Minggu, 10 September 2023

Maulid Nabi: Dua Pertanyaan dari Murid

Seorang murid Sekolah Menegah Pertama (SMP) di kota Bandung bertanya: kenapa harus menyelenggarakan Maulid Nabi? Apakah Muhammad Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa aalihi wassalam, sahabat, dan Keluarga Rasulullah saw memperingatinya? 

Saya terdiam. Saya betul-betul tidak bisa menjawab. Maklum, meski sudah sejak kecil memeluk agama Islam, merasa kurang dengan ilmu-ilmu Islam. Banyak hal yang tidak saya ketahui dari Islam.


Pertama, saya hanya menjawab bahwa maulid bentuk kecintaan kepada Rasulullah saw. Orang mencintai tentu mengetahui kapan lahir dan bagaimana kehidupannya. Bahkan, bergembira pada hari kelahirannya. Begitu juga saya terhadap Nabi Muhammad saw harus gembira dan bahagia. Ekspresinya saya wujudkan dalam peringatan ulang tahun atau Maulid Nabi. Allah dan malaikat dalam surah azhab ayat 33 memuliakan Rasulullah saw dan Ahlulbait. Kemudian dalam ahzab ayat 56 disebutkan Allah dan malaikat menyampaikan shalawat kepada Rasulullah saw dan diperintahkan umat Islam untuk melakukannya. Perintah ini sudah cukup menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad saw harus dimuliakan, disucikan, dan diagungkan. Masa sih Allah dan malaikat melakukannya, manusia tidak melakukannya. 

Dalam surah Maryam ayat 14 (al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI, Penerbit Dipenogoro-Bandung: 2010), “Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” Ayat ini merupakan doa dari Allah berkaitan dengan kelahiran Nabi Yahya as putra Nabi Zakaria as. Kemudian ayat ini disebutkan dalam ayat 33 surah Maryam dengan sedikit perubahan (“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”) yang merujuk pada kelahiran Nabi Isa as putra Maryam. 

Saya kira dari dua ayat tersebut sudah menunjukkan pentingnya menyambut kelahiran Nabi. Tidak menutup kemungkinan ayat tersebut bisa menjadi dalil untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad saw. Persoalan cara, bentuk, dan ekpresi dari Maulid Nabi memang tidak diajarkan dalam Al-Quran maupun Al-Hadis. Semua itu diserahkan kepada para pecinta Rasulullah saw di mana pun berada sesuai dengan konteks sosial budaya atau lingkungan setempat. Irak, Mesir, Lebanon, Iran, Malaysia, Brunei Darussalam, Afrika Utara, Inggris, Amerika, Madinah  (Arab Saudi), Bahraian, dan Indonesia pasti berbeda dan beraneka ragam. 

Kemudian dalam surah Yunus ayat 58, Allah Ta’ala berfirman, “… dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” Menurut seorang kiai dari Jawa Timur bahwa ayat ini merupakan perintah agar menyambut kehadiran Nabi Muhammad saw dengan gembira. Nabi Muhammad saw jelas disebut rahmatan lil ‘alamin, teladan, orang suci, ucapannya berasal dari wahyu, lemah lembut, dan penutup kenabian yang risalahnya berlaku sampai Kiamat. Kehadiran Nabi akhir zaman ini harus disambut, khususnya dirayakan setiap kali bertemu dengan hari lahirnya. 

Memang terjadi perbedaan pendapat tentang tanggal lahirnya. Meski beda, tetapi semua sepkata bahwa Rabiul Awwal adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. Karena itu, selayaknya diisi dan disambut dengan penuh ceria sebagai bukti cinta kepada Sang Nabi. 

Kedua, saya belum menemukan referensi yang menyebutkan Keluarga Nabi dan para sahabat merayakan Maulid Nabi (semoga ada yang bisa memberikan informasi). Hanya saja dalam catatan sejarah disebutkan Maulid Nabi mulai dirayakan oleh Dinasti Fathimiyah sekira abad 15 Masehi. Dinasti Fathimiyah ini merupakan kerajaan Islam dari mazhab Syiah Ismailiyah. Saya belum menemukan: apakah Syiah Imamiyah dan Zaidiyah ikut merayakannya sebelum berdiri Dinasti Fathimiyyah? Juga dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayubi, penguasa dari Dinasti Ayyubiyah, dengan mendendangkan syair-syair pujian kepada Nabi. Salah satu kitab syair yang dibaca adalah Maulid Al-Barzanji. Buku ini dibaca juga oleh umat Islam Indonesia setiap kali perayaan tujuh hari kelahiran bayi yang disebut aqiqah. 

Ketiga, meski tidak ada nash yang jelas memerintahkan merayakan Maulid Nabi, tetapi Rasulullah saw telah menunjukkan bukti dari menyambut gembira kelahiran putranya: Sayid Ibrahim dan cucu Rasulullah saw yang menyembelih domba sebagai aqiqah. Saya kira perintah aqiqah juga masuk dalam dalil bolehnya merayakan Maulid Nabi. 

Daripada merayakan hari kelahiran sendiri (yang jelas-jelas bukan manusia mulia) atau hari kemerdekaan negara dan hari berdirinya perusahaan, tentu lebih baik dan mengandung nilai kecintaan adalah merayakan kelahiran Nabi Muhammad saw yang merupakan Nabi akhir zaman dan teladan umat manusia. Setidaknya dengan memperbanyak shalawat dan doa: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad; dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali. *** (ahmad sahidin)