Senin, 25 April 2022

Muhammad, itulah namaku

MUHAMMAD. Huruf latinnya: m-u-h-a-m-m-a-d; Muhammad. Itulah namaku. Artinya yang terpuji. Aku lahir pada Jumat saat menjelang fajar. Mungkin bisa disebut sebelum shalat subuh. Aku lahir pada 17 Rabiul Awwal tahun gajah atau 570 Masehi. Orang-orang Arab pada masa lahirku belum mengenal penanggalan dengan benar sehingga dalam menunjukkan tahun menggunakan kejadian atau peristiwa besar yang tidak dilupakan masyarakat. 

Nah, disebut tahun gajah karena pada masa itu, sebelum aku lahir, pernah seorang Abrahah dari Negeri Yaman dengan pasukan gajah datang ke kota kelahiranku: Makkah. Abrahah datang dengan pasukannya menggunakan gajah. Karena itu, pasukannya disebut pasukan gajah.  Mereka datang untuk menghancurkan Ka’bah, rumah Allah. Dalam sejarah diceritakan bahwa Ka’bah merupakan tempat thawaf sekaligus kiblat untuk beribadah kepada Allah. Orang-orang jazirah Arab dahulu kalau ingin beribadah kepada Tuhan datangnya ke Ka’bah. Hampir setiap musim haji, di Makkah banyak orang. 

Selain beribadah, di sekitar Ka’bah ada orang-orang yang berjualan. Tidak aneh kalau kotaku ini menjadi pusat perdagangan dan pusat ibadah. Kabarnya alasan keuntungan ekonomi inilah yang membuat raja dari Negeri Yaman ingin membuat suasana yang sama dengan Makkah di negerinya. 

Rencananya, raja mau membuat tempat ibadah yang mirip dengan Ka’bah agar orang-orang yang beribadah tidak lagi ke Makkah, tetapi ke Yaman. Raja Yaman ingin memindahkan pusat perdagangan dan ibadah. Ya... biar makmur dan dapat penghasilan dari aktivitas perdagangan yang dilakukan orang-orang. Tentu dengan pajak dari orang-orang yang berjualan akan mendapatkan harta tanpa harus bekerja. Tinggal perintah dan tarik pajak langsung mengalir pundi-pundi uang dan harta. Apalagi nanti kalau sudah dikenal pasti setiap negeri akan mengetahui betapa berwibawa dan terhormatnya negeri Yaman. Nah, itulah alasannya sehingga raja negeri Yaman mengerahkan pasukan gajah yang banyak dengan komandan Abrahah. 

Meski pasukan gajah banyak, tetapi tidak berhasil menghancurkan Ka’bah. Mereka berlarian dan mati akibat batu-batu api yang dilemparkan burung-burung langit yang disebut ababil. Huruf latinnya: a-b-a-b-i-l. Jumlahnya ribuan. Dari langit burung ababil menjatuhkan batu-batu kepada pasukan gajah hingga mereka mati mengenaskan.  Akhirnya, mereka tidak berhasil menghancurkan Ka’bah. Pasti tidak bisa karena Ka’bah milik Allah sehingga tidak ada yang dapat melawan kekuasaan Allah. 

Oh, iya. Burung ababil itu muncul bermula karena kakekku yang memohon kepada Allah supaya Ka’bah tidak hancur. Karena kakekku adalah seorang penjaga Ka’bah maka mempunyai kewajiban untuk menjaganya. Kalau mengandalkan orang-orang Makkah tidak mungkin dapat melawan pasukan gajah sehingga kakekku berdoa kepada Allah. Kemudian Allah mengabulkan doa kakekku dengan mengirimkan burung ababil dari langit kemudian membinasakan pasukan gajah. 

Aku tahu kamu belum tahu siapa nama kakekku. Kakekku namanya: Abdul Muthalib. Nama aslinya Syaibah, yang memiliki rambut putih. Kakekku termasuk orang Yathrib atau Madinah. Kakekku ini adalah putra seorang bangsawan yang bernama: Hasyim. Hasyim ini termasuk keturunan dari Nabi Ismail as putra Nabi Ibrahim as. 

