Selasa, 12 September 2023

Pengalaman Mendahulukan Akhlak di Atas Fiqih

Suatu hari guru saya bercerita tentang seorang intelektual Muslim yang belajar di Amerika. Sebut saja namanya Fulan bin Fulan. Di Indonesia memiliki usaha penerbitan yang layak disebut sukses. Fulan suatu hari dapat beasiswa. Di salah satu universitas yang khusus mengkaji Islam, Fulan belajar.

Di kelas, Fulan terkenal vocal dan mampu menyampaikan kritik setiap kali gurunya menyampaikan pembahasan. Kecerdasan Fulan membuat guru pembimbing akademisnya terkagum-kagum. Sampai suatu hari sang guru meminta Fulan untuk datang ke rumahnya. Sangat jarang seorang dosen mengundang mahasiswanya ke rumah.

Fulan bin Fulan pun memenuhinya. Tibalah pada hari yang ditentukan. Ketika sampai di rumah, sang guru yang professor bilang bahwa ia sudah menyiapkan jamuan makan. Segera diajaknya ke ruang makan. Di meja sudah disiapkan makanan berupa daging. Professor itu menyampaikan bahwa daging yang dimasak merupakan daging sapi. Sengaja dibeli karena tahu bahwa mahasiswa yang diundangnya itu seorang Muslim.

Ketika dipersilakan memakan, Fulan terdiam. Dalam batinnya bergejolak: “Haruskah dimakan? Saya tidak tahu daging sapi itu disembelih dengan asma Allah atau tidak? Dalam fikih, yang tidak jelas seharusnya dihindari. Kalau tidak dimakan, saya tidak enak dengan professor yang sudah menyiapkannya. Kalau saya jelaskan pasti akan kurang dipahami dan pasti kecewa. Kalau demikian pasti akan berbekas dalam batinnya dan itu termasuk yang tidak boleh dilakukan seorang Muslim.”

Sambil bergejolak batin, Fulan akhirnya mengambil daging itu dan memakannya. Selesai makan keduanya berbincang tentang materi-materi kuliah. Kemudian Fulan pulang. Sekira malam sebelum tidur, professor yang non-muslim itu menelepon. Professor itu menyampaikan bahwa ia senang sekali dengan kehadiran Fulan dan mengucapkan terima kasih.

Menurut guru saya: yang dilakukan Fulan bin Fulan itu termasuk mendahulukan akhlak di atas fiqih. Fulan memilih untuk mengenyampingkan urusan fiqih daripada membuat orang lain terluka akibat perilaku fiqih. Kesan yang baik dan upaya penghormatan—sebagai akhlak—yang didahulukan Fulan bin Fulan di atas fiqih yang dapat membuat kecewa orang lain. Bukankah Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa aalihi wa salam sering menerima jamuan makan dari orang no-muslim? Bahkan, jamuan daging kambing panggang (yang kemudian berujung sakit) berasal dari seorang wanita Yahudi.

Cerita guru saya itu mengingatkan kepada nasihat Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat dalam buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih: “Tinggalkan fiqih, jika fiqih itu bertentangan dengan akhlak” (Bandung: Mizan, 2007; halaman 67).   *** (ahmad sahidin)