Kamis, 09 Desember 2021

Tarikh Nabi: Masa Kecil hingga Dewasa

Setelah persalinan, beberapa hari kemudian Abdul Muthalib, sang kakek, membawa Sayyid Muhammad yang masih bayi itu ke Baitullah (Ka’bah) dan diberi nama Muhammad, yang berarti orang yang terpuji, dan ibunya memberi nama Ahmad.[1] Kemudian para ulama menyebut Nabi Muhammad Saw dengan panggilan Al-Mushthafa, manusia pilihan.

Nama Sayyid Muhammad pada masa itu bukan nama yang populer. Jafar Subhani menyebutkan ada enam belas orang yang diberi nama Muhammad sebelum lahirnya Muhammad bin Abdullah. Kakeknya sangat senang sekali kepada Sayyid Muhammad sehingga selalu diperhatikan dan dirawat dengan penuh cinta. Sayyid Muhammad diperlakukan berbeda dari cucunya yang lain. Di antaranya diperbolehkan duduk di atas karpet terhormat di Ka’bah yang khusus diduduki mereka yang mendapat kehormatan mengurus Ka’bah dan pemimpin masyarakat Makkah.

Untuk mendapatkan udara yang segar dan suasana yang asri[2]maka pada usia dua tahun, Sayyid Muhammad diasuh oleh Halimah binti Sa’diyah di kampung tempat tinggalnya. Sebelumnya (selama empat bulan) telah disusui oleh Suwaibah, wanita budak Abu Lahab, yang kelak dibeli dan dimerdekakan oleh Khadijah.

Dalam masa pengasuhan Halimah, Sayyid Muhammad belajar mengembalakan dan mengurus domba. Dikisahkan saat bermain bersama temannya dan sembari mengembalakan domba, ada makhluk yang berpakaian putih menghampiri Nabi. Makhluk itu membaringkan Sayyid Muhammad dan membuka bajunya kemudian membelah dadanya. Dari dada itu dikeluarkan hatinya dan dibersihkan dari berbagai kotoran yang akan menyebabkan adanya penyakit hati. Teman sepermainan yang melihat Nabi dibawa makhluk berbaju putih berlari ke Halimah dan menyampaikan kejadian tersebut. Karena kondisi Sayyid Muhammad dalam keadaan baik-baik, ibu asuhnya tidak merasa khawatir.

Usia empat tahun, Sayyid Muhammad dikembalikan kepada ibunya, Sayidah Aminah. Ibu asuhnya menceritakan kelakuan Sayyid Muhammad kecil yang senang membantu ibu asuhnya dalam mengembalakan dan memerah susu domba. Sayyid Muhammad juga diceritakan selalu menghormati terhadap ibu asuh dan tidak membantah kalau diminta melakukan hal-hal yang baik.

Sang ibunda Sayyid Muhammad senang mendengar kabar yang baik berkaitan dengan putranya. Sayyidah Aminah yakin bahwa Sayyid Muhammad kecil kelak akan menjadi seorang manusia agung. Baru dua tahun bersama ibunya, Sayyid Muhammad kecil harus berpisah dengan ibunya karena wafat ketika dalam perjalanan pulang setelah ziarah ke makam ayahnya. Jenazah ibunda Sayyid Muhammad dimakamkan di Abwa, kawasan Madinah, Arab. Sayyid Muhammad kecil yang berusia enam tahun pulang ke Makkah bersama pembantunya, Ummu Aiman. Tiba di Makkah, pembantunya menceritakan kejadian wafat ibunda Sayyid Muhammad kepada sang kakek. Anak yatim piatu itu kemudian diasuh sang kakek sampai usia delapan tahun. Karena sang kakek wafat maka Sayyid Muhammad dirawat sang paman, Abu Thalib, sampai usia dua puluh lima tahun. Sang paman mencintai Sayyid Muhammad. Ke mana pun pergi, Sayyid Muhammad selalu dibawa. Kalau belum pulang ke rumah, Sayyid Muhammad dicarinya. Anak-anak sang paman tidak boleh memakan jamuan makan sebelum Sayyid Muhammad memakannya. Kecintaan kepada Sayyid Muhammad yang dilakukan sang paman melebihi cinta kepada anak-anaknya sendiri. Bibinya, Fathimah binti Asad, selalu memperhatikan pakaian yang dikenakan Sayyid Muhammad. Kalau kotor segera diganti dengan yang bersih. Untuk tempat tidurnya, sang paman dan bibi senantiasa menyiapkan tempat tidur yang nyaman dan senantiasa dekat dengan keduanya.