Nah… jalur silsilahnya mulai dari Nabi Adam as: Adam-Syith-Yanis-Qainan-Mahlil-Yard-Akhnukh(Idris)-Mattusyalakh-Lamk-Nuh-Sam-Arfakhsyaz-Syalikh-Aibar-Falikh-Ra’u-Sarug-Nahur-Taarih(Azar)-Ibrahim-Ismail-Nabit-Yasyjub-Ya’rub-Tairah-Nahur-Muqawwam-Udd(Udad)-Adnan-Ma’ad-Nizar-Mudar-Ilyas-Mudrikah-Khuzaimah-Kinanah-Annadr-Malik-Fihr(Quraisy)-Galib-Lu’ayy-Ka’ab-Murrah-Kilab-Qussay-Abdu Manaf-Hasyim-Syaibah(Abdul Muthalib)-Abdullah-dan Muhammad. Dari silsilah tersebut jelas bahwa aku ini berasal dari keturunan para Nabi dan Allah telah memilihku menjadi Nabi terakhir. Kalau ada yang mengaku nabi setelahku, pasti bohong dan tidak perlu dipercaya. 

Kakekku yang bernama Abdul Muthalib ini dahulu bersama ayahnya, Hasyim, pernah tinggal di Yathrib selama perjalanan bisnis. Lalu ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Kakekku kemudian dibawa oleh saudara ayahnya yang bernama Muthalib ke Makkah untuk menjadi pewaris harta serta pelanjut ayahnya: Hasyim. Orang-orang Makkah kemudian menjuluki kakekku dengan nama Abdul Muthalib. Sampai aku lahir pun kakekku dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Kakekku dikenal sebagai orang yang baik dan dermawan. Kakekku juga yang menjadi penggali sumur zamzam yang pernah tertimbun tanah. 

Berkat keturunan mulia dan berhasil menemukan sumber zamzam inilah yang kemudian wibawa kakekku menjadi semakin terhormat dan istimewa. Apalagi memegang kunci Ka’bah menambah besar wibawa kakekku dan anak-anaknya. Kakekku termasuk orang yang memelihara ajaran hanif,  agama yang dibawa Nabi Ibrahim as. Meski Ka’bah telah dijadikan sarana pemujaan orang-orang yang menyembah berhala, tetapi kakekku tidak termasuk pada golongan yang menyembah berhala. Meski pada Ka’bah terdapat berhala, setiap kali berdoa kudengar kakekku menyebut nama Allah. 

Karena Ka’bah menjadi pusat ibadah dan ziarah orang-orang beragama sehingga setiap musim ibadah Makkah menjadi ramai. Sebagai bentuk pelayanan (khidmat), kakekku beserta anak-anaknya seringkali menyedikan makanan dan minuman untuk orang-orang dari negeri jauh yang datang ke Ka’bah. Kedermawanan itulah yang membuat nama kakekku semakin harum dan menjadi tokoh utama di Makkah. Bahkan, orang-orang miskin juga sering dapat sedekah dan bantuan dari kakekku. 

Oh iya... kakekku itu namanya Abdul Muthalib. Ejaannya: a-b-d-u-l-m-u-th-a-l-i-b. Kakekku pernah bernazar kepada Allah bahwa kalau diberi anak sepuluh maka akan menyembelih seratus ekor unta sebagai ungkapan syukur. Ternyata permohonannya dikabulkan Allah kemudian menyembelih dan membagikan dagingnya buat orang-orang miskin dan masyarakat Makkah. Allah menganugerahi kakekku dengan sepuluh anak. Salah satunya Abdullah, yang menjadi ayahku. Abdullah ini dikenal orang baik sehingga banyak orang yang menghormatinya. Ayahku di antara sembilan anak kakekku yang paling dicintai. Banyak perempuan Makkah yang menginginkan ayahku. Namun kakekku tidak memberikannya. Ayahku dinikahkan dengan Aminah, seorang perempuan terhormat dan berakhlak mulia. Ya, Aminah inilah nama ibuku. 

