Setelah persalinan, beberapa hari kemudian Abdul Muthalib, sang kakek, membawa Sayyid Muhammad yang masih bayi itu ke Baitullah (Ka’bah) dan diberi nama Muhammad, yang berarti orang yang terpuji, dan ibunya memberi nama Ahmad.[1] Kemudian para ulama menyebut Nabi Muhammad Saw dengan panggilan Al-Mushthafa, manusia pilihan.
Nama Sayyid Muhammad pada
masa itu bukan nama yang populer. Jafar Subhani menyebutkan ada enam belas
orang yang diberi nama Muhammad sebelum lahirnya Muhammad bin Abdullah. Kakeknya
sangat senang sekali kepada Sayyid Muhammad sehingga
selalu diperhatikan dan dirawat dengan penuh cinta. Sayyid Muhammad diperlakukan berbeda
dari cucunya yang lain. Di antaranya diperbolehkan duduk
di atas karpet terhormat di Ka’bah yang khusus diduduki mereka yang mendapat
kehormatan mengurus Ka’bah dan pemimpin masyarakat Makkah.
Untuk mendapatkan udara yang segar dan suasana
yang asri[2]maka
pada usia dua tahun, Sayyid Muhammad diasuh oleh Halimah binti Sa’diyah
di kampung tempat tinggalnya. Sebelumnya (selama empat bulan) telah disusui
oleh Suwaibah, wanita budak Abu Lahab, yang kelak dibeli dan dimerdekakan oleh
Khadijah.
Dalam masa pengasuhan Halimah, Sayyid Muhammad belajar
mengembalakan dan mengurus domba. Dikisahkan saat bermain bersama temannya dan sembari mengembalakan
domba, ada makhluk yang berpakaian putih menghampiri Nabi. Makhluk itu membaringkan Sayyid Muhammad dan membuka bajunya kemudian membelah dadanya. Dari dada itu dikeluarkan hatinya dan dibersihkan dari berbagai kotoran yang akan menyebabkan
adanya penyakit hati. Teman
sepermainan yang melihat Nabi
dibawa makhluk berbaju putih berlari ke Halimah dan menyampaikan kejadian tersebut. Karena kondisi Sayyid Muhammad dalam keadaan baik-baik, ibu asuhnya
tidak merasa khawatir.
Usia empat tahun, Sayyid Muhammad
dikembalikan kepada ibunya, Sayidah Aminah. Ibu asuhnya menceritakan kelakuan Sayyid Muhammad kecil yang senang membantu ibu asuhnya dalam mengembalakan dan
memerah susu domba. Sayyid Muhammad juga diceritakan selalu
menghormati terhadap ibu asuh dan tidak membantah kalau diminta melakukan hal-hal
yang baik.
Sang ibunda Sayyid Muhammad senang mendengar kabar yang baik berkaitan dengan putranya. Sayyidah Aminah yakin bahwa Sayyid Muhammad kecil kelak
akan menjadi seorang manusia agung. Baru dua tahun bersama ibunya, Sayyid Muhammad kecil harus berpisah dengan ibunya
karena wafat ketika dalam perjalanan pulang setelah ziarah ke makam ayahnya. Jenazah ibunda Sayyid Muhammad dimakamkan
di Abwa, kawasan Madinah, Arab. Sayyid Muhammad kecil yang berusia enam
tahun pulang ke Makkah bersama pembantunya, Ummu Aiman. Tiba di
Makkah, pembantunya menceritakan kejadian wafat ibunda Sayyid Muhammad kepada sang kakek. Anak yatim piatu itu kemudian diasuh sang
kakek sampai usia delapan
tahun. Karena sang kakek wafat maka Sayyid Muhammad dirawat sang paman, Abu Thalib, sampai usia dua puluh lima tahun. Sang paman mencintai Sayyid Muhammad. Ke mana pun pergi, Sayyid Muhammad selalu
dibawa. Kalau belum
pulang ke rumah, Sayyid Muhammad dicarinya. Anak-anak sang paman tidak boleh memakan jamuan
makan sebelum Sayyid Muhammad
memakannya. Kecintaan kepada Sayyid Muhammad yang
dilakukan sang paman melebihi cinta kepada anak-anaknya sendiri. Bibinya,
Fathimah binti Asad, selalu memperhatikan pakaian yang dikenakan Sayyid Muhammad. Kalau kotor segera diganti dengan yang bersih. Untuk tempat tidurnya, sang paman dan bibi
senantiasa menyiapkan tempat tidur yang nyaman dan senantiasa dekat
dengan keduanya.