Berkaitan dengan masa kecilnya, pernah terjadi masa kekeringan di Makkah. Desa-desa di sekitar Makkah mengalami kekeringan karena hujan tidak turun. Pohon-pohon kurma dan anggur kekeringan. Sumur-sumur tidak mengeluarkan air. Orang-orang Makkah berdoa kepada berhala-berhala. Namun semua itu tidak ada hasilnya karena langit menurunkan hujan. Di antara mereka ada yang teringat pada kejadian penyerangan pasukan gajah terhadap Ka’bah bahwa burung-burung ababil muncul dilangit karena Abdul Muthalib berdoa kepada Allah dan setelah Abdul Muthalib wafat, Abu Thalib menjadi pemegang kunci Ka’bah. Orang-orang Makkah pun berdatangan kepada Abu Thalib yang dikenal dengan julukan Syaikh Al-Batha, yang berarti penjaga Ka’bah. Mereka memohon agar Abu Thalib berkenan berdoa kepada Allah untuk segera menurukan hujan. Abu Thalib tidak menolak permintaan mereka. Abu Thalib teringat kepada pesan ayahnya bahwa anak yang dititipkan kepadanya adalah akan menjadi seorang manusia yang besar dan agung. Dibawalah Sayyid Muhammad ke Jabal Abu Qubaisy. Sambil memegang tangan Sayyid Muhammad, Abu Thalib berdoa kepada Allah dengan menyebutkan kemuliaan keponakannya. Tidak berapa lama cahaya matahari yang bersinar panas mulai meredup. Awan dilangit menghitam dan turunlah hujan dibarengi petir. Orang-orang Makkah yang berada di sekitar bergembira menyambut hujan dengan suka cita karena lahan pertanian akan kembali subur dan mereka tidak kelaparan.

Abu Thalib pernah membawa Sayyid Muhammad berniaga sampai ke Syam. Sembari membawanya dalam dunia bisnis, tanpa sadar Sayyid Muhammad telah diajarinya tentang cara bisnis dan komunikasi dalam berjualan. Keahliannya dalam bisnis semakin terasah sampai usia dewasa. Karena itu, untuk menambah pendapatan keluarga dan melatih kemandirian hidup, Sayyid Muhammad menjadi pekerja pada saudagar kaya yang kelak menjadi istrinya, Khadijah binti Khuwailid. Sayyid Muhammad dipercaya untuk menjadi karyawannya dan selalu meraih untung yang besar dalam setiap perjalanan bisnisnya.

 Tidak ada yang meragukan bahwa sosok Sayyid Muhammad merupakan manusia yang cinta kesucian dan berakhlak mulia. Juga Khadijah, seorang gadis yang berakhlak baik,[3] yang usianya berbeda sepuluh tahun dengan Sayyid Muhammad.[4] Tidak sedikit lelaki Arab yang menginginkannya. Khadijah banyak menerima lamaran dari para pemuka Makkah seperti Uqbah bin Mu’it, Abu Jahal, dan Abu Sufyan bin Harb. Semuanya ditolak oleh Khadijah.[5] Khadijah tidak menginginkan harta dan kewibaan karena sudah memilikinya. Yang dibutuhkan Khadijah adalah sosok lelaki mulia dari akhlak dan menjungjung nilai-nilai kemanusiaan. Sebelum bertemu dengan Sang Nabi, Khadijah belum menemukan lelaki yang dianggapnya cocok. Ketika bertemu, berinteraksi, dan melihat sendiri perilaku Sayyid Muhammad maka segera Khadijah tidak menunda-nunda untuk menikahinya. Meski lelaki yang dicintainya miskin dan yatim piatu, Khadijah tidak merasa kecewa. Yang dibutuhkan Khadijah adalah sosok yang dapat menuntunnya dalam urusan dunia dan akhirat, berperilaku baik dan gemar dalam membantu urusan orang-orang dhu’afa. Sosok yang diharapkan Khadijah terdapat pada Sayyid Muhammad. Akhlak yang baik, jujur, gemar menolong, dan piawai dalam bekerja ini membuat Khadijah tertarik untuk melamar Sayyid Muhammad. Dua makhluk Allah ini menikah pada 595 Masehi dengan biaya walimah terbesar dari Khadijah. Pasangan suami istri ini dianugerahi putra bernama Qasim dan Abdullah.[6] Keduanya wafat waktu masih kecil. Allah memberi lagi keturunan kepada keduanya, seorang putri cantik bernama Sayidah Fathimah Az-Zahra.[7] 

Khadijah merupakan istri tercinta Nabi Muhammad Saw. Nabi sangat mencintainya. Khadijah merupakan wanita pertama yang beriman dan membelanya dengan mengorbankan seluruh hartanya untuk dakwah Islam. Pengorbanan, kesetiaan, dan kecintaan Khadijah tidak dapat dilukiskan.  Meski sudah wafat, Nabi Muhammad saw senantiasa terkenang kepada Khadijah. Kecintaan Nabi kepada istri pertamanya ini mengundang cemburu Aisyah, Hafshah, dan istri Nabi lainnya. Sebuah riwayat menyebutkan Aisyah marah kepada Sang Nabi ketika dalam sebuah obrolan menyebut Khadijah dan memuliakan sahabat Khadijah. Sang Nabi menyampaikan alasan bahwa Khadijah merupakan wanita pertama yang membela, mendukung, dan setia mendampingi Nabi Muhammad saw dalam keadaan suka maupun duka.