Pekerjaan ayahku sama dengan orang-orang Makkah. Ia seorang pebisnis yang menjual barang-barang berharga yang dijualnya sampai keluar negeri: Syiria, Yaman, dan Jazirah Arab lainya. Hampir semua orang-orang kaya di Makkah menjadi pedagang. Perjalanan dagang waktu itu menggunakan kuda dan unta yang menempuh waktu berbulan-bulan. Sampai-sampai meninggalkan anak istri dan tempat tinggalnya. Tentu saja keluarganya yang menjadi pejaga dari hartanya yang ditinggalkan. 

Nah, saat aku dalam kandungan ibuku, ayahku pergi berdagang. Dalam perjalanan pulang dagang ayahku sakit. Ayahku bersama rombongan berhenti di Yatsrib (Madinah) kemudian dirawat saudara dari kakekku. Bukannya sembuh, ayahku meninggal dunia dan dikuburkan di daerah tersebut. Karena itu, saat aku lahir ayahku tidak berada di samping ibuku. Jadi, ketika lahir aku adalah seorang yatim. 

Oh, iya… Aku lahir di rumah yang daerahnya dikenal dengan nama Kampung Suqullail, kaki Gunung Abi Qubaisyi, Makkah. Ibuku menamaiku: Ahmad. Artinya yang paling terpuji. Namun kemudian nama Muhammad disematkan kepadaku oleh kakekku seraya membawaku dengan gembira ke hadapan Ka’bah. Kakekku kemudian menyembelih beberapa unta untuk merayakan kelahiranku.  

Sejak lahir aku dirawat ibuku sampai usia dua tahun. Sesuai dengan kebiasaan orang-orang Makkah, aku diasuh oleh ibu susuan yang bernama Halimah Sa’diyah. Selama masa asuhan itu aku belajar mengembala domba dan bermain di tempat yang banyak pohon. Aku menyaksikan keindahan langit dan menghirup udara segar. Daerahnya cukup jauh dari Makkah. 

Pada usia empat tahun aku dikembalikan kepada ibuku. Sejak itu aku hidup bersama ibuku sampai usia enam tahun. Ketika usiaku enam tahun, ibuku meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Yatsrib. 

Ceritanya begini: aku dan ibuku berziarah ke makam ayahku. Saat dalam perjalanan pulang ibuku sakit kemudian meninggal dunia kemudian dikuburkan di sana. Aku sedih sekali. Aku kembali ke Makkah bersama Ummu Aiman, pembantu di rumahku. 

Sejak ibuku meninggal dunia, kakekku yang merawatku hingga usia sepuluh tahun. Aku senang sekali hidup bersama kakekku. Ia baik dan sangat menyayangiku. Ia sering membawaku ke Ka’bah. Usia kakekku semakin hari semakin tua dan sering sakit. Saat usiaku sepuluh tahun kakekku meinggal dunia. Aku sangat sedih. Namun, kakekku sudah berpesan kepada saudara ayahku, Abu Thalib, yang juga salah seorang anak dari kakekku. 

Aku memanggilnya paman. Pamanku ini seorang pedagang dan menjadi pemegang kunci Ka’bah yang berarti orang terhormat di kota Makkah. Sama seperti kakekku, pamanku sangat baik dan sayang kepadaku. Sampai-sampai pamanku berpesan bahwa orang-orang di rumah pamanku tidak boleh makan sebelum aku makan. Aku diperlakukan istimewa. Juga oleh bibiku, Fathimah, suami pamanku. Ia sangat sayang dan memperlakukan aku sebagaimana anaknya. 

Sebagaimana kakekku, pamanku juga menjadi tempat tumpuan orang-orang yang dilanda masalah. Pernah suatu waktu keadaan Makkah dilanda kekeringan sehingga tidak ada pohon kurma yang berbuah dan sumur di sekitar Makkah kekeringan. Orang-orang Makkah kemudian mendatangi pamanku untuk memintakan hujan kepada Allah. Mereka percaya bahwa pamanku kedudukannya sama dengan kakekku yang kalau berdoa pasti dikabulkan Allah. 