Berkaitan dengan masa kecilnya, pernah terjadi masa kekeringan di
Makkah. Desa-desa di sekitar Makkah mengalami kekeringan karena hujan tidak
turun. Pohon-pohon kurma dan anggur kekeringan. Sumur-sumur tidak mengeluarkan
air. Orang-orang Makkah berdoa kepada berhala-berhala. Namun semua itu tidak
ada hasilnya karena langit menurunkan hujan. Di antara mereka ada yang teringat
pada kejadian penyerangan pasukan gajah terhadap Ka’bah bahwa burung-burung
ababil muncul dilangit karena Abdul Muthalib berdoa kepada Allah dan setelah
Abdul Muthalib wafat, Abu Thalib menjadi pemegang kunci Ka’bah. Orang-orang
Makkah pun berdatangan kepada Abu Thalib yang dikenal dengan julukan Syaikh
Al-Batha, yang berarti penjaga Ka’bah. Mereka memohon agar Abu Thalib berkenan
berdoa kepada Allah untuk segera menurukan hujan. Abu Thalib tidak menolak
permintaan mereka. Abu Thalib teringat kepada pesan ayahnya bahwa anak yang
dititipkan kepadanya adalah akan menjadi seorang manusia yang besar dan agung.
Dibawalah Sayyid Muhammad ke Jabal Abu Qubaisy. Sambil memegang tangan Sayyid
Muhammad, Abu Thalib berdoa kepada Allah dengan menyebutkan kemuliaan keponakannya.
Tidak berapa lama cahaya matahari yang bersinar panas mulai meredup. Awan
dilangit menghitam dan turunlah hujan dibarengi petir. Orang-orang Makkah yang
berada di sekitar bergembira menyambut hujan dengan suka cita karena lahan
pertanian akan kembali subur dan mereka tidak kelaparan.
Abu Thalib pernah membawa Sayyid Muhammad berniaga sampai ke
Syam. Sembari membawanya
dalam dunia bisnis, tanpa sadar Sayyid Muhammad telah diajarinya tentang cara
bisnis dan komunikasi dalam berjualan. Keahliannya dalam bisnis semakin terasah sampai usia dewasa. Karena
itu, untuk menambah pendapatan keluarga dan melatih kemandirian hidup, Sayyid Muhammad menjadi
pekerja pada saudagar kaya yang kelak menjadi istrinya, Khadijah binti
Khuwailid. Sayyid Muhammad dipercaya
untuk menjadi karyawannya dan selalu meraih untung yang besar dalam setiap
perjalanan bisnisnya.
Tidak ada yang meragukan bahwa sosok Sayyid
Muhammad merupakan manusia yang
cinta kesucian dan berakhlak mulia. Juga Khadijah, seorang gadis yang berakhlak baik,[3] yang usianya berbeda
sepuluh tahun dengan Sayyid Muhammad.[4]
Tidak sedikit lelaki Arab yang menginginkannya. Khadijah banyak menerima
lamaran dari para pemuka Makkah seperti Uqbah bin Mu’it, Abu Jahal, dan Abu
Sufyan bin Harb. Semuanya ditolak oleh
Khadijah.[5] Khadijah tidak menginginkan harta dan
kewibaan karena sudah memilikinya. Yang dibutuhkan Khadijah adalah sosok lelaki mulia dari akhlak dan
menjungjung nilai-nilai kemanusiaan. Sebelum bertemu dengan Sang Nabi, Khadijah
belum menemukan lelaki yang dianggapnya cocok. Ketika bertemu, berinteraksi, dan melihat sendiri perilaku Sayyid
Muhammad maka segera Khadijah tidak menunda-nunda untuk menikahinya. Meski
lelaki yang dicintainya miskin dan yatim piatu, Khadijah tidak merasa kecewa. Yang
dibutuhkan Khadijah adalah sosok yang dapat menuntunnya dalam urusan dunia dan
akhirat, berperilaku baik dan gemar dalam membantu urusan orang-orang dhu’afa.
Sosok yang diharapkan Khadijah terdapat pada Sayyid Muhammad. Akhlak yang
baik, jujur, gemar menolong, dan piawai
dalam bekerja ini membuat Khadijah tertarik untuk melamar Sayyid
Muhammad. Dua makhluk
Allah ini menikah pada 595 Masehi dengan biaya walimah terbesar dari
Khadijah. Pasangan
suami istri ini dianugerahi putra bernama Qasim dan Abdullah.[6] Keduanya wafat waktu masih kecil.
Allah memberi lagi keturunan kepada keduanya, seorang putri cantik bernama
Sayidah Fathimah Az-Zahra.[7]
Khadijah merupakan istri tercinta Nabi Muhammad Saw. Nabi sangat mencintainya. Khadijah merupakan wanita pertama yang beriman dan membelanya dengan mengorbankan seluruh hartanya
untuk dakwah Islam. Pengorbanan, kesetiaan, dan kecintaan Khadijah tidak dapat
dilukiskan. Meski
sudah wafat, Nabi Muhammad saw senantiasa terkenang kepada Khadijah. Kecintaan Nabi kepada istri pertamanya ini
mengundang cemburu Aisyah, Hafshah, dan istri Nabi lainnya. Sebuah riwayat
menyebutkan Aisyah marah kepada Sang Nabi ketika dalam sebuah obrolan menyebut
Khadijah dan memuliakan sahabat Khadijah. Sang Nabi menyampaikan alasan bahwa
Khadijah merupakan wanita pertama yang membela, mendukung, dan setia
mendampingi Nabi Muhammad saw
dalam keadaan suka maupun duka.
