Pada usia empat puluh tahun, Sayyid Muhammad bin Abdullah yang sehari-hari bersama istri dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib, merasakan suasana yang tidak sempurna dalam kehidupan masyarakat Arab. Sejak lahir hingga menikah, Sayyid Muhammad bin Abdullah melihat masyarakat Arab terus menerus berada dalam Kondisi tidak bermoral dan menyembah patung-patung (berhala). Hampir setiap hari melihat penindasan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan masyarakat Makkah. Para budak terus menerus dipekerjakan tanpa upah yang cukup, bahkan tidak sedikit yang disiksa hanya karena tidak sempurna dalam bekerja. Kaum perempuan hanya dimanfaatkan sebagai pemuas syahwat (berahi). Praktik zinah berlangsung di tengah masyarakat Makkah. Setiap lelaki kaya dan bangsawan boleh berganti-ganti pasangan. Setiap lelaki yang beristri diperbolehkan untuk bertukar pasangan dengan kawannya. Seorang anak lelaki yang ditinggal mati ayahnya menjadi pemilik sah istri-istri ayahnya dan anak lelaki tersebut diperkenankan untuk memuaskan berahi dengan istri ayahnya (asal bukan ibu kandungnya). Bahkan ia bisa mempekerjakannya sebagai wanita penghibur.
Tentang pelacuran di Makkah, disebutkan tempatnya merupakan rumah yang
dipasang kain (bendera) tertentu di atasnya. Seorang pelacur yang sudah
berganti-ganti pasangan dan kalau hamil kemudian melahirkan anak, ia boleh
memilih ayah untuk anaknya dari lelaki yang pernah menidurinya. Bahkan, seorang
yang derajatnya rendah dapat menaikan derajat keturunannya dengan menyerahkan
istrinya untuk ditiduri oleh lelaki bangsawan. Kalau sudah ada tanda-tanda
hamil maka istri tersebut diambil kembali. Tidak jarang dari lelaki kaya di Makkah
memiliki istri sampai sepuluh orang. Tidak ada batas jumlah istri yang boleh
dinikahi pada masa itu. Seorang budak wanita pun boleh digauli tanpa
pernikahan. Kalau sampai hamil maka anaknya menjadi tanggungjawab tuannya dan sang
ibunya tetap berstatus budak. Nilai seorang anak laki-laki bagi masyarakat Arab
menjadi utama karena menjadi pelanjut orang tua dan mempertahankan keberadaan
kabilah. Sudah menjadi kesepakatan bersama dan tradisi Arab bahwa anak lelaki merupakan anugerah terbesar bagi orang tua. Apabila seorang wanita melahirkan anak
perempuan maka suami dan
keluarganya merasa tercoreng dan
malu. Tidak sedikit orangtua yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang
baru lahir. Perilaku ini
pernah dilakukan seorang lelaki Makkah yang kemudian ia
masuk agama Islam. Perlu disebutkan bahwa minum-minuman keras
sampai mabuk dan melakukan perang
antar suku, serta curang dalam bisnis sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab. Beberapa
sahabat Nabi yang masuk Islam
di Makkah pernah melakukan praktik-praktik jahiliah. Kalau dilacak dari sumber-sumber
terdahulu yang berkaitan dengan budaya Arab, tampaknya lembaran asusila dan
amoral memenuhi catatan sejarah.[1]
Dari sekian banyak sahabat Nabi, disebutkan hanya Ali bin Abi
Thalib yang terjaga dari perbuatan dan perilaku jahiliah. Ali sejak kecil berada dalam asuhan Nabi Muhammad
Saw dan Khadijah binti Khuwailid.
Ali adalah keponakan Rasulullah Saw, anak dari Abu Thalib yang
diambilnya ketika musim paceklik. Rasulullah Saw dan Abbas
bin Abdul Muthalib berusaha meringankan beban Abu Thalib yang mengalami kekurangan harta. Setelah
berbincang, Rasulullah Saw membawa Ali untuk diasuh dan Abbas bin Abdul Muthalib mengambil Jafar bin Abu Thalib. Sementara Aqil dan Thalib tetap berada
dalam asuhan ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib.
Berkaitan dengan masa pengasuhan ini, sejawaran Jafar Subhani menulis
penuturan Ali bahwa, “Pada masa saya kanak-kanak, Beliau membesarkan saya di
bawah asuhannya. Beliau menempelkan saya ke dadanya dan merangkul saya di
ranjangnya. Saya biasa mencium bau keringatnya. Saya mengikutinya persis
seperti anak unta mengikuti induknya. Setiap hari Beliau memperlihatkan tanda
kebijakan moralnya yang tinggi dan memerintahkan saya meneladaninya. Beliau
tinggal di Hira setiap tahun dan saya biasa pergi melihatnya di sana, saat tak
seorang pun melihatnya.” [2]
Muhammad Al-Baqir juga memuat riwayat dari Nahjul Balaghah sebagai
berikut, “… Dan telah kalian ketahui tempatku di sisi Rasulullah Saw dengan
kekerabatanku yang amat dekat dan kedudukanku yang khusus. Beliau meletakkan
aku di pangkuannya ketika aku masih seorang bocah. Didekapnya aku ke dadanya,
dipeluknya di pembaringannya, disentuhkannya aku dengan tubuhnya dan
diciumkannya aku harum aromanya. Adakalanya beliau mengunyah sesuatu lalu disuapkannya
ke mulutku. Tiada pernah ia mendapatiku berdusta dalam suatu ucapan atau
gegabah dalam suatu perbuatan. Sejak masa kecilnya, Allah Swt telah menyertakan
dengannya malaikat-Nya yang termulia agar menunjukkan kepadanya jalan keluhuran
pekerti serta kemuliaan akhlak di siang hari ataupun di malam harinya. Aku pun
mengikutinya ke mana beliau pergi, bagai anak unta setia mengikuti ibunya. Tiap
hari ia mengajariku tambahan pengetahuan dari akhlaknya dan memerintahkan aku
agar mencontohnya. Di hari-hari tertentu, setiap tahunnya, ia menyingkir
menyendiri di Gua Hira, dan aku melihatnya sementara tidak ada seorang pun
melihatnya selain aku. Pada saat itu tidak ada satu pun rumah tangga yang
terikat dalam Islam selain Rasulullah Saw dan Khadijah serta aku (yang ketiga
setelah keduanya). Dan aku pun menyaksikan sinar wahyu dan kerasulan, menghirup
pula semerbaknya kenabian.”[3]
Dari riwayat tersebut wajar kalau Ali bin Abu Thalib disebut sang pintu ilmu oleh Rasulullah Saw.[4] Selain
itu, Ali juga dinikahkan Rasulullah Saw dengan putrinya, Sayidah
Fathimah. Tentu ini menjadikan Ali berkedudukan
tinggi, sebagai manusia yang terhornat, memiliki derajat ilmu dan akhlak yang mulia.
