuatu yang lain. Ujungnya, kalau dalam agama disebut sesat. Inilah logika kuasa, yang menurut Foucault, yang akan menciptakan masalah kemanusiaan berkepanjangan.

Tentang Foucault ini, saya menemukan informasi yang belum saya ketahui bahwa ternyata di Perancis bertemu dengan Khomeini. Seorang ulama Iran yang ketika pengasingannya di Perancis bertemu dengan Foucault kemudian mendapatkan informasi tentang gerakan revolusi Iran dan agama Islam. Foucault juga sempat ke Iran melihat sendiri bagaimana kekagumannya terhadap masyarakat Islam Iran yang berani mengorbankan nyawanya untuk sebuah perubahan dan kemenangan. 

Bahkan guru saya: Ustadz Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah ceramah menyampaikan: “Foucault terkagum-kagum dengan sosok Imam Khomeini dan negara Iran.”

Mungkin karena simpati terhadap Islam dan Iran, Foucault pernah diserang oleh penulis-penulis Perancis karena terkena “godaan” (pekasih) Islam. Ia tidak menilai agama Islam sama seperti pemikir dan ilmuwan Barat lainnya yang kadang mengeluarkan pernyataan yang kurang baik. Mungkin karena kurang informasi sehingga mereka begitu. Beda dengan Foucault yang langsung berinteraksi dengan tokoh Islam kemudian mengetahui Islam dari sumber yang dapat dipercaya.

Menurut guru saya, tulisan-tulisan Foucault banyak dibaca kaum muda Iran. Bahkan petikan-petikan kalimatnya ditempelkan pada tembok dan dijadikan selebaran-selebaran saat terjadi revolusi Iran.

Dalam buku Foucault and The Iranian disebutkan dalam revolusi Iran ada peran perempuan yang terjun dalam demonstrasi hingga menjemput kematian.

Antara Foucault dan Khomeini, guru saya mengatakan: memiliki kesamaan. Dua tokoh ini berusaha menanamkan political spirituality (spiritualitas yang membentuk politik), membenci penindasan terhadap rakyat kecil, dan mengagumi individu-individu yang menjemput kematian sebagai pilihan.

Tentang pilihan menjemput kematian ini, guru saya mengatakan: “hidup yang tidak otentik adalah hidup yang tidak ditentukan pilihan sendiri. Jangan serahkan hidup pada orang lain. Tentukan hidup Anda dengan pilihan dan kesadaran diri sendiri.” 

(Ahmad Sahidin)