Dari Khadijah pula Nabi memiliki keturunan yang tidak diberikan dari
istri Nabi lainnya. Selama dua puluh
lima tahun Khadijah hidup bersama Nabi Muhammad saw. Lebih lama dari
istri-istri Nabi yang dinikahi setelah wafat
Khadijah. Tentunya
perilaku rumah tangga Nabi, termasuk merawat anak, dan mengatur
keluarga, atau urusan kemasyarakatan
seharusnya lebih banyak diketahui oleh Khadijah. Hampir tidak ada hadis
yang jalur rangkaiannya sampai kepada Khadijah sebelum kepada Nabi. Mungkinkah
tidak ada sahabat dan masyarakat Makkah yang tidak mendengar penuturan Khadijah
berkaitan dengan Nabi atau melaporkan perilaku ibadah dan kehidupan dalam rumah
tangga? Seharusnya Khadijah yang banyak meriwayatkan kehidupan Rasulullah saw dibandingkan
dari istri Nabi lainnya yang kebersamaannya kurang dari sepuluh tahun. [8]
Selain dari Khadijah, Rasulullah saw memiliki anak dari pernikahannya dengan Maria Al-Qibtiyah, seorang wanita cantik dari penguasa Mesir yang dihadiahkan kepada Nabi kemudian dinikahinya. Dari Maria, Nabi Muhammad saw memiliki seorang putra yang bernama Sayid Ibrahim. Putra Nabi ini wafat pada usia masih belia. Hanya putrinya, Sayidah Fathimah, yang hidup (anak dari pernikahan dengan Khadijah) dan nikah dengan Ali bin Abu Thalib hingga melahirkan Al-Hasan, Al-Husain, dan Zainab. Dari ketiga cucu ini keturunan dari Nabi Muhammad Saw tersebar di seluruh dunia, bahkan di antara mereka ada yang menjadi Imam mazhab dan pemimpin organisasi keagamaan Islam. *** (Ahmad Sahidin)
[1] Al-Quran
menyebut nama ‘Muhammad’ dalam surah
Ali Imran: 144, Muhammad: 2, Al-Fath: 29, Al-Ahzab: 40; dan ‘Ahmad’ dalam surah Ash-Shaf: 6.
[2] Ada pula yang menyatakan untuk menghindarkan dari
upaya-upaya kejahatan dari kaum Yahudi. Namun, pernyataan ini belum ditemukan
data-data sejarah yang menunjukkan posisi “sang calon” berada dalam
bahaya.
[3] Sebagian
masyarakat Islam Indonesia masih meyakini Khadijah adalah seorang janda berusia empat puluh tahun tanpa menyebutkan
sumber.
Silakan baca karya Ahmad Rofi Utsmani, Muhammad
sang Kekasih (Mizan Pustaka, 2009) h.74.
[4] Sayid A.A
Razwy, Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri
Rasulullah Saw, (Jakarta: Lentera, 2002) h.179-180.
[5] Jalaluddin
Rakhmat, Al-Mushthafa: Manusia Pilihan
yang Disucikan (Bandung: Simbiosa, 2008) h.159-166; Sayid A.A Razawy, Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah:
Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw (Jakarta: Lentera, 2002),
h.179-180. Buku ini diterbitkan pula oleh Hikmah, Jakarta.
[6] Sayid
A.A.Razawy, Khadijah (Jakarta: Hikmah, 2007) h. 203-211 disebutkan
Ruqayyah, Zainab, dan Umm Kultsum yang disebut putri Khadijah dan Rasulullah
saw merupakan anak asuh Khadijah yang diambil dari saudaranya. Ketiganya
memanggil ayah dan ibu (ummi dan abi) kepada yang merawatnya, Muhammad saw dan
Khadijah.
[7] Lahir 20
Jumadits Tsani tahun 5 kenabian dan
wafat 3 Jumadits Tsani tahun 11 Hijriah.
[8] Persoalan ini
belum ada yang mengkajinya secara khusus. Mungkin para ahli hadis dan sejarawan
kontemporer harus memulainya untuk membongkarnya sehingga nilai-nilai Islami
dan sejerah Islam bebas dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan hendak menghilangkan data sejarah
yang sebenarnya. Bahkan yang menyedihkan, ada buku di
Indonesia yang menyebutkan informasi sejarah yang berulang-ulang. Buku ini berjudul Muhammad
sang Kekasih dan Rumah Cinta
Rasulullah
yang ditulis oleh Ahmad Rofi Utsmani dan diterbitkan Mizan Pustaka, Bandung. Dua buku tersebut memuat perjalanan kehidupan Sang Nabi.
Namun, ketika membaca bagian Khadijah tidak ditemukan hadis-hadis yang berasal
dari Khadijah. Sejarah ditulis memang tidak lepas dari kepentingan dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Mengapa para muhadis dan sejarawan tidak
memuatnya? Kemungkinan karena alasan perbedaan mazhab dan politik serta dalam
sejarah Islam disebutkan para ulama yang menulis karena permintaan dari
penguasa. Apabila tidak sesuai dengan pesanan sudah
pasti hukuman keras yang akan menimpanya.