DALAM sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah dan peradaban
Islam; muncul sebuah pertanyaan: apakah selama ini sudah terjadi akulturasi
antara Islam dan Sunda atau baru kompromi? Pertanyaan tersebut dilemparkan oleh
seorang kawan yang sering melakukan penelitian sejarah. Namun, sayang tidak ada
merespon sehingga saya coba meresponnya.
Bagi saya, Islam dan Sunda (khususnya budaya) telah terjadi
akulturasi. Bukan kompromi yang dapat diartikan sebagai dua entitas yang
berhadapan tanpa ada kesepakatan untuk bersatu atau damai. Namun fenomena Islam
masuk ke ranah budaya Sunda tidak seperti Kejawen, yang dapat dikatakan sebagai
Islam yang ditafsirkan dalam budaya Jawa.
Sementara di Sunda, antara budaya Sunda dan Islam bisa
berdampingan dan saling menguatkan. Misalnya dalam acara adat pernikahan dan
seni rudat dalam sunatan/khitanan, khazanah tersebut diisi ajaran-ajaran Islam.
Karena itu, budaya yang diisi ajaran-ajaran Islam tersebut menjadi bentukan
baru antara Sunda (tarian) dan Islam (babacaan dan kawihnya) dan seni rudat
mereplace acara Sunda sebelumnya yang berbau Hindu. Hal itu terjadi karena
suatu ajaran/nilai yang datang ke suatu bangsa/kawasan pasti akan mengalami
pengkayaan akibat pengaruh budaya yang dibawa pada kawasan tersebut. Pengkayaan
budaya inilah yang menjadi khas Islam-Sunda yang sangat berbeda dengan Islam
Jawa, Islam Arab, Islam Eropa, dan lainnya.
Bahkan kalau dilihat dalam konteks universal, Sunda mempunyai
nilai tersendiri; yang mungkin seperti agama (sebelum dimasuki ajaran agama
dari luar).
Untuk memahami persoalan ini sedikitnya bisa dipahami kalau
menggunakan tesis Mat I Dimon, seorang penulis keturunan Yahudi. Dalam buku Jew,
God, and History, Dimon menyebutkan bahwa sesederhana apa pun suatu bangsa
(atau suku bangsa) kalau pernah eksis, apalagi kalau masih eksis maka memiliki
nilai-nilai pokok yang universal. Bahkan, nilai-nilai tersebut berpeluang untuk
menjadi titik tolak kebangkitan kembali kejayaan bangsa tersebut.
Dimon sendiri membuktikan hal itu dengan mencontohkan bangsa
Yahudi. Meski sudah diusir dan dibinasakan, mereka tetap bangkit kembali dan
eksis. Pertanyaannya, dengan nilai-nilai apakah mereka bangkit? Menurut Dimon,
setelah dianalisis ternyata kaum Yahudi memiliki nilai-nilai pokok yang
universal, seperti perhatian yang besar terhadap ilmu dan teknologi serta
ketaatan kepada pemimpin mereka (Rahib maupun pemerintah).
Untuk melihat apakah Sunda memiliki nilai-nilai universal maka
secara operasional harus dilihat pada masa eksis Kerajaan Sunda. Sejarah mengisahkan
Kerajaan Salakanagara dapat dijadikan titik tolak bahwa sejak abad 1 Masehi
bangsa Sunda hingga sekarang sudah ada selama hampir 2000 tahun. Apabila
Kerajaan Sunda-Galuh (abad 10-13 Masehi) yang menjadi acuan, bangsa Sunda sudah
eksis selama 700 tahunan. Bahkan saat Prabu Wastukancana memerintah, tercatat
lamanya pemerintahan sekitar 100 tahun lebih. Pemerintahan tersebut berdiri
dengan kondisi kerajaan dan warganya yang aman tenteram kertaraharja.
Karena itu, berdasarkan tesis Dimon, Sunda pernah eksis sehingga
besar kemungkinan memiliki nilai-nilai pokok. Setelah dianalisis oleh kawan
saya bahwa nilai-nilai pokok universal Sunda adalah silas, kabuyutan, dan
ngertakeun bumi lamba.
Meski tidak berwujud kembali pada kerajaan, tetapi kejayaan atau
kehormatan bangsa/suku Sunda di mata dunia telah tercatat dalam sejarah dunia.
Dengan modal pernah eksis dan mengalami kejayaan pada masa lalu, bukan berarti
masyarakat Sunda kiwari harus berontak untuk mendirikan negara Sunda. Justru
dengan nilai-nilai pokok universal Sunda dapat menjadi modal untuk
membangkitkan kejayaan Sunda dalam bentuk provinsi sebagai bagian tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. *** (ahmad sahidin)