Tahlilan bagi masyarakat Islam Indonesia bukan
hal yang aneh, khususnya masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) yang bermazhab
Ahlussunah (Sunni). Kegiatan baca Quran dan doa bersama ini biasanya
diselenggarakan setelah penguburan jenazah di rumah yang sedang berduka atau
masjid yang berdekatan.
Yang hadir biasanya jamaah masjid, tetangga,
dan saudara-saudara terdekat yang berduka. Kegiatan ini berlangsung mulai hari
pertama sampai ketujuh. Kemudian di sambung hari keempatpuluh dan hari
keseratus. Selanjutnya setiap tahun ketika tiba pada hari wafatnya seseorang;
maka disebut haul.
Kegiatan tahlil dilakukan juga oleh kaum
Muslim Syiah atau pengikut mazhab Ahlulbait. Saya pernah menghadiri tahlilan
wafatnya seorang Muslim Syiah. Tahlilan yang digelar Muslimin Syiah hanya hari
pertama dan hari empat puluh.
Bacaan yang dibaca pun sama dengan yang biasa
dibaca kalangan NU: surah yaasin, tawasul, shalawat, dzikir, dan surah-surah
pendek dalam Al-Quran. Kemudian ada doa khusus yang menyebutkan nama-nama para
Imam dari Ahlulbait. Itu yang saya ketahui ketika ikut majelis tahlil bersama
kawan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI).
Seluruh pengikut mazhab Ahlulbait pada tanggal
10 Muharram menyelenggarakan kegiatan Asyura untuk mengenang wafatnya Imam
Husain, Cucu Nabi Muhammad saw, yang dibantai di Karbala atas perintah Yazid
bin Muawiyah bin Abu Sufyan, penguasa Bani Umayyah. Sebagaimana diketahui dalam
sejarah bahwa Abu Sufyan dan Muawiyah merupakan orang-orang yang memusuhi Nabi
Muhammad saw dan tidak ingin Islam tegak di Makkah.
Selain pada hari kesatu kematian, kaum Muslim
Syiah menyelenggarakan juga pada hari keempat puluh yang disebut Arbain. Isinya
hampir sama: mengenang kisah kematian, mengambil pelajaran (ibrah) dari
kehidupan Imam Husain beserta Keluarga Nabi yang ditindas penguasa Bani
Umayyah, membacakan al-Quran, shalawat, dan doa-doa.
Di Bandung, IJABI senantiasa menyelenggarakan
Asyura setiap tanggal 10 Muharram. IJABI juga menggelar Mawlid Nabi dengan
kegiatan yang besar dengan mengundang makan orang-orang dhuafa. Bahkan
menyelenggarakan majelis duka untuk mengenang wafat Rasulullah saw (syahadah)
pada bulan Shafar (karena memang dalam sejarah Rasulullah saw wafat pada 28
Shafar). Kegiatannya diisi dengan pembacaan Quran surah Yasin, bacaan tahlilan,
shalawat kepada Nabi dan keluarganya, ceramah, pembacaan kisah hidup Nabi, dan
doa ziarah.
Tidak hanya untuk wafatnya Keluarga Nabi,
kegiatan tahlilan diselenggarakan pula untuk kematian ulama-ulama dan umat
Islam. Baik orang yang bermazhab Ahlulbait (Syiah) maupun Ahlussunah (Sunni)
biasanya juga menggelarnya.
Kalau dilihat dari isi kegiatannya, yang
dilakukan IJABI sama dengan kegiatan tahlilan atau haul yang diselenggarakan
masyarakat Islam NU. Sama-sama berisi pembacaan Quran, tasbih, tahmid, takbir,
shalawat, doa, dan ceramah tentang Islam.
Guru saya yang pernah belajar di Suriah
bercerita bahwa di Suriah ada kegiatan yang mirip dengan tahlilan. Di Suriah,
setiap ada kematian biasanya diundang tetangga untuk menghadiri tahlilan.
Bedanya hanya pada pembacaan Quran bersama.
Kalau di Indonesia yang dibaca surah Yasin dari hari kesatu sampai ketujuh,
bahkan hari empat puluh dan seratus pun surah Yasin. Wajar kalau orang-orang
yang sering tahlilan hafal surah Yasin karena sering diulang-ulang. Di Suriah
yang dibaca mulai dari surah Yasin untuk hari kesatu. Hari kedua dan
selanjutnya pindah surah yang urutannya setelah surah Yasin sehingga setiap
hari dalam tahlilan berbeda pembacaan surahnya. Yang lainnya tetap sama: doa,
shalawat, tasbih, tahmid, dan ceramah agama.
Dahulu ada seorang kawan saya, alumni
Pesantren Persatuan Islam, menyampaikan bahwa tahlilan yang digelar masyarakat
Islam Indonesia termasuk bid’ah atau ajaran baru yang tidak dicontohkan Nabi
Muhammad saw.
Kawan yang lain mengatakan bahwa tahlilan
bukan bid’ah karena isi dari kegiatan tahlilan berisi hal-hal yang baik.
Berdoa, shalawat, tahmid, takbir, dan membaca Quran merupakan hal yang
dianjurkan Allah dan Nabi. Ada pun diselenggarakannya dengan ditentukan waktu
dan secara bersama hanya soal penyesuaian. Apalagi kalau dilakukan secara
bersama, nuansa kebersamaan dan ukhuwah lebih terasa ketimbang baca shalawat
dan baca quran sendiri-sendiri.
Lama setelah berdiskusi dengan kawan saya itu,
di perpustakaan daerah saya menemukan buku Ayat-Ayat Tahlil karya Muhammad
Quraish Shihab, doktor tafsir dan hadis.
Pak Quraish adalah mantan menteri
agama dan pernah menjadi pengurus pusat organisasi Muhammadiyah serta Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar warga
ormas Muhammadiyah tidak tahlilan. Begitu juga warga ormas Persatuan Islam
(Persis) pun tidak melakukannya. Hal itu wajar karena beda dalam pemahaman
dengan kaum Muslimin warga NU.
Pak Quraish Shihab, ternyata meski berasal
dari Muhammadiyah tidak anti tahlilan. Bahkan memimpin tahlilan di
Cendana Jakarta saat Ibu Tien Soeharto wafat yang diminta langsung oleh Pak
Soeharto, presiden yang kedua.
Dalam buku Ayat-Ayat Tahlil, Pak Quraish
menjelaskan dalil-dalil dari tahlilan dan penjelasan berkaitan dengan ayat-ayat
serta bacaan yang sering dibaca dalam acara tahlilan. Dan, yang saya
ketahui bahwa sampai sekarang ini belum ditemukan dalil tegas dari Quran dan
Sunnah yang menyatakan tahlilan haram. Karena itu, mungkin karena tak ada dalil
yang melarang maka tahlilan sampai sekarang masih terus dijalankan kaum NU dan
IJABI.