Kalau dikaji secara historis posisi Ali demikian sebagai hasil dari binaan Nabi
Muhammad Saw. Dapat dikatakan tidak ada sahabat lainnya yang menyamai kedudukan
Ali. Banyak sahabat yang dekat dengan Nabi, tetapi hubungannya sama seperti
yang lain. Memang ada sahabat yang menjadi mertua atau saudara Rasulullah Saw
karena ikatan pernikahan. Namun, hubungannya dengan Rasulullah Saw tidak
sedekat dan seakrab Ali bin Thalib dari sejak masa-masa menjalani kehidupan
rumah tangga dengan Khadijah dan masa-masa dakwah sampai Nabi wafat.
Sebuah keputusan hebat yang dilakukan Nabi adalah dengan tidak terlalu
akrab dengan masyarakat yang masih jahiliah. Apalagi dengan budaya Arab yang
lebih memihak penguasa dan bangsawan serta menindas mustadh’afin, sehingga membuat Nabi memilih untuk mengasingkan diri. Nabi lebih memfokuskan membina keluarga
dan orang-orang yang hadir dalam kehidupannya. Kemudian atas
petunjuk Allah yang muncul dalam mimpi, Sayyid
Muhammad bin Abdullah menyendiri (uzlah)
di Gua Hira.[5]
Di Gua Hira ini ia menyendiri dan beribadah dengan tata cara ibadah agama hanif, merujuk ajaran Abdul Muthalib yang diwariskan dari Nabi Ibrahim as.[6] Kadang sepuluh malam sampai satu bulan berdiam di Gua Hira. Setelah bekal makanan dan minuman habis segera kembali ke rumah untuk mengambil bekal kemudian melanjutkan uzlah di Gua Hira. Kadang sendirian, juga sesekali ditemani keponakannya, Ali bin Abu Thalib. Di Gua Hira ini Sayyid Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah. Peristiwa ini dalam sejarah dikenal dengan bi’tsah (pengangkatan menjadi Rasul Allah). *** (ahmad sahidin)
[1] Menarik kalau ada riset khusus tentang perilaku jahiliah ini untuk
mengukur perubahan masyarakat Arab dari masa ke masa, khususnya pra Islam dan
pascawafat Rasulullah Saw.
[2] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta:
Lentera, 2006) h.162-166.
[3] Muhammad
Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali r.a. (Bandung:
Mizan, 2001) h.30. Buku ini terjemahan dari kitab Nahjul Balaghah yang
dihimpun oleh Syarif Ar-Radhiy dan diberi syarah oleh Syaikh Muhammad
Abduh kemudian diterbitkan Mathba’ah Al-Istiqamah di Mesir. Kitab ini ditahkik
oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, dosen Fakultas Bahasa Arab di Universitas
Al-Azhar, Mesir.
[4] Hadis ini
berbunyi, “Ana madinatul ilmi, wa ‘Aliyyun babuha; faman arada madina fal
ya’tiha min babiha.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim An-Nasyaburi dalam Al-Mustadrak
Al-Hakim.
[5] Sebuah gua di pegunungan yang terletak di Sebelah Utara
Masjidil Haram, Makkah, yang dikenal dengan nama Jabal Nur. Bentuk guanya
memanjang dan berada di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit.
Gua ini hanya bisa didiami sekitar lima orang dan cukup untuk tidur tiga orang
berdampingan. Tinggi gua hanya sebatas orang berdiri atau dua meter. Di sekitar gunung ini tidak ditemui tanaman
alias gersang. Hanya terdiri dari batu-batu besar dan keadaannya sunyi hingga
terasa menakutkan. Kini, Gua Hira sering diziarahi para jemaah haji. Perjalanan
menuju Gua Hira sekitar 1,5 jam. Jamaah haji biasanya menapaki batuan tangga
yang sudah ada. Tidak terlalu sulit untuk mencapai Gua Hira karena batu-batuan
yang ada bisa dijadikan pijakan yang kuat. Lengkapnya lihat Ahmad Sahidin dkk, A-Z Faktaneka Keajaiban Al-Quran
(Bandung: Chilpress, 2010) h.23-25.
[6] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta:
Lentera, 2006) h.159-161.