Michel Foucault dan Imam Khomeini. Dua sosok yang berbeda. Yang satu dari Perancis dan satu lagi dari Iran. Yang satu adalah filsuf dan ilmuwan. Yang satu lagi seorang ulama dan sufi. Dua orang yang berbeda, yang dipisahkan negara dan berbeda agama.
Tentang Foucault, saya mengetahuinya ketika
kuliah filsafat sejarah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung. Saya membaca buku-bukunya, khususnya berkaitan dengan relasi
kuasa, kebenaran, sejarah, dan kegilaan. Ia mengkritik filsafat
modernisme.
Kemudian orang-orang mengenalnya sebagai dekonstruksionis
yang membuktikan kelemahan dari modernisme hingga melahirkan
posmodernisme. Foucault menilai bahwa demokrasi, kapitalisme, dan
imperialisme yang merupakan produk filsafat (modernisme) yang tidak
menyelesaikan problem kemanusiaan malah menambah masalah.
Salah satu teori yang masih saya ingat dari
Foucault: kekuasaan menjadi penentu kebenaran. Dalam konteks ini,
kekuasaan bukan sekadar politik. Namun, budaya dan tradisi yang
mendominasi juga bagian dari kekuasaan. Mayoritas juga bagian dari
kekuasaan. Biasanya segala bentuk kekuasaan tersebut menjadi penentu
dari kebenaran yang ada di masyarakat. Jika ada yang sedikit beda dengan
mayoritas atau yang dominan maka akan dinilai tak benar, bahkan
dinyatakan sesuatu yang lain. Ujungnya, kalau dalam agama disebut sesat.
Inilah logika kuasa, yang menurut Foucault, yang akan menciptakan
masalah kemanusiaan berkepanjangan.
Tentang Foucault ini, saya menemukan informasi yang
belum saya ketahui bahwa ternyata di Perancis bertemu dengan Khomeini.
Seorang ulama Iran yang ketika pengasingannya di Perancis bertemu dengan
Foucault kemudian mendapatkan informasi tentang gerakan revolusi Iran
dan agama Islam. Foucault juga sempat ke Iran melihat sendiri bagaimana
kekagumannya terhadap masyarakat Islam Iran yang berani mengorbankan
nyawanya untuk sebuah perubahan dan kemenangan.
Bahkan guru saya: Ustadz
Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah ceramah menyampaikan: “Foucault
terkagum-kagum dengan sosok Imam Khomeini dan negara Iran.”
Mungkin karena simpati terhadap Islam dan Iran,
Foucault pernah diserang oleh penulis-penulis Perancis karena terkena
“godaan” (pekasih) Islam. Ia tidak menilai agama Islam sama seperti
pemikir dan ilmuwan Barat lainnya yang kadang mengeluarkan pernyataan
yang kurang baik. Mungkin karena kurang informasi sehingga mereka
begitu. Beda dengan Foucault yang langsung berinteraksi dengan tokoh
Islam kemudian mengetahui Islam dari sumber yang dapat dipercaya.
Menurut guru saya, tulisan-tulisan Foucault banyak
dibaca kaum muda Iran. Bahkan petikan-petikan kalimatnya ditempelkan
pada tembok dan dijadikan selebaran-selebaran saat terjadi revolusi
Iran.
Dalam buku Foucault and The Iranian disebutkan dalam revolusi Iran ada peran perempuan yang terjun dalam demonstrasi hingga menjemput kematian.
Antara Foucault dan Khomeini, guru saya mengatakan:
memiliki kesamaan. Dua tokoh ini berusaha menanamkan political
spirituality (spiritualitas yang membentuk politik), membenci penindasan
terhadap rakyat kecil, dan mengagumi individu-individu yang menjemput
kematian sebagai pilihan.
Tentang pilihan menjemput kematian ini, guru saya
mengatakan: “hidup yang tidak otentik adalah hidup yang tidak ditentukan
pilihan sendiri. Jangan serahkan hidup pada orang lain. Tentukan hidup
Anda dengan pilihan dan kesadaran diri sendiri.”
(Ahmad Sahidin)
(Ahmad Sahidin)