Pamanku kemudian pergi membawaku ke tempat yang tinggi yang ada di sekitar Makkah. Sambil memegang tanganku dan menyebut namaku, pamanku memohon hujan kepada Allah. Tidak lama seusai berdoa, awan mendung dan hujan turun dari langit. Orang-orang Makkah bersorak gembira dan mendendangkan syair yang memuji pamanku.   

Oh iya… selain diasuh, aku juga pernah dibawa berdagang ke Syiria. Itu terjadi saat aku berusia dua belas tahun. Aku naik unta bersama pamanku. Di perjalanan yang panas terik, awan di langit menaungiku sehingga aku dan pamanku tidak kepanasan. Hanya saja rombongan dagang pamanku terlihat sangat kelelahan dan kepanasan sehingga sesekali berteduh di bawah pohon kurma. 

Ketika berteduh, seorang pendeta mengajak pamanku untuk masuk dan menikmati jamuan di rumahnya. Rombongan pamanku pun masuk. Aku tinggal sendirian di luar. Kemudian pamanku bersama pendeta mendatangiku dan mengajak aku masuk untuk menikmati jamuan makan yang telah disediakan. Saat aku makan, pendeta terus melihatku. Ia tampak tertegun dengan air muka yang heran. Ia melihat pamanku dan orang-orang yang makan. Kemudian melihatku dan mengeluarkan kata-kata: anak ini seperti yang disebutkan dalam kitab agamaku. 

Pendeta mendekatiku kemudian memintaku untuk bersumpah dengan menyebut nama-nama berhala besar yang terdapat di Ka’bah. Aku menolaknya. Kepada pamanku, pendeta memohon untuk memperlihatkan tulang belikatku. Aku tidak menolaknya. Seketika saat pendeta melihatanya langsung senyum dengan airmuka berseri-seri bahagia. Dari bibirnya keluar kata-kata: inilah dia yang dijanjikan Tuhanku. 

Tentu saja pamanku tidak mengerti dengan yang diucapkannya. Oh, iya… nama pendeta itu Bahira yang tinggal di Bashrah. Antara pamanku dan pendeta Bahira terjadi percakapan: 

“Siapa anak ini?”

 “Namanya Muhammad.”

“Apa status anak ini di sisimu?”

“Dia anakku.”

“Tidak! Dia bukan anakmu. Tidak semestinya ayah anak ini masih hidup.”

“Dia adalah anak saudaraku.”

 “Apa yang terjadi kepada ayahnya?”

“Ia meninggal ketika anak ini masih berada dalam kandungan.”

“Anda telah berkata benar. Bawalah anak ini pulang dan lindungilah dia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya, mereka pasti akan menyakitinya. Sesunggguhnya, anak saudaramu ini akan memegang perkara besar.”


Dari percakapan itulah pamanku semakin yakin bahwa aku seorang manusia istimewa dan telah dipilih Allah sebagai Nabi dan Rasul Allah. Apalagi sebelumnya telah diingatkan kakekku untuk senantiasa menjagaku dan merawatku dengan sebaik-baiknya. 


Oh, iya… Dalam perjalanan dagang itulah aku mengetahui kehidupan orang-orang yang dilewati dalam perjalanan. Aku menjadi tahu daerah-daerah selain Makkah. Aku menjadi tahu perilaku dan bentuk-bentuk rumah serta kebiasaan orang-orang. Menjadi tahu kalau dalam berdagang tidak boleh menipu atau curang.  Dalam berjalan dan berbincang aku menjadi tahu bahwa manusia harus menggunakan kata-kata yang baik, sopan, dan santun. Aku melihat hal-hal yang baik dari pamanku.


Saat dalam perjalanan dagang dan lebih-lebih sepulang dari perjalanan dagang, aku benar-benar dijaga oleh pamanku. Setiap kali aku berangkat disertainya. Sampai-sampai ketika aku mengembala domba pun ditungguinya sambil membawa makanan untukku. Seolah-olah aku ini anaknya. Padahal, pamanku sebenarnya memiliki anak lelaki di antaranya Thalib, Aqil, Ja’far, dan Ali. Namun, kasih sayang paman dan bibi kepadaku melebihi kepada anak-anaknya. *** (ditulis oleh ahmad sahidin)