KH Alawi Nurul Alam Al-Bantani dalam buku Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa “Merah” MUI & DDI (Bandung: Pustaka Albantani, 2014) halaman 5, bercerita tentang seorang kawan yang bertemu dengan orang-orang Wahabi di rest area sepulang dari pertemuan di kantor PBNU Jakarta.
Kawannya itu melihat empat orang yang berjenggot dan celana cingkarng serta jidat hitam sedang duduk menikmati kopi. Kawan Kyai Alawi yang orang NU itu mendatangi dan mengobrol dengan mereka. Orang NU itu meminta izin kepada mereka untuk bercerita tentang kejadian di Malaysia.
Dikisahkan ada seorang ustad Wahabi masuk taksi meminta diantarkan ke suatu tempat. Sopir taksi memutar lagu berbahasa Inggris alias Barat. Orang Wahabi itu bilang bahwa lagu itu tidak boleh didengarkan.
“Itu bid’ah,” kata orang Wahabi.
Kemudian sopir memutar lagu shalawatan. Kembali orang Wahabi itu berkomentar dengan kalimat yang hampir sama.
“Tak boleh itu. Di zaman Nabi tak ada shalawatan yang begitu. Matikan!” katanya.
Sopir taksi menghentikan laju kendaraan dan meminta orang Wahabi itu turun. Meski protes, tetap saja orang itu turun. Kemudian sopir mengeluarkan barang bawaan orang Wahabi.
Kepada orang Wahabi itu, sopir berkata, “Pak Ustad, tadi di dalam mobil Pak Ustad bilang, mendengarkan lagu Barat dan shalawat itu bid’ah. Padahal di zaman Nabi juga tak ada taksi. Karena taksi adalah bid’ah, sekarang Pak Ustad berdiri di sini dan tungggu saja unta lewat!”
Saya tertawa membacanya. Benar-benar kisah nyata yang perlu disebarkan. Kalau perlu diperbanyak cerita yang demikian untuk hiburan umat Islam. Maklum selama ini umat Islam banyak dengar kata-kata yang tidak ramah di telinga: bid’ah, tahayul, kafir, musyrik, murtad, sesat, dan lainnya.