Dari Khadijah pula Nabi memiliki keturunan yang tidak diberikan dari istri Nabi lainnya. Selama dua puluh lima tahun Khadijah hidup bersama Nabi Muhammad saw. Lebih lama dari istri-istri Nabi yang dinikahi setelah wafat Khadijah. Tentunya perilaku rumah tangga Nabi, termasuk merawat anak, dan mengatur keluarga, atau urusan kemasyarakatan seharusnya lebih banyak diketahui oleh Khadijah. Hampir tidak ada hadis yang jalur rangkaiannya sampai kepada Khadijah sebelum kepada Nabi. Mungkinkah tidak ada sahabat dan masyarakat Makkah yang tidak mendengar penuturan Khadijah berkaitan dengan Nabi atau melaporkan perilaku ibadah dan kehidupan dalam rumah tangga? Seharusnya Khadijah yang banyak meriwayatkan kehidupan Rasulullah saw dibandingkan dari istri Nabi lainnya yang kebersamaannya kurang dari sepuluh tahun. [8]    

Selain dari Khadijah, Rasulullah saw memiliki anak dari pernikahannya dengan Maria Al-Qibtiyah, seorang wanita cantik dari penguasa Mesir yang dihadiahkan kepada Nabi kemudian dinikahinya. Dari Maria, Nabi Muhammad saw memiliki seorang putra yang bernama Sayid Ibrahim. Putra Nabi ini wafat pada usia masih belia. Hanya putrinya, Sayidah Fathimah, yang hidup (anak dari pernikahan dengan Khadijah) dan nikah dengan Ali bin Abu Thalib hingga melahirkan Al-Hasan, Al-Husain, dan Zainab. Dari ketiga cucu ini keturunan dari Nabi Muhammad Saw tersebar di seluruh dunia, bahkan di antara mereka ada yang menjadi Imam mazhab dan pemimpin organisasi keagamaan Islam. *** (Ahmad Sahidin)


[1] Al-Quran menyebut nama ‘Muhammad’ dalam surah Ali Imran: 144, Muhammad: 2, Al-Fath: 29, Al-Ahzab: 40; dan ‘Ahmad’ dalam surah Ash-Shaf: 6. 

[2] Ada pula yang menyatakan untuk menghindarkan dari upaya-upaya kejahatan dari kaum Yahudi. Namun, pernyataan ini belum ditemukan data-data sejarah yang menunjukkan posisi “sang calon” berada dalam bahaya. 

[3] Sebagian masyarakat Islam Indonesia masih meyakini Khadijah adalah seorang janda berusia empat puluh tahun tanpa menyebutkan sumber. Silakan baca karya Ahmad Rofi Utsmani, Muhammad sang Kekasih (Mizan Pustaka, 2009) h.74.

[4] Sayid A.A Razwy, Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw, (Jakarta: Lentera, 2002) h.179-180.

[5] Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan (Bandung: Simbiosa, 2008) h.159-166; Sayid A.A Razawy, Menapak Jalan Suci Sang Putri Mekkah: Sejarah Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah Saw (Jakarta: Lentera, 2002), h.179-180. Buku ini diterbitkan pula oleh Hikmah, Jakarta. 

[6] Sayid A.A.Razawy, Khadijah (Jakarta: Hikmah, 2007) h. 203-211 disebutkan Ruqayyah, Zainab, dan Umm Kultsum yang disebut putri Khadijah dan Rasulullah saw merupakan anak asuh Khadijah yang diambil dari saudaranya. Ketiganya memanggil ayah dan ibu (ummi dan abi) kepada yang merawatnya, Muhammad saw dan Khadijah.

[7] Lahir 20 Jumadits Tsani tahun 5 kenabian  dan wafat 3 Jumadits Tsani tahun 11 Hijriah.

[8] Persoalan ini belum ada yang mengkajinya secara khusus. Mungkin para ahli hadis dan sejarawan kontemporer harus memulainya untuk membongkarnya sehingga nilai-nilai Islami dan sejerah Islam bebas dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan hendak menghilangkan data sejarah yang sebenarnya. Bahkan yang menyedihkan, ada buku di Indonesia yang menyebutkan informasi sejarah yang berulang-ulang. Buku ini berjudul Muhammad sang Kekasih dan Rumah Cinta Rasulullah yang ditulis oleh Ahmad Rofi Utsmani dan diterbitkan Mizan Pustaka, Bandung. Dua buku tersebut memuat perjalanan kehidupan Sang Nabi. Namun, ketika membaca bagian Khadijah tidak ditemukan hadis-hadis yang berasal dari Khadijah. Sejarah ditulis memang tidak lepas dari kepentingan dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Mengapa para muhadis dan sejarawan tidak memuatnya? Kemungkinan karena alasan perbedaan mazhab dan politik serta dalam sejarah Islam disebutkan para ulama yang menulis karena permintaan dari penguasa. Apabila tidak sesuai dengan pesanan sudah pasti hukuman keras yang akan menimpanya.