Salam wa rahmah.
“Belajar itu bagian dari riyadhah,” kata Kang Ajid (Dr Ajid Thohir) dalam pertemuan
awal perkuliahan di Pascasarjana UIN SGD Bandung. Kalau saya telusuri dari
kamus bahwa riyadhah merupakan istilah yang bermakna latihan, training, dan
pendidikan. Riyadhah biasanya digunakan dalam konteks sufi, tasawuf, dan
tarekat.
Seorang
Muslim/Muslimah yang belajar sufi atau menjadi anggota tarekat tertentu
biasanya diperintahkan untuk riyadhah. Melakukan rangkaian ibadah yang bersifat
akhlaq maupun syariah serta berujung pada keimanan (akidah).
Belajar di
sekolah, pesantren, universitas, atau kehidupan memiliki tantangan yang
berbeda. Saya pernah menjalani sekolah dari dasar hingga tinggi. Kini, yang
sedang terus dijalani adalah belajar dalam kehidupan dan pascasarjana di universitas.
Untuk pesantren,
saya belum mengalami secara serius. Kalau sekadar majelis ilmu setiap pekan
dialami, tetapi tidak lama. Tantangan pada setiap "lembaga" tersebut
terasa dan berbeda, khususnya saat menjalankan tugas-tugas.
Belajar di majelis
ilmu dibutuhkan kerelaan waktu untuk hadir. Kemudian menyiapkan diri untuk
menampung ilmu. Sedangkan sekolah dan universitas tantangannya: biaya dan
tugas. Dua hal ini terasa berat. Biaya memerlukan dana yang mencukupi lebih
dari sekadar bayar bulanan atau semesteran, tetapi hal lainnya seperti bahan
bacaan (buku-buku) dan penulisan tugas. Kemudian biaya prin naskah dan
jilidnya. Itu juga butuh biaya.
Sabar dan
Tekun
Selain dari yang
disebutkan di atas adalah kesabaran dan ketekunan. Ini memang harus dilekatkan
pada diri. Kalau tidak sabar menjalani baca buku full untuk review, menulis
komentar dan kritik untuk sebuah karya ilmiah, hingga menulis makalah yang
bernuansa ilmiah, pasti akan cari jalan pintas dengan sekadar ambil tulisan di
internet kemudian diutak atik sedikit serta ganti nama. Tentu cara demikian
disebut plagiasi. Ketika S1 saya pernah lakukan untuk makalah filsafat. Ternyat
bukan saya sendiri. Ada banyak orang yang melakukan jalan pintas tersebut.
Sekarang ini saya sudah menjauhinya karena sesuai dengan pernyataan guru bahwa belajar
harus sungguh-sungguh dan benar dalam menjalaninya.
Mengapa
demikian? Karena belajar itu ibadah dan diwajibkan kepada umat Islam. Bukan
hanya belajarnya yang harus sesuai akhlak saat menghadiri kuliah, bahkan
menjalankan tugas pun harus penuh dengan akhlak dan keimanan. Ketika mengisi daftar
hadir biasanya ada peluang untuk tidak jujur dengan menanda tangan pada hari
yang tidak masuk. Hal demikian kadang masih saya temukan. Nah, ini juga bagian
dari riyadhah agar menahan diri tidak berbuat demikian yang dapat
mengurangi nilai dari belajar dan pahala dari Allah.
Berkah. Ini yang
kadang harus ditanamkan dalam diri. Sebab konsep ini tidak jarang diabaikan
sehingga anugerah Tuhan dalam menggucurkan ilmu-Nya terhalangi dengan perilaku
ketidakjujuran dalam belajar.
Iradah
Kemudian yang
harus ditanamkan dalam diri adalah iradah. Apabila sabar berarti menahan,
iradah bermakna memiliki kemauan yang kuat. Merujuk kepada Imam Ali bin Abi
Thalib ra ada dua dalam sabar: dari apa yang diinginkan dan dari yang tidak
diinginkan.
Dalam belajar
harus sabar dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Ini yang disebut iradah.
Kesungguhan dalam membaca, dalam menelaah, dalam menyampaikan kritik, dan kesungguhan
dalam menulis makalah.
Nah, untuk
sampai pada maqam iradah dibutuhkan kesabaran. Kesabaran dan kesungguhan
perlu dilakukan dalam belajar supaya teratur dan terkontrol dengan baik. Semua
aktivitas yang dijalani dalam hidup ini perlu dilakukan dengan dua bingkai:
sabar dan iradah. Keduanya dilakukan seiring dengan aktivitas. Insya Allah, masalah
akan terlihat bila dijalani dengan sabar dan tinggal cari solusinya dengan
sungguh-sungguh.
Dalam mencari
solusi tentu juga harus sabar. Sabar dari yang tidak diinginkan dengan terus
berusaha meski belum menemukan jalannya. Dalam hal ini sabar menjadi bingkai
dari proses belajar. Misalnya pula ada tugas dadakan untuk mengulas dan
menerjemahkan teks/artikel dari Bahasa Belanda kemudian dibuat kritik
terhadapnya. Harus cari solusi kalau tak bisa bahasanya dengan menerjemahkan
melalui bantuan google kemudian upayakan untuk memperbaiki tata bahasa (atau
supaya aurat langsung menghubungi penerjemah kalau punya uang).
Lawan dari sabar
adalah tergesa-gesa. Ini yang kadang melumpuhkan akal sehat. Belum tuntas
memamahi langsung serang. Belum tuntas dalam mengkaji langsung tembak. Belum
beres dalam membaca buku langsung menuliskan dengan seenaknya sehingga saat
diskusi tenyata tidak memiliki dasar yang kuat. Karena itu, sabar adalah obat
untuk melawan ketergesa-gesaan dan mengontrol emosi. Guru saya pernah bilang:
tidak pernah ada kebenaran yang disampaikan dengan emosi. Karena itu, sabar bisa
disebut kunci dari kebenaran.
Dari yang
dipaparkan diketahui bahwa iradah adalah kehendak dari diri sendiri. Dalam
belajar harus kuat dalam iradah. Ini biasanya menyangkut motivasi dan capaian
akhir. Ibadah di dunia ini capaiannya
untuk mendapatkan pahala dan mendapatkan anugerah surga di akhirat.
Kebahagiaan dan kenikmatan merupakan hal-hal yang terkandung dibalik aktivitas
hidup, khususnya dalam belajar, yang dikejar oleh manusia. Mungkin para kiai
dan ulama juga, dua hal tersebut yang dikejar. Mau di akhirat atau dunia? Saya
pilih bahagia dan nikmat di dunia kemudian akhirat. Tidak ada jalan lain untuk
meraihnya. Hanya dengan riyadhah cita-cita dan ibadah bisa diraih.
Memang ada jalan
pintas, yaitu menyatukan kehendak diri dengan kehendak Allah. Ini yang saya
ketahui. Adakah yang lainnya? Mohon share ya… bila menemukan.
Ya Allah,
bihaqqi Muhammadin wa aali Muhammad
Wa shalli ‘ala
Muhammadin wa aali Muhammad
Wa akhrijnii
minalhammil ladzii anaa fiihi
Birahmatika
ya Arhamarrahimiin
Bandung, 29
Shafar 1436
Ahmad Sahidin